Minggu, 29 September 2013

Wakafkan “Forensik Itu Lucu”

Wakafkan “Forensik Itu Lucu”
Reza Indragiri Amriel ;  Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Menyusun sejumlah buku bersama AMI
JAWA POS, 28 September 2013


TERBUKTI lagi kata orang-orang tua: Mereka yang tak lama lagi akan menghadap Allah Yang Mahakuasa kerap menampilkan tindak tanduk di luar kebiasaan. Baik perbuatan maupun perkataan berlalu begitu saja, sepintas seperti tidak ada makna. Baru setelah yang bersangkutan berpulang, pesan sama-samar menjadi terang benderang. Itu pula yang terkenang pascawafatnya dr Abdul Munim Idries alias AMI pada hari baik, Jumat, 27 September 2013.

Sekembali kami dari Padang dan AMI menjalani rawat inap di rumah sakit, saya mengontaknya via telepon pintar. Intinya, saya mengingatkan AMI perihal rencana kerja bareng kami berikutnya.

Sebenarnya sejak bertahun silam AMI bertutur tentang data-data korban tindak kriminal yang telah dikumpulkannya selama berpuluh tahun. Saya merasa tersanjung sekaligus terharu karena data-data penting yang belum pernah AMI tunjukkan kepada siapa pun itu justru akan dia berikan kepada saya. Proyeksi ambisius kami adalah menghasilkan semacam victim profiling, yaitu kitab berisi karakteristik korban kejahatan yang disusun berdasar kategori-kategori tertentu.

Persoalannya, ketika criminal profiling tak mungkin disusun karena berbagai alasan, upaya melindungi korban potensial dapat diikhtiarkan dengan menemukan benang merah atas ciri-ciri orang yang berpotensi besar menjadi korban kejahatan jenis tertentu. Jadi bisa dibayangkan, dari sekian ribu korban kriminalitas yang telah didata selama sekian puluh tahun, tentu prospektif dihasilkan informasi matang yang fantastis. Dan, beri garis bawah: Data spektakuler itu ada di tangan AMI!

Nah, saat saya ingatkan AMI tentang rencana menyusun victim profiling itu, AMI -"entah" kenapa-menyebut proyek itu sebagai "target terakhir". Tapi begitulah, seperti saya tulis sebelumnya, saya tak menghiraukan betapa sesungguhnya "terakhir" di situ mengandung arti tertentu.

Obrolan via BlackBerry berlanjut. Satu pertanyaan lagi saya ajukan, yakni kapan saya bisa menemuinya. AMI menjawab, dan begini kutipan aslinya, "Alhamdulillah msh lemas; hari sy ke ikf. Trims tuk attensinya."

Coba lihat, formal sekali ucapan penutup itu. Pada waktu-waktu lampau, mana pernah AMI mengatakan kalimat dengan ekspresi resmi sedemikian rupa kepada saya. Ikon kedokteran forensik Indonesia itu, yang sejak awal perkenalan menggelari saya "orang aneh" karena mencemplungkan diri di bidang forensik, saya dan orang-orang kenal sebagai figur yang santai, penuh canda, jauh dari formalitas. 

Juga, kalimat AMI itu terpenggal. Dia secara implisit meminta saya untuk datang ke instalasi kedokteran forensik (IKF) pada hari tertentu. Hari apa gerangan? Entahlah. AMI sama sekali tidak menulis nama hari di pesannya.

Misteri "target terakhir" dan nama hari yang terabaikan baru bisa saya pahami sebagai sebuah pertanda khusus beberapa menit setelah menerima kabar tentang mangkatnya sang guru. 

Anggaplah kisah itu bertafsir majemuk. Tapi, ada lagi kenangan saya tentang AMI yang sangat nyata dan tidak perlu diinterpretasi secara berbeda. Manakala terlibat dalam penyusunan buku Indonesia X-Files, AMI dan saya sempat bertukar pikiran tentang siapa yang patut menulis kata sambutan dan endorsement pada buku tersebut. Saya mengusulkan agar endorsement tidak hanya ditulis oleh orang-orang ternama. AMI dikenal luas oleh berbagai lapisan masyarakat. Karena itu, saya pandang akan sangat menarik apabila endorsement ditulis oleh kaum jelata semisal tukang ojek. AMI setuju.

Lalu, siapa yang akan diberi penghormatan untuk menulis sambutan? "Gories Mere," kata AMI. Saya berkerut dahi, walau bukan berarti saya tidak setuju. AMI menaruh respek kepada jenderal polisi itu. "Dia cocok menjadi Kapolri. Tapi, tidak mungkin lah." Rencana endorsement dan kata sambutan tersebut tidak menjadi kenyataan. Namun, buku tentang misteri kematian Bung Karno, Munir, Marsinah, mahasiswa korban tragedi Trisakti, wartawan Udin, dan sebagainya itu laku keras, 4.000 eksemplar dalam dua minggu. 

Berlanjut ke proyek penulisan buku Forensik Itu Lucu. Isinya tentang anggapan orang bahwa forensik sebatas berurusan dengan makhluk tak bernyawa, mengenaskan, tak keruan. Padahal, banyak kejutan temuan "kebenaran" setelah manusia tak bernyawa. 

Setelah tahap penyuntingan naskah dianggap rampung, di Bandara Soekarno-Hatta AMI perlihatkan soft copy sampul buku itu. 

"Jelek!" komentar saya. Dengan sok tahu, saya sarankan perubahan-perubahan yang perlu dilakukan. Saya terperangah karena saat itu juga AMI langsung menelepon seseorang -Cecep Romli, barangkali-dan meminta dilakukan revisi sesuai dengan masukan saya.

Satu lagi. Sejak tercetus rencana penulisan Forensik Itu Lucu, saya menyemangati, bahkan bisa dibilang memaksa AMI untuk berkontribusi ke Rumah Sehat di Parung. Rumah Sehat adalah nama konstruktif untuk rumah sakit yang dibangun semata-mata bagi kaum papa. AMI serta-merta menerima gagasan untuk menyerahkan sekian persen dari keuntungan penjualan buku sebagai wakaf ke Rumah Sehat. 

Ya, dr Abdul Munim Idries kini sudah berpindah ke alam lain. Selama ini, hampir di seluruh jam kerjanya AMI mengurusi manusia-manusia tak bernyawa. Tapi, dengan kebaikan tak berkeputusan yang dia kucurkan ke Rumah Sehat kelak, insya Allah akan ada lebih banyak lagi orang yang bisa turut dia selamatkan nyawanya. Allahu a'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar