|
PADA abad XVIII-XIX, pemerintah
Hindia Belanda pernah mengeluarkan pernyataan larangan bagi umat Islam untuk
menunaikan ibadah haji. Karena secara kultural ibadah haji menjadi alat
transformasi kesadaran yang berpengaruh terhadap relasi sosial-keagamaan dalam
kehidupan masyarakat. Namun, atas saran Snouck Horgronje, larangan tersebut
hanya dibatasi kepada kelompok menengah ke atas yang secara struktural memiliki
peran pengubah masyarakat melalui pengetahuan dan kekuatannya. (Shaleh Putuhena: 2007).
Gambaran di atas menjadi dokumen sejarah bahwa haji menjadi
salah satu instrumen penting yang mampu menciptakan perubahan dalam kehidupan
masyarakat. Bahkan, haji menjadi strategi kebudayaan yang mampu menggerakkan
semangat perlawanan terhadap kesewenangan pemerintah Hindia Belanda yang
menyengsarakan masyarakat Nusantara. Lalu, bagaimanakah dengan realitas haji
yang hadir dalam suasana saat ini yang berbagai fenomena despotiknya tak kalah
genting dengan suasana pemerintahan Hindia Belanda?
Pertanyaan ini patut dijadikan evaluasi agar haji yang
menjadi penyempurna rukun Islam yang kelima, tidak menjadi ibadah seremonial
belaka. Namun, haji harus mempunyai semangat pembebasan sebagaimana yang pernah
hadir di kalangan masyarakat muslim Nusantara di zaman Hindia Belanda.
Tanggung jawab sosial
Ibadah mahdlah, termasuk ibadah haji, merupakan ekspresi
keimanan yang tidak hanya bermakna kesalehan dalam beribadah kepada Allah (theomorfis). Melainkan bermakna pula
sebagai komitmen dirinya dalam bermuamalah bersama manusia (anthromorfis) dan makhluk lainnya. Baik
untuk menyerukan perkara yang baik (amar makruf ) atau mencegah tindakan yang
buruk (nahi mungkar). Kedua terma ini menjadi landasan transendensi kemanusiaan
untuk mencapai semangat emanasi yang menghubungkan antara dirinya dengan Tuhan,
dan dirinya dengan orang lain secara berimbang.
Merujuk kepada pemikiran Kuntowijoyo dalam buku Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi
terma amar makruf berafiliasi kepada
tindakan humanisasi, dan terma nahy
munkar berafiliasi kepada liberasi. Keduanya menjadi satu kesatuan yang
saling bersinergi untuk menegakkan nilai-nilai keagamaan dan prinsip tanggung
jawab sosial sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Maka, haji yang setiap tahun marak dilaksanakan umat Islam,
bahkan untuk menun aikannya disertai dengan antrean panjang hingga puluhan
tahun, semestinya menjadi instrumen perubahan secara partisipatoris dalam
proses pemberdayaan masyara kat. Sebab, haji merupakan ibadah perjuangan dan
pengorbanan yang menempa setiap ummat Islam dengan berbagai rukun yang sangat
meletihkan. Bahkan, haji menjadi ibadah yang mampu menundukkan egoisme setiap
individu di tengah pesatnya gaya hidup yang materialistis dan hedonistik.
Mereka akan pasrah mengeluarkan jutaan rupiah untuk bisa menunaikan ibadah
haji, meskipun secara fisik dan psikis sering kali terbentur dengan syarat dan
ketentuan yang berlaku.
Keberanian untuk menunaikan haji yang harus ditempuh dengan
segala macam risiko material maupun immaterial, sejatinya dapat ditransformasi
ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Setidaknya, semangat perjuangan
dan pengorbanan yang banyak ditumpahkan di Madinah dan Mekah dapat dimanifestasikan
pula ke dalam proses-proses sosial pascahaji. Sehingga, haji memiliki visi dan misi
penegakan ajaran Islam yang tidak hanya menyem purnakan rukun kelima, melainkan
memaksimal kan peran tanggung jawab umat Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat
yang masih dise aki berbagai per masalahan sosial-kea gamaan.
Peran serta yang patut dilaksanakan jemaah haji sepulangnya
dari Tanah Suci, bisa dimulai dari tata cara amar makruf yang berciri humanitarian yang diteladani Nabi Adam,
Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad yang sudah dihayati selama di Madinah dan Mekah.
Jemaah haji tentunya bisa merekam setiap jejak historis para nabi tersebut
melalui situs sejarah yang mendeskripsikan semangat perjuangan dalam menegakkan
ajaran agama. Bahkan, tata cara nahi
mungkar yang berciri liberatif dari kemaksiatan individual dan kemaksiatan
sosial, perlu dijadikan sebagai bahan refleksi dan aksi yang penuh keadaban.
Sehingga, ibadah haji betul-betul menjadi penyempurna kedirian seorang muslim
yang tidak hanya berhenti pada level rukun Islam an sich, namun mampu mengontesktualisasikan nilai-nilai keislaman
yang samhah dan hanifiyah dalam kehidupan sosial.
Recharge energi
sosial
Berdasarkan penelitian kecil-kecilan yang penulis lakukan di
2011, terungkap bahwa salah satu alasan umat Islam rela meluangkan kesibukan
dan mengorbankan materinya untuk menunaikan haji maupun umrah, ialah untuk
mengisi ulang (recharge) energi
keberagamaannya. Supaya, dalam menjalankan hidupnya pada kurun waktu berikutnya
bisa bergerak lebih semangat, tulus, dan penuh kepasrahan. Dengan demikian,
setiap tugas dan pekerjaan yang akan dilakukan memberikan kekuatan lahiriah dan
bathiniah yang tenang.
Asumsi itu menyiratkan bahwa haji, yang secara esensial sama
dengan ibadah mahdlah lainnya, secara spiritual memiliki persepsi yang beragam.
Hal ini didasarkan kepada pengalaman masingmasing individu, yang secara
subjektif, punya cara pemahaman dan penjelasan tentang bagaimana menjalani
hidupnya setelah menunaikan haji maupun umrah. Meskipun, secara objektif sangat
sulit untuk mengukur bagaimana korelasi antara haji dan kebangkitan cara kerja
yang terbarukan.
Namun, bila haji memang dapat diyakini sebagai sarana ibadah
yang bisa mengisi ulang energi baru, patut kiranya bila energi yang sudah
berisi tersebut ditransformasi kepada tindakan-tindakan sosial yang tepat guna.
Tujuannya agar haji mampu berperan serta sebagai salah satu agen perubahan
secara kolektif, karena tren yang berkembang saat ini justru sebaliknya. Tren
kini haji hanya dirayakan sebagai seremonial ibadah yang bersifat
individualistik, dan pelaksananya seolah tidak mau tahu kondisi yang sedang
menimpa lingkungan sekitarnya.
Salah satu problem krusial yang kini masih menunjukkan titik
nadir adalah problem kemiskinan. Maka, seseorang yang sudah pulang haji atau
umrah yang merasa memiliki energi baru harus menggerakkan energinya kepada tindakan
amar makruf, yaitu dengan cara memberikan teladan bagaimana cara membantu
mereka yang proaktif dan berkelanjutan, serta tindakan nahi mungkar, yaitu
dengan cara membebaskan mereka dari jebakan ketidakberdayaan—meminjam istilah Robert Chambers—yang disebabkan
multifaktor, baik secara kultural maupun struktural.
Dengan demikian, haji yang dahulu pernah menjadi instrumen
perubahan masyarakat melalui pengetahuan dan kekuatan—yang sudah terbarukan—dan
menjadi transformasi kesadaran kehidupan bersosial yang luhur, akan bisa
menginspirasi jemaah haji yang kini sedang khusyuk menjalankan ibadahnya di
Tanah Suci. Sehingga, ketika mereka pulang ke Tanah Air menjadi kelompok
penggerak keagamaan yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial yang
luhur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar