Sabtu, 28 September 2013

Mematri Jiwa Abdi

Mematri Jiwa Abdi
Ahmad Maskur ;  Santri di PP. ASW Sidoarjo,
Aktif sebagai Bendahara Umum PMII Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 27 September 2013


Asketisme diri merupakan sebuah kunci. Kunci untuk membangun kehidupan yang berkeadaban tinggi. Yang setiap perilakunya didasarkan pada budi pekerti.

Ibarat jamur di musim hujan, korupsi di negeri ini semakin menjadi-jadi. Mengimbangi putaran detik, acuh terhadap kondisi. Satu per satu pejabat publik terseret dalam pusaran praktik kolusi. Demikian adalah gambaran keadaan yang sedang dialami Indonesia saat ini. Tuntutan nafsu untuk hidup glamor dengan kasta tinggi menjadi pemicu kebutaan mata hati. Rasa ikhlas dan tanggung jawab jauh dari kehidupan sehari-hari. Semua tindakan didasarkan pada kalkulasi untung rugi. Kedigdayaan yang tercipta dipatahkan oleh silau gemerlap materi. Sehingga, rakyat kian tak terurusi, limbung dalam kemelut kehidupan yang semakin tak tertandingi.

Dalam kondisi rakyat yang tak acuh, penguasa menjadi semakin leluasa. Memainkan peran dan menyalahgunakan jabatan. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Aji mumpung menjadi konsep adiluhung. Mumpung jadi wakil rakyat, mumpung jadi pemimpin, mumpung kesempatan terbuka dan mumpung-mumpung yang lain. Semua cara dihalalkan demi meraup harta dan tahta. Entah ke mana rasa malu mereka sembunyikan. Mengingat semangat anti korupsi, dulu gencar sekali mereka teriakkan.

Dalam kondisi kebangsaan yang terjangkit penyakit, rakyat menjadi korban sehingga sakit. Kemiskinan, pengangguran, kekerasan dan yang lain telah melahirkan adanya ketidakpedulian dan ketidakacuhan masyarakat terhadap problem kebangsaan. Karena janji-janji elite politik yang bulshit. Mereka telantar, terpontang-panting menjalani kehidupan di negeri yang para pelayannya (elite pemerintah) sudah enggan melirik dinamika hidup rakyat.

"Untuk menjadi orang yang berkuasa, politisi harus berperilaku sebagai hamba." Demikian ungkapan Presiden Prancis, Jenderal Charles De Gaulle (1890-1970). Ini sangat penting untuk dijadikan bahan refleksi atau perenungan bagi para politisi kita. Maksudnya, supaya menjadi benar dalam memaknai tahta dan kuasa. Bahasa agama, Tuhan Azza wa Jalla dalam Adz-Dzariat ayat 56 sebenarnya juga sudah menjelaskan bahwa semua yang dicipta semata-mata hanya untuk menghamba pada Pencipta. Wama kholaqtul jin-na wal insana illa liya'buduni, dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya menghamba kepadaKu.

Langkah ini kita tempuh tak lain agar tidak lagi alpa atau salah kaprah dalam memberi makna. Bahwa sejatinya yang saat ini berharta dan bertahta mulya adalah tetap mengemban tugas sebagai hamba. Dengan kesadaran diri sebagai hamba, tentu tidak boleh mengharap lagi tanda jasa. Melainkan harus terus mematri keyakinan bahwa apa yang dikerjakan tak akan pernah sia-sia. Semua akan dicatat dan dibalas berlipat ganda oleh Yang Maha Kuasa, baik di dunia maupun di akherat nanti.

Jiwa hamba adalah jiwa abdi. Mereka (pemilik jiwa abdi) senantiasa mengabdikan diri kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Mempersembahkan diri dengan segala urusan kehidupannya semata-mata pada Robbal izzati. Sehingga jika sifat semacam ini terpatri dalam jiwa penguasa, persembahan kesejahterakan pada rakyat oleh penguasa menjadi hal yang tak dapat dipungkiri. Begitu pula, menghormati kebijakan penguasa oleh rakyat menjadi hal yang pasti. Dari hubungan semacam ini terciptalah sebuah sinergi. Semua memperoleh untung tanpa mengenal kata rugi. Karena, kecenderungan nafsu pada perilaku kolusi dan korupsi telah dilenyapkan oleh kebeningan pikir dan kejernihan hati.

Asketisme Diri

Secara sederhana, dalam filsafat, asketisme diartikan sebagai prinsip atau tingkah laku bermati raga demi memperoleh kebahagiaan, keluhuran moral dan idealisme kehidupan agama. Oleh karenanya, pelaku asketik dalam segala gerak-geriknya semata-mata hanya diniatkan untuk mendekatkan diri pada Ilahi Rabbi. Dirinya selalu menghadirkan Tuhan dalam segala tindak tanduk kehidupan. Hal ini menjadi sebuah keharusan untuk terus dipatri. Yaitu, pada setiap diri yang senantiasa berharap dan merindukan terciptanya kejayaan negeri. Dengan menghilangkan penyakit-penyakit kehidupan. Seperti tindakan kolusi dan korupsi.

Asketisme diri merupakan sebuah kunci. Kunci membangun kehidupan yang berkeadaban tinggi. Yang setiap perilakunya didasarkan pada budi pekerti. Kalkulasi untung rugi bukan lagi dalam hal duniawi, melainkan unsur lain yang biasa disebut ukhrowi. Sehingga, kolusi dan korupsi tak lagi terjadi. Karena, perilaku bijaksana dan memihak rakyat telah membumi.

Asketisme bukan hanya milik sufi. Pengusaha, petani, pedagang, bahkan politisi juga harus memiliki. Semangat bangkit bersama untuk membangun negeri perlu ditanamkan. Bahu-membahu memperbaiki Ibu Pertiwi. Melangkah melalui jalan sunyi. Jalan yang tak lagi riuh dengan kepentingan-kepentingan duniawi. Sehingga, kepentingan dan hak-hak rakyat dapat terpenuhi. Dengan begitu, akan tercipta kehidupan masyarakat yang madani. Indonesia yang berdikari. Berkedudukan luhur dan mempunyai martabat tinggi. Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar