Sabtu, 28 September 2013

Negara Kehilangan Wibawa

Negara Kehilangan Wibawa
Ihwan Sudrajat ;  Staf Ahli Gubernur Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 26 September 2013


PERDANA Menteri Australia yang baru dilantik, Tony Abbot, memutuskan menerapkan kebijakan keras dan tegas terhadap manusia perahu. Ini perwujudan salah satu janji kampanye, yaitu mengembalikan manusia perahu, termasuk dari Indonesia, ke negara asal.

Di belahan bumi lain, ribuan warga negara Suriah memasuki wilayah Italia, mengungsi karena merasa tidak aman tinggal di negaranya. Mungkin saat ini, di Samudra Pasifik masih banyak perahu berisikan orang Afghanistan, berjuang mengarungi gelombang ganas Laut Samudra Pasifik, menuju ke Australia.

Mereka menyabung nyawa, mau naik perahu seadanya, demi memperoleh rasa aman dan harapan hidup lebih baik. Ketika negara tak lagi dapat menghadirkan dua hal itu, berarti negara telah gagal melindungi warga negaranya. Negara sebenarnya identik dengan perusahaan, tidak abadi, bisa bangkrut, atau berganti nama.

Yang abadi adalah rakyat yang mengisi, dan mereka adalah pemilik. Pemerintahan yang berkuasa adalah direksi perusahaan, yang ditunjuk rakyat selaku pemegang saham. Mereka ditugaskan mengelola negara sehingga pada periode tertentu menjadi negara yang bisa mencapai target.

Artinya, ketika nilai saham-saham negara menjadi properti yang sangat berharga untuk menjaga kemakmuran investor yang membeli. Pada titik itu, kesejahteraan menjadi keniscayaan yang diperoleh rakyat karena pemerintah berhasil membawa nilai negara, menjadi sesuatu, yang oleh rakyat sebagai pemiliknya, tak ingin lagi dilepaskan. Saat matahari terbit di ufuk timur, saya bernapas lega, melihat masih banyak harapan bisa ditebarkan.

Tak pernah terbayangkan menjadi manusia perahu atau mengungsi ke negeri lain. Sangat sulit meninggalkan burung-burung yang tiap pagi selalu setia berkicau, membuat ingin hidup lebih lama di Bumi Pertiwi. Tapi, manusia punya batas kesabaran dan toleransi yang bisa saja jebol sehingga apa yang saya bayangkan tadi tidak lagi menjadi ukuran. Jika rasa tertekan dialami oleh rakyat banyak, ia berubah menjadi kekuatan yang bisa mengganggu stabilitas negara.

Pada saat itu, negara pun kehilangan wibawa, Pemerintah, sebagai operator, tidak lagi dipercaya sepenuhnya oleh pemilik negara karena nilai negara di mata rakyat menurun, anjlok price earning ratio-nya. Maka negara seperti layaknya perusahaan, bisa bangkrut dan digugat rakyat untuk dipailitkan.
Sesuai fungsinya, negara harus memberi kenyamanan kepada rakyat. Negara harus menyediakan instrumen yang dapat menertibkan ketimpangan sehingga bisa meminimalisasi risiko yang merugikan publik. Jangan sampai menggadaikan wibawa negara demi kepentingan tertentu. Pemerintah punya kewajiban, kalau benar ada, segera mengendalikan kartel kedelai, sapi, gula atau pun kartel lain yang merusak ekonomi negara.

Berani dan Tegas

Kartel sebenarnya sesuatu yang alamiah, selalu ada dalam tiap pasar ekonomi. Hanya, mereka tak bisa sepenuhnya menggunakan fungsi untuk meraih margin semata. Pasalnya, ada aturan main yang harus dipenuhi, usaha mereka pun bergantung pada permintaan konsumen yang punya ekspektasi terhadap produk kartel.

Rasanya menyakitkan bila kartel menjadi kekuatan yang menentukan harga, sementara negara tak berbuat banyak untuk mengendalikan. Pada saat harga diatur bukan karena kekuatan permintaan dan penawaran, para pemilik barang bisa mengatur margin yang ingin mereka peroleh.

Kuasa ini membuat mereka makin bertambah makmur, penguasaan terhadap pasar makin mencengkeram, sedangkan rakyat hanya bisa pasrah menerima beban. Mengatur kartel tidak mudah, anggota yang tergabung dalam kartel dagang punya sumber daya dan jejaring luas. Saya ingat ketika salah satu mantan dirut BUMN perkebunan menceritakan kekuatan kartel gula. Akibatnya BUMN itu yang juga produsen gula tidak bisa berbuat banyak untuk masuk pasar retail.

Gula yang sudah disiapkan terpaksa tertahan di gudang karena harga pasar jauh lebih rendah dari harapan akibat ulah kartel yang terus membanjir pasar. Pengalaman menyakitkan itu membuat mereka tidak lagi masuk ke rantai pasar retail. Pengalaman serupa pernah dialami teman yang sekarang menjadi pemain andal perdagangan sapi.

Saat kali pertama bermain, ia harus berhadapan dengan kartel yang menguasai banyak belantik, dan pembeli baru harus mengikuti harga yang mereka atur. Namun dengan keberanian merugi dan nekat meraih sukses, kartel itu akhirnya tidak mampu membatasinya bermain dalam perdagangan sapi.

Teman saya yang semula tidak tahumenahu tentang sapi, kini tiap minggu mengirim sapi ke Jakarta, menjadi pedagang sukses. Jika pemerintah berani dan tegas (bukan sekadar nekat), apalagi demi kepentingan rakyat, saya kira tidak ada hal yang tak bisa diatasi. Apalagi bila hanya mengendalikan kartel.

Apa pun yang dilakukan pemerintah, jika itu membuat rakyat tersenyum lebih lebar, nilai negara bertambah tinggi. Rakyat pun makin cinta dan tak akan pernah berpikir meninggalkan. Elektabilitas pemerintah berkuasa akan sangat tinggi. Pasalnya, tak satu pun rakyat menginginkan, berpikir, bahkan bermimpi negara akan kehilangan wibawa di mata mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar