|
PERDANA
Menteri Australia yang baru dilantik, Tony Abbot, memutuskan menerapkan
kebijakan keras dan tegas terhadap manusia perahu. Ini perwujudan salah satu
janji kampanye, yaitu mengembalikan manusia perahu, termasuk dari Indonesia, ke
negara asal.
Di
belahan bumi lain, ribuan warga negara Suriah memasuki wilayah Italia,
mengungsi karena merasa tidak aman tinggal di negaranya. Mungkin saat ini, di
Samudra Pasifik masih banyak perahu berisikan orang Afghanistan, berjuang
mengarungi gelombang ganas Laut Samudra Pasifik, menuju ke Australia.
Mereka
menyabung nyawa, mau naik perahu seadanya, demi memperoleh rasa aman dan
harapan hidup lebih baik. Ketika negara tak lagi dapat menghadirkan dua hal
itu, berarti negara telah gagal melindungi warga negaranya. Negara sebenarnya
identik dengan perusahaan, tidak abadi, bisa bangkrut, atau berganti nama.
Yang
abadi adalah rakyat yang mengisi, dan mereka adalah pemilik. Pemerintahan yang
berkuasa adalah direksi perusahaan, yang ditunjuk rakyat selaku pemegang saham.
Mereka ditugaskan mengelola negara sehingga pada periode tertentu menjadi
negara yang bisa mencapai target.
Artinya,
ketika nilai saham-saham negara menjadi properti yang sangat berharga untuk
menjaga kemakmuran investor yang membeli. Pada titik itu, kesejahteraan menjadi
keniscayaan yang diperoleh rakyat karena pemerintah berhasil membawa nilai
negara, menjadi sesuatu, yang oleh rakyat sebagai pemiliknya, tak ingin lagi
dilepaskan. Saat matahari terbit di ufuk timur, saya bernapas lega, melihat
masih banyak harapan bisa ditebarkan.
Tak
pernah terbayangkan menjadi manusia perahu atau mengungsi ke negeri lain.
Sangat sulit meninggalkan burung-burung yang tiap pagi selalu setia berkicau,
membuat ingin hidup lebih lama di Bumi Pertiwi. Tapi, manusia punya batas
kesabaran dan toleransi yang bisa saja jebol sehingga apa yang saya bayangkan
tadi tidak lagi menjadi ukuran. Jika rasa tertekan dialami oleh rakyat banyak,
ia berubah menjadi kekuatan yang bisa mengganggu stabilitas negara.
Pada
saat itu, negara pun kehilangan wibawa, Pemerintah, sebagai operator, tidak
lagi dipercaya sepenuhnya oleh pemilik negara karena nilai negara di mata
rakyat menurun, anjlok price earning ratio-nya. Maka negara seperti layaknya
perusahaan, bisa bangkrut dan digugat rakyat untuk dipailitkan.
Sesuai
fungsinya, negara harus memberi kenyamanan kepada rakyat. Negara harus
menyediakan instrumen yang dapat menertibkan ketimpangan sehingga bisa
meminimalisasi risiko yang merugikan publik. Jangan sampai menggadaikan wibawa
negara demi kepentingan tertentu. Pemerintah punya kewajiban, kalau benar ada,
segera mengendalikan kartel kedelai, sapi, gula atau pun kartel lain yang
merusak ekonomi negara.
Berani dan Tegas
Kartel
sebenarnya sesuatu yang alamiah, selalu ada dalam tiap pasar ekonomi. Hanya,
mereka tak bisa sepenuhnya menggunakan fungsi untuk meraih margin semata.
Pasalnya, ada aturan main yang harus dipenuhi, usaha mereka pun bergantung pada
permintaan konsumen yang punya ekspektasi terhadap produk kartel.
Rasanya
menyakitkan bila kartel menjadi kekuatan yang menentukan harga, sementara
negara tak berbuat banyak untuk mengendalikan. Pada saat harga diatur bukan
karena kekuatan permintaan dan penawaran, para pemilik barang bisa mengatur
margin yang ingin mereka peroleh.
Kuasa
ini membuat mereka makin bertambah makmur, penguasaan terhadap pasar makin
mencengkeram, sedangkan rakyat hanya bisa pasrah menerima beban. Mengatur
kartel tidak mudah, anggota yang tergabung dalam kartel dagang punya sumber
daya dan jejaring luas. Saya ingat ketika salah satu mantan dirut BUMN
perkebunan menceritakan kekuatan kartel gula. Akibatnya BUMN itu yang juga
produsen gula tidak bisa berbuat banyak untuk masuk pasar retail.
Gula
yang sudah disiapkan terpaksa tertahan di gudang karena harga pasar jauh lebih
rendah dari harapan akibat ulah kartel yang terus membanjir pasar. Pengalaman
menyakitkan itu membuat mereka tidak lagi masuk ke rantai pasar retail.
Pengalaman serupa pernah dialami teman yang sekarang menjadi pemain andal
perdagangan sapi.
Saat
kali pertama bermain, ia harus berhadapan dengan kartel yang menguasai banyak
belantik, dan pembeli baru harus mengikuti harga yang mereka atur. Namun dengan
keberanian merugi dan nekat meraih sukses, kartel itu akhirnya tidak mampu
membatasinya bermain dalam perdagangan sapi.
Teman
saya yang semula tidak tahumenahu tentang sapi, kini tiap minggu mengirim sapi
ke Jakarta, menjadi pedagang sukses. Jika pemerintah berani dan tegas (bukan
sekadar nekat), apalagi demi kepentingan rakyat, saya kira tidak ada hal yang
tak bisa diatasi. Apalagi bila hanya mengendalikan kartel.
Apa
pun yang dilakukan pemerintah, jika itu membuat rakyat tersenyum lebih lebar,
nilai negara bertambah tinggi. Rakyat pun makin cinta dan tak akan pernah
berpikir meninggalkan. Elektabilitas pemerintah berkuasa akan sangat tinggi.
Pasalnya, tak satu pun rakyat menginginkan, berpikir, bahkan bermimpi negara
akan kehilangan wibawa di mata mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar