|
HAMPIR
diik dipastikan, tidak banyak orang tahu bahwa hari ini adalah Hari Kontrasepsi
Dunia (HKD). Peringatan yang dimulai sejak 2007 oleh masyarakat Uni Eropa
dilakukan di berbagai belahan dunia dengan sebutan World Contraception Day (WCD) dan mempunyai visi bahwa setiap
kehamilan adalah diinginkan. Melalui moto `Masa depanmu, pilihanmu,
kontrasepsimu', HKD 2013 mempunyai fokus untuk memberdayakan remaja/pemuda (youth) berpikir ke depan dan memasukkan
kontrasepsi ke perencanaan ke depan, dalam rangka menghindari kehamilan yang
tidak direncanakan atau penyakit menular seksual (PMS).
Mengapa
fokus kepada pemuda (remaja)? Karena jumlah penduduk muda ini sangat besar. PBB
mendefinisikan pemuda/remaja mereka yang berumur 15 tahun-24 tahun dan
jumlahnya sekitar 1,2 miliar atau 18% dari seluruh penduduk dunia. Sebanyak 87%
remaja di antaranya tinggal di negara berkembang b k b dan 62% d hidup di
negara-negara Asia. Artinya, di negara berkembang, jumlah remaja hampir separuh
jumlah penduduk di negara tersebut. Remaja di Asia Pasifik dianggap tidak punya
pengetahuan yang cukup tentang kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi serta
hak-hak reproduksi. Hal itulah yang menyebabkan banyaknya kasus melanda remaja
seperti pemerkosaan, diskriminasi dan pelecehan seksual, kekerasan dan
eksploitasi, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), aborsi yang tidak aman,
serta infeksi penyakit menular termasuk HIV/AIDS.
Potret
remaja di belahan dunia khususnya di Asia Selatan dan Asia Tenggara kurang
mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Ada
anggapan bahwa informasi tersebut belum diperlukan bahkan dianggap berbahaya
kalau mereka tahu. Tidak mengherankan kalau angka kelahiran remaja masih cukup
tinggi. Di Indonesia diperkirakan, kelahiran sekitar 48 per seribu penduduk
remaja (2012), jika dibandingkan dengan Malaysia sekitar k 14 (2009), China 6,2
(2009), dan 1 Vietnam 35 (2009). Di Indonesia, kelahiran remaja di perdesaan
hampir dua kali jika dibandingkan dengan daerah perkotaan yaitu 62 per 1.000
(desa) dan 35 per 1.000 (kota).
Karakteristik pemakai
Meskipun
kontrasepsi diperkenalkan seumur program KB di Indonesia, masih banyak rumor
dan kepercayaan tentang kontrasepsi termasuk soal kehamilan. Banyak persepsi
yang salah, seperti tidak akan hamil kalau dilakukan hubungan seksual sekali
saja, atau meloncat-loncat sehabis berhubungan seksual. Mitosmitos semacam
itulah yang akhirnya membawa dampak banyaknya kasus KTD.
Hampir
setiap wanita di Indonesia usia 15-49 tahun berstatus kawin mengetahui paling
sedikit satu alat metode kontrasepsi (98%, SDKI 2012). Pengetahuan pria sedikit
lebih rendah sekitar 94%. Metode yang paling banyak diketahui ialah suntik dan
pil. Namun, ternyata pengetahuan tidak sejalan dengan praktik pemaka ian
kontrasepsi. Wanita kawin usia reproduksi yang aktif memakai kontrasepsi hanya
62%, dengan 58% cara modern dan 4% cara tradisional. Angka pemakaian
kontrasepsi itu dapat dikatakan stagnan sejak 2002 (SDKI, 2002-2003).
Penggunaan metode hormonal tampaknya paling disukai wanita kawin usia subur
itu, suntikan yang pada 1991 hanya 12% mening kat 32% pada 2012.
Sementara itu,
metode IUD turun dari 13% (1991) menjadi 4%, sedangkan pil tetap menduduki
peringkat kedua sekitar 14% sejak 1991 sampai sekarang.
Namun
sayang, tingkat putus pakai peserta KB di Indonesia masih cukup tinggi. Secara
umum, sebanyak 27% pemakai kontrasepsi berhenti memakai alat kontrasepsi
setelah satu tahun pakai. Tingkat putus pakai tertinggi adalah pil (41%),
kondom (31%), dan suntik (25%).
Banyak hal
harus dibenahi kalau melihat potret pemakai kontrasepsi. Pertama, pola
pembinaan pascapelayanan. Secara teoretis, setiap alat/obat kontrasepsi hampir
100% dikatakan efektif. Namun, perilaku pemakai dan terkadang pemberi pelayanan
menyebabkan alat/obat kontrasepsi tersebut menjadi kurang efektif.
Pembiaran terhadap kesalahan pemakaian kontrasepsi akan mendorong bertambahnya
kasus KTD.
Kedua,
sebanyak 40% pemakai menyatakan tidak berniat lagi memakai kontrasepsi karena
alasan fertilitas, yaitu berhubungan dengan menopause, abstinen, merasa tidak
subur, dan pasangan ingin punya anak lagi. Untuk itu, identifikasi sasaran
harus lebih terarah sehingga dapat memberikan dampak yang bermakna bagi
penurunan fertilitas. Pemahaman yang keliru tentang infertilitas juga dapat
mendorong terjadinya KTD.
Ketiga,
masih cukup banyak pasangan usia subur tidak ber-KB karena berhubungan dengan
alat kontrasepsi. Sekitar 23% mereka menyatakan karena alasan kesehatan, efek
samping, kurang akses, dan biaya mahal. Kampanye yang intensif khususnya
interpersonal tampaknya sangat perlu dilaksanakan secara komprehensif. Hal itu
untuk mengurangi kecemasan terhadap pemakaian alat kontrasepsi terkait dengan
rumor dan mitos alat kontrasepsi.
Penyediaan
alat kontrasepsi sesuai dengan prinsip enam tepat (waktu, jumlah, kualitas,
jenis, tempat, dan harga) juga berperan dalam meningkatkan akses terhadap
pelayanan kontrasepsi. Tidak kalah penting ialah peningkatan kemampuan tenaga
pelayanan agar di samping mampu meningkatkan akses, juga kualitas pelayanan
alat kontrasepsi yang dibutuhkan.
Keempat,
tingkat kebutuhan ber-KB yang tidak terlayani masih cukup tinggi (unmet need). Sekitar 11% wanita kawin
usia reproduksi yang ingin ber-KB masih belum terlayani karena berbagai sebab.
Angka itu harus diturunkan karena kalau mereka tidak terlayani, akan mengalami
KTD. Pada akhirnya sebagian besar kehamilan akan berakhir dengan aborsi yang
sangat membahayakan jiwa si ibu kalau dilakukan secara tidak aman.
Bagaimana dengan remaja?
Pertanyaan
itu selalu menggelitik. Perdebatan tentang remaja yang secara seksual sudah
aktif apakah membutuhkan pelayanan kontrasepsi. Hasil Deklarasi Bali yang dicetuskan
para remaja Yogya pada saat World
Population Day (WPD) atau Hari Kependudukan Dunia sungguh di luar dugaan.
Komunitas Yogya yang kita perkiraan santun dan tradisional ternyata remajanya
menuntut diberikan hak reproduksi dan seksual mereka, antara lain dengan
tuntutan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif tanpa memandang
status perkawinan seseorang.
Artinya,
secara eksplisit itu dapat diterjemahkan meminta pelayanan kontrasepsi daripada
terjadi KTD di kalangan remaja. Diperkirakan, di Indonesia sekitar 20% terjadi
KTD pada remaja sebelum mereka melakukan pernikahan. Tentu kita tidak ingin
para remaja terdiskriminasi. Namun, norma, budaya, dan agama di Indonesia tidak
menghendaki adanya pelayanan kontrasepsi pada remaja. UU No 52/2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga juga mengisyaratkan bahwa
pemerintah hanya menyediakan pelayanan kontrasepsi pada pasangan usia subur.
Tujuan
setiap kehamilan adalah yang diinginkan masih jauh dari harapan. Impian kita
pasti sama, setiap kehamilan adalah
anugerah. Setiap kehamilan adalah harapan. Selanjutnya terserah Anda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar