|
Tragedi wawancara artis Zaskia Shinta
dan Vicky Prasetyo, awal September lalu, telah menjadi topik perbincangan di
media sosial dan media massa.
Wawancara pertunangan sehari mereka
pun telah muncul di Youtube. Dalam lima hari, 288.000 pengunjung telah melihat
”bencana kebahasaan” itu dan menjadi olok-olok publik.
Saya tidak akan menambah olok-olok
itu lagi di sini, tetapi mencoba berhenti sejenak dan merefleksikan mengapa hal
seperti itu bisa terjadi. Kesimpulannya, di samping faktor psikologi kompleks
sang penutur, masalah ini memang sedang merasuki psikologi sosial kebahasaan
kita di media, terutama TV.
Gaya sosialita
Media televisi telah memengaruhi
kultur kebahasaan masyarakat. Acara seperti talk show, music show, sinetron, reality show, dan kuis telah menghadirkan kiblat baru dalam
berkomunikasi ala sosialita dan Jakarta. Coba perhatikan model komunikasi acara
Master Chef Indonesia. Juri seperti
Arnold Poernomo, Degan Septoadji, dan Ririn Marinka tak hanya profesional,
tetapi juga pernah mendapat pendidikan dan meniti karier di luar negeri
sehingga penguasaan bahasa asing (terutama Inggris) terlihat baik.
Mungkin penggunaan bahasa asing itu
bukan pamer, melainkan ekspresi alam bawah sadar karena telah menjadi model
wicara, parole, harian. Ditambah lagi program lisensi luar negeri itu
mensyaratkan pakem bahasa global sebagai bagian standardisasi pertunjukan yang
elegan.
Padahal, secara histori-linguistik,
tak ada jaring penghubung Indonesia dan Amerika, kecuali melalui televisi dan
film Hollywood. Jaring-jaring pertautan histori-linguistik kita sesungguhnya
lebih lekat dengan bahasa Sanskerta, India-Urdu, Arab, Persia, Belanda,
Spanyol, baru kemudian Inggris (British).
Itu pula mengapa dalam sejarah
serapan kata, kita mengenal kata-kata khabar,
ashram, presis, syakti, syirna, aktie, proclamatie, studen sebelum
dikodifikasi dalam Ejaan yang Disempurnakan. Atau penggunaan meminimilir dan informil
yang awalnya pengaruh Belanda diubah menjadi meminimalisasi dan informal
sebagai pengaruh Inggris-Amerika.
Saat ini, seperti ada jebakan,
ketika berbicara di ruang publik atau televisi tidak menggunakan American
style dan gaya bahasa Jakarta, kita dianggap tidak standar dan belum
intelek. Belum lagi jika ingin dianggap kaum sosialita (istilah yang muncul belakangan
mendefinisikan komunitas pesohor atau artis), mau tak mau ber-Inggris ria menjadi rukun dan syarat.
Itu satu hal!
Hal lainnya adalah penggunaan
istilah. Sesungguhnya penggunaan istilah atau terminologi merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindarkan ketika bahasa telah berkembang dari sekadar alat
komunikasi menjadi tanda pengetahuan dengan struktur makna yang khusus dan
disiplin. Istilah, derivasi bahasa asing, makna konotasi, dan metafora adalah
bagian dari perkembangan bahasa karena fungsi bahasa yang tidak selalu
denotatif atau bermakna langsung.
Pengaruh antrolinguistik
Dalam keseharian, kita tidak hanya
menggunakan kata makan, menyinta, terjengkang, tunggang
langgang, tetapi juga mengenal kata sinkronisasi, sofistikasi, resiliensi,
polarisasi yang telah terpapar atau terderivasi ke dalam bahasa Indonesia.
Sejarah leksikalitas itu akan panjang jika diurai, tetapi satu hal yang ingin
disinggung di sini, efek fonetis -sasi memengaruhi antrolinguistik
masyarakat untuk berkomunikasi secara serampangan.
Jadilah kalimat seperti ”harmonisasi dari yang terkecil hingga
terbesar”, seperti yang diungkap Vicky. Padahal, bisa
digunakan penyesuaian, kompromi, atau penyelerasan untuk
konteks kalimat itu.
Ada nasihat baik dari Jacques
Derrida, filsuf bahasa asal Perancis, bahwa dalam komunikasi lisan (atau untuk
konteks sekarang komunikasi pseudo-tulisan seperti Twitter), gunakanlah bahasa
yang bersifat langsung, sederhana, dan umum karena kita sedang berhadapan
dengan audiens yang meluas atau massa.
Berbeda dengan bahasa tulisan (L'écriture), diperlukan persiapan
kedalaman dan memaksimalkan fungsi différence:
menunda/menunggu (to defer) dan memberikan perbedaan (to
differ) dengan bahasa lisan. Mengapa? Itu karena bahasa tulisan dimaksudkan
menghidupkan semesta pengetahuan (logosentrisme) dan bukan hanya berhenti di
logika bunyi (fonosentrisme) sehingga setiap omongan hanya jadi sesuatu yang
berlepas tangkap lalu menghilang.
Secara lebih praksis, sederhanalah
dalam berbicara dan cermatlah dalam menulis. Jangan melewati batas, apalagi
jika Anda hanya ingin memuaskan para pemirsa televisi. Tak perlu kalimat ”mengkudeta apa yang kita miliki” dan ”konspirasi kemakmuran” yang gramatikal
kacau dan secara sosial terkesan ingin kelihatan intelek. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar