Sabtu, 28 September 2013

Mesir dan Arab Pasca-Ikhwan

Mesir dan Arab Pasca-Ikhwan
Ibnu Burdah  ;   Dosen UIN Sunan Kalijaga asal Trenggalek, Pernah riset di Mesir
JAWA POS, 27 September 2013



PENDONGKELAN Muhammad Mursi melalui kekuatan jalanan plus militer telah menjadi pola baru perebutan kekuasaan di Mesir. Itu seolah telah "mengoreksi" pilihan revolusi rakyat Mesir 25 Januari untuk menentukan masa depan mereka hanya melalui jalan demokratis. Bisa diartikan, sebagian rakyat Mesir memang menginginkan peran militer dalam pemerintahan negeri tersebut. 

Pendukung Mursi telah melakukan aksi serupa untuk menuntut dikembalikannya mandat memerintah Mesir kepada Mursi selama hampir tiga bulan ini. Demonstrasi damai di titik-titik baru di semua kota di Mesir dan dengan pola baru terus menguat. Kini jalanan dipandang sebagai saluran utama untuk bersuara, bahkan sumber legitimasi baru untuk menyatakan diri paling berhak memerintah.

Jika kita cermati secara saksama, dari sisi jumlah, pemerataan konstituen, dan durasi aksi mereka, massa pendukung Mursi yang pernah turun ke jalan selama sekitar tiga bulan ini sebenarnya lebih besar daripada kekuatan massa yang menjatuhkan Mursi. Jika jalanan yang menjadi ukuran, Mursi sebenarnya lebih berhak untuk tetap memerintah Mesir daripada rezim Adly Manshur-Abdul Fatah As Sisi sekarang.

Pendukung Mursi sudah menunjukkan kemampuan mereka memenangi pertarungan baik di bilik suara maupun di jalanan. Tetapi, karena aparat bersenjata melawan mereka, mereka sekarang diperlakukan sebagai musuh negara. Pemimpin mereka terus diburu dan ditangkapi. Massa pendukung mereka diperlakukan secara sangat represif. Kampanye hitam terhadap mereka juga sangat digencarkan, terutama melalui media massa. 

Pemerintah Mesir bahkan membubarkan secara resmi Ikhwanul Muslimin -organisasi pendukung Mursi- terhitung mulai 23 September lalu. Semua cabang, semua organisasi yang berafiliasi kepadanya, semua aktivitas, dan aset-aset mereka dibekukan. Padahal, aset dan lembaga-lembaga yang berafiliasi kepada Ikhwan itu sangat-sangat besar dan hampir merata di seantero Mesir.

Dengan demikian, Ikhwan kembali menjadi organisasi terlarang sebagaimana sebelumnya. Selama 85 tahun, Ikhwan, sekalipun di-kuyo-kuyo, terus bergerak konkret membantu masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan. Pembubaran kali ini diperkirakan tak akan mematikan Ikhwan. 

Pilihan Selain Demokrasi 

Peristiwa di Mesir semakin meneguhkan tesis selama ini. Yakni, negara-negara Arab -kecuali nonmonarki- adalah negara "militer". Gelombang demokratisasi yang kita kenal dengan "Musim Semi Arab", seberapa pun harapan yang dibawanya, belum mengubah karakter paling dalam dari negara-negara itu. Perbedaannya, jika dahulu tentara merebut kekuasaan dengan senjata (hard powers), sekarang mereka memerlukan legitimasi tambahan dari kekuatan massa di jalanan. 

Peristiwa di Mesir telah menjadi perhatian serius dari berbagai kekuatan di dunia Arab. Khususnya di negara-negara Arab springs seperti Tunisia, Libya, dan Yaman. Beberapa pemimpin di Tunisia bahkan telah menyatakan, skenario Mesir sangat mungkin terjadi di negara mereka. Apalagi, situasi di negara itu memiliki kemiripan dengan Mesir setelah jatuhnya Zaenal Abidin bin Ali: diperintah kelompok muslim ideologis ikhwani (An Nahdhah) dan stabilitas politik, keamanan, dan prestasi ekonomi negara itu belum bisa memenuhi ekspektasi sangat tinggi rakyatnya. Pembunuhan Muhammad Al Brahmi, wakil ketua partai oposisi, menjadi salah satu pemicu gerakan massa yang membesar.

Negara-negara yang bertetangga dan sangat berkepentingan dengan Mesir seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk lain, Syria, Jordania, Israel, dan Palestina, terutama Hamas, sepertinya siap terlibat secara tidak langsung untuk membantu pihak-pihak di Mesir yang bertentangan. Pemimpin negara-negara Teluk, minus Qatar, langsung bersorak begitu Mursi jatuh. Mereka menggelontorkan miliaran dolar untuk membantu menyelamatkan perekonomian negara itu. Mereka tentu masih diliputi kecemamasan melihat perkembangan terakhir di jalanan Mesir. Hamas, Jordania, dan Israel juga menunggu dengan cemas perkembangan Mesir yang tak menentu. 

Jika Mesir tak mampu segera mencapai solusi politik yang bisa menghentikan aksi massa dan kekerasan di jalanan serta membuat kedua pihak kembali ke jalur demokrasi (bilik suara), hal itu bukan hanya membahayakan masa depan Mesir, namun juga negara-negara Arab yang lain. "Mesir bagi dunia Arab ibarat Kairo bagi Mesir," kata Jamal Hamdan, ahli geografi top Mesir.

Selain kekhawatiran semakin banyaknya korban dan kehancuran fisik dan sosial, ada akibat lain yang tak bisa diremehkan dari perkembangan ini. Dunia Arab tak lagi memandang demokrasi sebagai masa depan mereka. 

Bahkan, kelompok-kelompok muslim ideologis yang dikecewakan seperti Ikhwan di Mesir, Hamas di Palestina, dan FIS (Front Islamique du Salut) di Aljazair yang telah memilih jalan demokrasi bisa "murtad" dari jalan itu dan memilih jalan yang lain. Sementara itu, kelompok-kelompok yang sejak awal menolak demokrasi dan memilih jalan kekerasan semakin memperoleh pembenaran. 

Sungguh suatu nestapa bila itu menjadi virus yang menular ke gerakan-gerakan Islam di dunia Arab dan negara-negara berpenduduk muslim, termasuk di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar