|
Asketisme diri merupakan sebuah kunci. Kunci untuk
membangun kehidupan yang berkeadaban tinggi. Yang setiap perilakunya didasarkan
pada budi pekerti.
Ibarat jamur di musim hujan, korupsi di negeri ini semakin
menjadi-jadi. Mengimbangi putaran detik, acuh terhadap kondisi. Satu per satu
pejabat publik terseret dalam pusaran praktik kolusi. Demikian adalah gambaran
keadaan yang sedang dialami Indonesia saat ini. Tuntutan nafsu untuk hidup
glamor dengan kasta tinggi menjadi pemicu kebutaan mata hati. Rasa ikhlas dan
tanggung jawab jauh dari kehidupan sehari-hari. Semua tindakan didasarkan pada
kalkulasi untung rugi. Kedigdayaan yang tercipta dipatahkan oleh silau gemerlap
materi. Sehingga, rakyat kian tak terurusi, limbung dalam kemelut kehidupan
yang semakin tak tertandingi.
Dalam kondisi rakyat yang tak acuh, penguasa menjadi
semakin leluasa. Memainkan peran dan menyalahgunakan jabatan. Memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan. Aji mumpung menjadi konsep adiluhung. Mumpung jadi
wakil rakyat, mumpung jadi pemimpin, mumpung kesempatan terbuka dan mumpung-mumpung
yang lain. Semua cara dihalalkan demi meraup harta dan tahta. Entah ke mana
rasa malu mereka sembunyikan. Mengingat semangat anti korupsi, dulu gencar
sekali mereka teriakkan.
Dalam kondisi kebangsaan yang terjangkit penyakit, rakyat
menjadi korban sehingga sakit. Kemiskinan, pengangguran, kekerasan dan yang
lain telah melahirkan adanya ketidakpedulian dan ketidakacuhan masyarakat
terhadap problem kebangsaan. Karena janji-janji elite politik yang bulshit.
Mereka telantar, terpontang-panting menjalani kehidupan di negeri yang para
pelayannya (elite pemerintah) sudah enggan melirik dinamika hidup rakyat.
"Untuk
menjadi orang yang berkuasa, politisi harus berperilaku sebagai hamba." Demikian ungkapan Presiden Prancis, Jenderal Charles De
Gaulle (1890-1970). Ini sangat penting untuk dijadikan bahan refleksi atau
perenungan bagi para politisi kita. Maksudnya, supaya menjadi benar dalam
memaknai tahta dan kuasa. Bahasa agama, Tuhan Azza wa Jalla dalam Adz-Dzariat ayat 56 sebenarnya juga sudah
menjelaskan bahwa semua yang dicipta semata-mata hanya untuk menghamba pada
Pencipta. Wama kholaqtul jin-na wal
insana illa liya'buduni, dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali supaya menghamba kepadaKu.
Langkah ini kita tempuh tak lain agar tidak lagi alpa atau
salah kaprah dalam memberi makna. Bahwa sejatinya yang saat ini berharta dan
bertahta mulya adalah tetap mengemban tugas sebagai hamba. Dengan kesadaran
diri sebagai hamba, tentu tidak boleh mengharap lagi tanda jasa. Melainkan
harus terus mematri keyakinan bahwa apa yang dikerjakan tak akan pernah
sia-sia. Semua akan dicatat dan dibalas berlipat ganda oleh Yang Maha Kuasa,
baik di dunia maupun di akherat nanti.
Jiwa hamba adalah jiwa abdi. Mereka (pemilik jiwa abdi)
senantiasa mengabdikan diri kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Mempersembahkan
diri dengan segala urusan kehidupannya semata-mata pada Robbal izzati. Sehingga
jika sifat semacam ini terpatri dalam jiwa penguasa, persembahan kesejahterakan
pada rakyat oleh penguasa menjadi hal yang tak dapat dipungkiri. Begitu pula,
menghormati kebijakan penguasa oleh rakyat menjadi hal yang pasti. Dari
hubungan semacam ini terciptalah sebuah sinergi. Semua memperoleh untung tanpa
mengenal kata rugi. Karena, kecenderungan nafsu pada perilaku kolusi dan
korupsi telah dilenyapkan oleh kebeningan pikir dan kejernihan hati.
Asketisme Diri
Secara sederhana, dalam filsafat, asketisme diartikan
sebagai prinsip atau tingkah laku bermati raga demi memperoleh kebahagiaan,
keluhuran moral dan idealisme kehidupan agama. Oleh karenanya, pelaku asketik
dalam segala gerak-geriknya semata-mata hanya diniatkan untuk mendekatkan diri
pada Ilahi Rabbi. Dirinya selalu menghadirkan Tuhan dalam segala tindak tanduk
kehidupan. Hal ini menjadi sebuah keharusan untuk terus dipatri. Yaitu, pada
setiap diri yang senantiasa berharap dan merindukan terciptanya kejayaan
negeri. Dengan menghilangkan penyakit-penyakit kehidupan. Seperti tindakan
kolusi dan korupsi.
Asketisme diri merupakan sebuah kunci. Kunci membangun
kehidupan yang berkeadaban tinggi. Yang setiap perilakunya didasarkan pada budi
pekerti. Kalkulasi untung rugi bukan lagi dalam hal duniawi, melainkan unsur
lain yang biasa disebut ukhrowi. Sehingga, kolusi dan korupsi tak lagi terjadi.
Karena, perilaku bijaksana dan memihak rakyat telah membumi.
Asketisme bukan hanya milik sufi. Pengusaha, petani,
pedagang, bahkan politisi juga harus memiliki. Semangat bangkit bersama untuk
membangun negeri perlu ditanamkan. Bahu-membahu memperbaiki Ibu Pertiwi.
Melangkah melalui jalan sunyi. Jalan yang tak lagi riuh dengan
kepentingan-kepentingan duniawi. Sehingga, kepentingan dan hak-hak rakyat dapat
terpenuhi. Dengan begitu, akan tercipta kehidupan masyarakat yang madani.
Indonesia yang berdikari. Berkedudukan luhur dan mempunyai martabat tinggi. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar