|
Negeri kita saat ini tampaknya
makin ramai saja dengan tindakan konyol. Bukan saja dalam artian tindakan yang
membikin orang tersenyum simpul atau kecut muka, tapi juga membuat "sport
jantung" lantaran ada unsur utama berbentuk kekerasan seperti perusakan
atau pembantaian. Dan menariknya, tindakan konyol yang beraroma kekerasan
kerap pula didasarkan pada pemahaman `idiologis' tertentu. Akibatnya, kekerasan
yang dipahami sebagai hal yang merusak kenyamanan, tapi bagi tipe golongan mereka
ini justru diyakini sebagai `kebenaran' yang harus diwartakan dan diperjuangkan
walau dengan kekerasan.
Nah, mengagetkan, tiba-tiba Yogyakarta
kembali diguncang "gempa". Kali ini bukan akibat letusan Merapi,
melainkan dalam wujud perusakan yang dilakukan oleh sebuah "brigade"
dengan ciri- cirinya yang khas. Dan juga bukan seperti kasus Cebongan yang
menelan korban manusia. Insiden perusakan ini menjadi unik karena yang jadi
sasaran dan korbannya adalah kuburan. Tepatnya, perusakan terhadap makam cucu
Sri Sultan Hamengku Buwono VI, yaitu Kyai Ageng Prawiro Poerbo di Pasarean
Karang Kabolotan, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta. Mengapa harus kuburan? Tentu
ada cerita di balik fakta.
Gerakan kalap
Bagi sebagian orang, peristiwa perusakan
kuburan tersebut mungkin lucu bin konyol. Kuburan yang menjadi tempat
peristirahatan terakhir seseorang dari gemerlap dunia ini dan hanya berupa
seonggok batu nisan harus menerima nasib dirusak. Secara nalar, pasti ada hal
ihwal yang melatarbelakangi aksi vandalis tersebut. Tidak mungkin pekerjaan
yang kebetulan atau main-main saja.
Amatan ini bukannya tanpa data
empiris. Ada saksi mata dan alat bukti yang bisa menjadi penguatnya. Ya, segerombolan
orang yang menurut kesaksian penjaga makam Kyai Ageng Prawiro Poerbo di
Yogyakarta itu berpenampilan "cingkrang". Setelah mengacak-acak
makam, mereka menuliskan di batu nisan dan lantai kata-kata "syirik haram".
Para perusak makam itu juga sempat mengatakan pada penjaga makam bahwa tempat
tersebut merupakan tempat praktik syirik, haram.
Jelas sudah, data-data ini bisa memperlancar
investigasi bahwa pastinya ada motivasi berlambarkan keagamaan dalam kasus
tersebut. Dengan tulisan "syirik, haram" di batu nisan dan lantai
area permakaman, menyingkapkan tentang sebuah identitas kelompok tertentu yang memang
saat ini gerakannya terang-terangan, tak hanya mencela sana-sini, tapi berani
bertindak oleh karena ditopang klaim kebenaran yang diyakininya paling sahih
dan terjamin otentisitasnya.
Yogyakarta yang dikenal sebagai
kota budaya dan kota pelajar belakangan ini tampaknya tengah bergulat dengan menjamurnya
beraneka tipologi kelompok.
Masalah premanisme yang mencemaskan hingga mewabahnya kelompok-kelompok Islam
yang sebut saja dengan istilah Islam puritan. Kelompok kemaruk otentisitas
ajaran Islam ini terlihat sudah mengepung dan menyeruak dari perkotaan hingga
desa di Yogyakarta.
Dalam kasus sebelumnya, misalnya, pernah
terjadi pembubaran oleh segelintir orang terhadap sebuah komunitas yang sedang
merayakan Maulid Nabi di sebuah desa di Yogyakarta. Di daerah lain, seperti
Cirebon juga pernah terjadi pelemparan bom molotov oleh sekelompok orang terhadap
jamaah mushola yang tengah merayakan Maulid Nabi yang diramaikan dengan iringan
mara wis. Isu bid'ah yang ditudingkan
pada perayaan Maulid Nabi--walaupun itu sudah isu lama dan basi--sekarang berkobar
kembali seiring dengan berkecambahnya kelompok- kelompok Islam puritan.
Bangkitnya puritanisme Islam ini
memang bukan khas di Indonesia. Gerakannya bersifat transnasional. Di Mesir,
misalnya, belum terlalu lama berselang juga terjadi aksi kelompok Salafi yang
melakukan pembubaran perayaan Maulid Nabi yang tengah dihelat oleh komunitas
Muslim di sebuah daerah di Mesir. Bahkan, pembubaran itu disertai aksi
pembantaian yang menimbulkan banyak korban tewas. Mereka juga bersiap
untuk menghancurkan makam-makam aulia Mesir yang menjadi tempat ziarah serta situs-situs
sejarah lainnya. Mesir mengalami nasib yang jauh lebih parah dibanding negeri
kita dalam serbuan kelompok Islam puritan dan juga kelompok takfiri (suka
mengkafirkan kelompok lain).
Beberapa negeri Muslim terlihat
juga sama-sama mengalami gempuran Islam puritan dengan insiden yang tak kalah
tragis. Kelompok militan di Somalia, yaitu Asysyabab, melakukan aksi vandalisme
dengan menghancurkan makam ulama yang banyak diziarahi oleh masyarakat setempat
setelah berhasil menguasai satu daerah.
Di Yaman, seperti pernah
diceritakan oleh Dr Said Ramadhon al-Buthi, pernah terjadi peristiwa saling
bunuh dalam satu keluarga akibat infiltrasi pengaruh Islam puritan. Hampir
mirip kasus di Yaman ini, di negeri kita juga ada kasus "pecah kongsi"
satu keluarga akibat ada salah satu anggota keluarga yang masuk dalam kelompok
Islam puritan.
Untuk contoh negeri Muslim lagi,
Arab Saudi juga pernah menerima nasib dikafirkan. Usamah bin Ladin menyebut
pemerintah Arab Saudi telah melakukan kekafiran akbar karena menihilkan hukum
syariat serta menyerahkan negara untuk dijajah Amerika. Pandangan Usamah inilah
yang dianut oleh Imam Samudra, Amrozi, dan Mukhlas.
Puritanisme ternyata bisa memompa
adrenalin seseorang untuk melakukan kekerasan. Walaupun di sini tidak berlaku
hukum matematika, bahwa setiap puritan adalah radikal atau bahkan teroris. Ini
hanya menilik sebagian fakta yang terjadi, karenanya bukan rumusan mutlak. Menyitir
mufti Mesir, Dr Ali Jum'ah, kaum puritan berpegang pada sejumlah masalah yang
sebenarnya tidak mewakili karakter umat, tetapi sekadar masalah cabang dan lalu
mereka jadikan sebagai tolok ukur untuk mengelompokkan umat Islam.
Nah, di sinilah makin menyadarkan
bersama bahwa ada pergerakan "kalap" yang tengah berupaya merangsek kenyamanan beragama. Keberagamaan yang sesungguhnya
subtil serta perlu dimaknai secara spiritual, kini tengah berhadapan dengan
literalisme kaku yang bertumpu pada simbol-simbol formal keagamaan. Siapa yang
akan menang dalam kompetisi ini, kelak punya andil dalam mewarnai
keindonesiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar