Kamis, 05 September 2013

Kurikulum, Untuk Apa dan Untuk Siapa?

Kurikulum, Untuk Apa dan Untuk Siapa?
Mahmud Yunus  ;   Orang Tua Siswa dan Guru pada SMA Negeri 1 Banjar,
Kota Banjar, Jawa Barat
KORAN SINDO, 05 September 2013


Sebagai seorang warga negara, orang tua siswa, dan guru, saya berusaha ikut serta menyemarakkan perbincangan tentang kurikulum yang akhir-akhir ini dirancang ulang untuk segera diberlakukan di sekolah dasar dan sekolah menengah di seluruh Tanah Air. 

Implementasinya di lapangan akan diberlakukan secara bertahap untuk beberapa sekolah dan untuk beberapa mata pelajaran terlebih dahulu. Tahun ini (2013), sekolah-sekolah yang didorong untuk lebih awal menggunakan kurikulum “baru” tersebut terbatas pada sekolah- sekolah eks rintisan sekolah bertaraf internasional/RSBI. Itu pun baru akan diterapkan di kelas pertama jenjang sekolah yang bersangkutan, yaitu kelas I SD (ada kemungkinan diterapkan juga di kelas IV), kelas VII SMP, dan kelas X SMA/SMK dan yang sederajat. 

Sedangkan mata pelajaran yang akan diterapkan, khususnya untuk SMA, terbatas pada tiga mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia, matematika, dan sejarah. Adapun pelajaran lainnya akan menyusul tahun depan. Buku bahasa Indonesia, matematika, dan sejarah untuk siswa kelas X SMA dan pedoman guru mata-mata pelajaran tersebut kini sudah didistribusikan ke sekolah-sekolah. 

Mungkin karena hanya membaca beberapa tulisan di media massa, saya merasa sedikit aneh karena tidak melihat satu pun tulisan yang dibuat pakar pengembangan kurikulum. Paling tidak hingga saat ini mereka yang “mangkal” di lembaga pendidikan tenaga kependidikan/ LPTK atau yang berkantor di pusat (pengembangan) kurikulum tampaknya sepakat keep silent. Mungkin juga mereka sedang berkontemplasi atau sedang dalam posisi wait and see. 

Namun, kapan pun diperlukan untuk memaparkan kurikulum baru tersebut, mereka harus siap. Atau, mungkin ada juga yang sesekali hanya bisa tersenyum memerhatikan celotehan orang lain di media massa, bahkan di warung kopi yang ikutikutan membahas kurikulum. Mengapa, memangnya? Siapa pun yang pernah belajar mata kuliah pengembangan kurikulum (curriculum development) di LPTK atau sekurang-kurangnya pernah membaca buku tentang topik tersebut, pasti tahu bahwa di alam dunia ini tidak ada yang abadi, tidak terkecuali kurikulum. 

Orang bilang, ada juga sih yang abadi, yakni perubahan. Kalau kita benar-benar paham bahwa perubahan itu sesuatu yang niscaya terjadi, mengapa kita cenderung alergi terhadap perubahan? Lebih lanjut lagi, mungkin mereka geli memerhatikan bahwa ungkapan (sinis) yang telah beredar lebih dari satu dekade lalu yakni “ganti menteri ganti kurikulum” masih laku dijual di media massa. 

Padahal, (maaf) ungkapan itu sudah out of date. Kurikulum, sebagaimana halnya dengan perkara lainnya, tidak resistance terhadap perubahan. Dia meniscayakan evaluasi terus-menerus. Baik dalam filosofinya, perancangannya (design), cakupannya (scope), manajemennya, implementasinya, dst. Kurikulum dapat diubah kapan pun diperlukan, tetapi bukan semau gue. 

Maaf, bukan semau menteri. Saya yakin Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tidak mau melakukan tindakan konyol. Karena saya juga yakin dia sadar bahwa dia bukanlah pakar pengembangan kurikulum. Jadi, sah-sah saja kurikulum itu diubah asal demi pengembangan. Namun, biasanya perubahan atau pengembangan itu hanya sebagian atau parsial belaka. 

Ngapain mesti seluruhnya diubah, bukankah dana yang diperlukannya juga akan sangat membebani APBN? Hal terpenting kalau tidak sepadan dengan urgensinya, mbok jangan terlalu sering bongkar pasang kurikulum. Nggih, Pak Menteri? Kapan waktunya? Pergantian kurikulum sekolah-sekolah di negeri ini sudah tidak perlu diubah, apalagi secara besar-besaran. Perubahan yang bersifat pengembangan (development) di sana-sini masih bisa dilakukan. Namun, itu pun setelah dikaji secara mendalam. 

Sebab, saya yakin 111% tercapai atau tidak tercapainya tujuan pendidikan bukan karena persoalan kurikulum semata! Kurikulum yang sangat baik sekali pun belum tentu sesuai tujuan bila di lapangan tidak bisa diimplementasikan. Dengan menggunakan bahasa orang kebanyakan, kalau peserta didik tidak naik kelas atau tidak lulus, Anda jangan spontan ingin mengganti kurikulum! Ada banyak pihak yang terlibat di dalamnya. 

Persoalan implementasi kurikulum di negeri ini sudah sangat kompleks. Negeri ini sangat luas dan sangat majemuk. Dalam sebuah diskusi kelas, saya pernah menawarkan wacana mungkinkah kita tertarik untuk merancang kurikulum daerah? Pertanyaan itu perlu saya munculkan karena berbagai alasan, termasuk karena pertimbangan kewilayahan. Lagi pula, saat itu sang guru besar sedang membicarakan perkara kurikulum nasional. 

Hasilnya, diskusi itu akhirnya ngabuntut bangkong. Memang, kurikulum di negeri ini rata-rata diubah setelah 10 tahun (tidak benar kalau saban ganti Menteri). Tetapi, jangan dipaksakan seperti itu. Di negara-negara yang sudah maju saya kira kurikulumnya bisa bertahan lebih lama. Soalnya tadi, kurikulum terus- menerus dievaluasi. Kalau ditemukan ada kekurangannya, segera direvisi di bagian yang perlu di revisi. 

Di samping biayanya lebih murah (efisien), hasilnya juga akan lebih tepat sasaran (efektif). Bukankah kita tidak/belum pernah mendengar Amerika Serikat, Inggris, atau Jepang mengubah total kurikulum sekolahnya? Sejujurnya, saya baru membaca sepintas konten/isi kurikulum pendidikan agama, dahulu namanya begitu. Sekarang namanya diubah menjadi pendidikan agama dan budi pekerti. 

Oh ya, kurikulum Pendidikan Agama dan Budi Pekerti pada jenjang SMA/SMK alokasinya juga diubah dari semula dua jam menjadi tiga jam pelajaran per minggu. Isinya, sepintas tidak banyak berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Ada beberapa penambahan memang, tetapi kalau sebatas itu, hemat saya bisa disiasati para pengajar di sekolah- sekolah. Hal yang menyebabkan saya hanya membaca sepintas karena ternyata ada pernyataan dari Kepala Unit Implementasi Kurikulum Pusat Kemendikbud Tjipto Sumadi. 

Tahun ini Kurikulum 2013 yang dipakai di SMA/SMK hanya untuk tiga mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia, matematika, dan sejarah. Untuk SMA/SMK tahun ini memang baru tiga mata pelajaran sesuai dengan alokasi anggaran yang telah disediakan, ” ujarnya kepada ROL, Ahad (14/7). Tjipto menambahkan enam buku mata pelajaran wajib bagi SMA baru akan dibuat pada tahun ini.

Jadi buku tersebut baru dapat digunakan untuk tahun pelajaran 2014/2015. Enam pelajaran yang akan dibuatkan bukunya oleh Kemendikbud di antaranya pendidikan agama dan budi pekerti, pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Inggris, seni budaya, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, serta prakarya dan kewirausahaan. 

Bila pernyataan Kepala Unit Implementasi Kurikulum Pusat Kemendikbud Tjipto Sumadi tidak berubah, adalah hak saya untuk mengatakan bahwa Kemendikbud belum sepenuhnya siap mengimplementasikan kurikulum “baru” tersebut. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar