|
KURANGNYA pasokan bahan pangan di pasar serta lonjakan harga
semakin tidak wajar, terutama beberapa komoditas, seperti bawang merah, cabai,
telur, daging ayam, dan daging sapi. Ironis, memang, negara agraris ini setiap
tahun selalu menghadapi persoalan pasokan bahan pangan bagi rakyatnya.
Melonjaknya harga beberapa komoditas pangan membebani
konsumen rumah tangga, yang pada akhirnya memicu inflasi dan membebani
perekonomian nasional. Namun, para pejabat terkait terkesan panik dan tidak menguasai
masalah sehingga terlambat bertindak. Akibatnya, gejolak harga beberapa
komoditas cenderung tidak terkendali.
Salah satu faktor penyebab berulangnya fenomena tersebut
adalah kurang diperhatikannya data dan informasi mengenai status masing-masing
komoditas pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Di sisi lain,
kondisi tersebut menunjukkan betapa pentingnya data dan informasi yang benar
sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Sebenarnya, selain di lembaga penelitian universitas, hampir
semua permasalahan pertanian di negeri ini telah diteliti dan dikaji dengan
seabrek rekomendasi sebagai solusinya. Di Kementerian Pertanian, misalnya,
terdapat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan pusat-pusat
penelitian serta balai-balai penelitian dari berbagai komoditas. Mereka
meneliti mulai dari teknik budi daya, analisis sosial ekonomi, proses produksi,
hingga pascapanen dan pemasarannya.
Lebih dari itu, di hampir setiap provinsi terdapat Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang mengkaji hampir semua permasalahan
teknis agronomi dan sosial ekonomi komoditas pertanian spesifik lokasi.
Misalnya, penelitian mengenai volatilitas harga bahan pangan
pokok, seperti beras, gula, daging sapi, daging ayam, telur, dan cabai, sudah
ada dan selalu di perbarui data dan informasinya. Dari hasil penelitian
tersebut kita dapat mengetahui berapa banyak penawaran dan permintaan terhadap
komoditas pertanian pokok nasional dan provinsi, sentra-sentra produksi, tata
niaga pasar, serta prediksi kapan harga akan naik dan turun, kapan impor
diperlukan dan dengan cara bagaimana.
Dengan demikian, sebenarnya permasalahan kelangkaan barang
dan gejolak harga yang tak terkendali tidak perlu terjadi. Sayangnya, data dan
informasi itu hampir tidak pernah digunakan sebagai bahan pengambilan kebijakan
yang lengkap. Kasus kedelai, pupuk, benih, dan kuota dagingsapi menunjukkan
bahwa pengambilankebijakan dilakukan tidak berdasarkan hasil riset yang
presisi. Justru data dan informasi di luar sistem kementerian yang lebih dipercaya
sebagai bahan pengambilan kebijakan.
Tidak mudah membiasakan pola berpikir, bekerja, dan bertindak
berdasarkan hasil riset di birokrasi pemerintahan. Hasil riset memberikan
arahan dan gambaran kondisi riil permasalahan di lapangan sehingga kebijakan
yang dibuat berlandaskan data dan informasi dari hasil riset akan memberikan
solusi yang pas.
Lebih jauh, salah satu faktor penting dalam pengambilan
kebijakan adalah kapasitas individu pengambil kebijakan. Seorang penentu
kebijakan di kementerian teknis semacam Kementerian Pertanian, misalnya, harus
memiliki akumulasi pengetahuan dan pengalaman lapangan sehingga mampu
menerjemahkan fakta dan data menjadi sebuah kebijakan.
Kepentingan politik
Tidak dapat dimungkiri bahwa Kementerian Pertanian merupakan satu-satunya
lembaga birokrasi pemerintah yang mempunyai cakupan wilayah kerja dan birokrasi
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat pedesaan di seluruh negeri.
Pengalaman selama ini menunjukkan, tidak sedikit program pertanian berupa
bantuan sarana produksi dipaksakan di suatu wilayah yang secara agroekologi dan
sosial ekonomi tidak sesuai.
Kenyataan yang lebih ekstrem adalah dalam satu wilayah
terdapat penumpukan kegiatan program-program pertanian dan alokasi dana yang
ditentukan semata-mata berdasarkan pertimbangan politis untuk menjaring
perolehan suara. Dapat diduga bahwa program semacam ini akan gagal dan berarti
penghamburan uang negara.
Dalam hal ini perlu diapresiasi langkah Kementerian Pertanian
yang membentuk kawasan pertanian dengan prioritas komoditas unggulan di
masing-masing wilayah kabupaten.
Pembentukan kawasan pertanian didasarkan atas usulan
masing-masing pemerintah kabupaten, yang kemudian dievaluasi secara akademis
dengan melibatkan lembaga penelitian. Langkah tersebut setidaknya akan
mengurangi program-program yang tidak didasarkan pada kondisi agroekologi
wilayah dan mengoptimalkan anggaran negara.
Penutup
Tantangan penyediaan pangan melalui produksi komoditas
pertanian ke depan akan semakin sulit. Untuk itu, pemanfaatan hasil riset komoditas
pertanian dalam kaitannya dengan peningkatan produksi dan nilai tambah untuk
meningkatkan penawaran komoditas mutlak dilakukan.
Peluang peningkatan produksi komoditas hanya akan diperoleh
dengan penerapan teknologi budidaya yang benar. Dengan demikian, tantangan bagi
lembaga riset adalah kemampuan menyediakan teknologi dan informasi yang dapat
diakses para pemangku kepentingan.
Membangun basis data dan melakukan inventarisasi informasi
teknologi budidaya komoditas pertanian dan analisis sosial ekonominya harus
dilakukan.
Penguatan kerja sama antara fungsi-fungsi penelitian dan
pengembangan dengan pihak pemangku kepentingan dilakukan melalui perbaikan
mekanisme penyaluran informasi, dan sintesis hasil riset.
Belajar dari pengalaman swasembada beras, saat itu hampir
semua pemangku kepentingan bekerja keras, termasuk para pemimpin nasional.
Mereka berpartisipasi dalam pembentukan Badan Bimas, program intensifikasi dan
ekstensifikasi, pembangunan sarana dan saluran irigasi, keterlibatan Bulog
dalam stabilisasi harga beras, serta pengaturan impor. Bisakah kita
melakukannya untuk pengembangan pangan lainnya? Sekarang? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar