|
Inti kurikulum baru 2013 yang sedang heboh belakangan ini
adalah sifatnya yang tematik dan integratif. Dalam bahasa mudahnya, kurikulum
baru ini berkeinginan agar setiap komponen ajar (tematik) disisipkan ke dalam
semua mata pelajaran (integratif). Karena itu, jumlah mata pelajaran
dirampingkan dan mata ajar yang hilang dilebur ke dalam mata pelajaran lain.
Sebagai contoh, pelajaran bahasa Inggris akan hilang di tingkat pendidikan
dasar dan diajarkan secara integratif lewat penyisipan di pelajaran-pelajaran
lain.
Sayangnya, meskipun kurikulum baru ini berjanji akan
membawa pendidikan ke arah yang lebih baik, ada satu hal tercecer yang
sejatinya bisa mengasah kurikulum tersebut lebih sempurna lagi. Yaitu, masih
minimnya mata pelajaran berbasis kecakapan hidup (life-skills). Maksudnya, mata pelajaran yang mampu membekali anak
didik dengan pengetahuan, sikap (attitude),
dan keterampilan dasar yang diperlukan dalam perjalanan hidup.
Untuk itu, mendongeng layak dipertimbangkan sebagai salah
satu mata pelajaran resmi yang mulai diberikan sejak SD. Sebab, mendongeng
memiliki beragam manfaat pedagogis (pendidikan). Tak kurang dari Lilian
Holewell dalam A Book for Children
Literature (Sekolah Alternatif Anak,
Penerbit Buku Kompas, 2002:4) mencatat sedikitnya enam manfaat dongeng.
Selain dapat mengembangkan daya imajinasi dan pengalaman emosional, memuaskan
kebutuhan ekspresi diri melalui proses identifikasi, memberikan pendidikan
moral tanpa menggurui sang anak, memperlebar cakrawala mental si anak dan
memberikan kesempatan untuk meresapi keindahan, dan menumbuhkan rasa humor
dalam diri si anak, dongeng dapat memberikan persiapan apresiasi sastra dalam
kehidupan si anak setelah dewasa.
Selain itu, mendongeng merupakan salah satu bentuk budaya
dan kesenian, yang merupakan bagian dari komponen pokok dalam kurikulum kita.
Bahkan, lebih hebat lagi, mendongeng sejatinya piranti untuk menumbuhkan sikap
dan nalar kritis mengingat sejarah kemunculan dongeng sebagai budaya tandingan
(counter culture). Yaitu, mengimbangi
kesusastraan yang membelenggu kesadaran rakyat dengan gambaran kehidupan para
dewa yang serba enak, indah, nyaman, menakjubkan. Dongeng mangajarkan kehidupan
yang baik, bukanlah di dunia lain 'para dewa', melainkan yang membumi dan
dibangun di atas kesadaran akan harga serta potensi diri.
Keuntungan lain, mendongeng dapat melatih kemampuan anak
berbahasa, baik bahasa Indonesia maupun Inggris. Di samping, akan memupuk rasa
percaya diri anak dalam berkomunikasi di depan publik (public speaking), sebuah kemampuan dasar yang diperlukan dalam
perjalanan hidup, entah ketika melakukan presentasi, membawa acara (master of ceremony), bergaul dengan
sesama, dan seterusnya.
Tak kalah penting, mendongeng akan menghindarkan anak didik
menjadi pribadi yang terlalu termanjakan oleh budaya audio-visual hasil paparan
media televisi yang terbukti hanya menumpulkan daya imajinasi, empati, dan
kreativitas manusia. (Marshall McLuhan
dalam Understanding Media, 1964).
Sebaliknya, mendongeng akan mengaktifkan segala potensi
kognitif, emosi dan imajinasi anak. Sehingga, anak didik di kala besar mampu
menjadi pribadi yang banyak akal dalam menghadapi pelbagai permasalahan hidup
dan bisa memberikan sumbangsih serta kontribusi kreatif bagi perbaikan
masyarakat maupun bangsa. Mendongeng pun bisa menjadi sarana menyelipkan
berbagai mata pelajaran lain, seperti matematika, IPA, pendidikan
kewarganegaraan, dan IPS.
Tambahan lagi, kisah-kisah dongeng yang sarat moral akan
menjadi wahana ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan luhur, seperti keteladanan,
toleransi, rasa cinta terhadap alam (termasuk flora dan faunanya), sikap
gotong-royong, dan lain sebagainya. Artinya, rasa etika (sense of ethics), empati, dan budaya keadaban (civic culture) anak-anak akan terasah secara alamiah dan tak
dipaksakan lewat dongeng.
Terakhir, kemampuan mendongeng mampu menjadi bekal
kecakapan hidup (life-skills)
paripurna bagi anak didik yang nantinya tertarik menjadi pendongeng profesional
dan mencari nafkah dari situ. Kita lihat betapa banyak tokoh yang mampu hidup
layak dari menjadi pendongeng profesional, seperti Kak Seto yang terkenal
dengan karakter Komo; saudara kembar Kak Seto, Kak Seno; Ria Enes dengan boneka
Susan; Gatot Sunyoto dengan boneka Tongki; dan lain sebagainya.
Betapa mendongeng merupakan paket lengkap bagi anak didik
untuk menyiapkan dirinya menghadapi hidup dengan tegar, bermartabat, mandiri,
dan bermanfaat bagi sesama. Bahkan lebih hebat lagi, mendongeng sejatinya
memiliki peran ekonomi yang luar biasa.
Pakar psikologi David McClelland (dikutip dari artikel
Ismail Marahimin dalam antologi Kiat Menulis Cerita Anak, 2012) pernah
mengungkapkan negara yang maju perekonomiannya biasanya memiliki bangsa dengan
kebutuhan berprestasi (need for achievement
atau biasa disingkat n-Ach) tinggi.
Mengejutkannya, McClelland meneliti bahwa bangsa-bangsa dengan n-Ach tinggi, ternyata memiliki kesamaan
berupa kekayaan khazanah cerita-cerita dan dongeng anak yang mengajarkan
pentingnya usaha dan kerja keras untuk meraih prestasi di dunia.
Artinya, jika sedari awal kita berinvestasi membuat
dongeng-dongeng anak yang mengandung hikmah moral tentang ketekunan, kejujuran,
anti budaya instan, dan sebagainya, ini menjadi modal awal bagi kita membangun
infrastruktur mental penting bernama n-Ach yang terbukti ampuh bagi kesuksesan
ekonomi suatu negara. Jadi, mendongeng adalah salah satu mata pelajaran yang
potensial untuk merangkum semua kecakapan yang diperlukan anak didik dalam
hidup: kecakapan kognitif (akal), afektif (emosi), dan praktis dari segi
pencaharian ekonomi. Maka itu, jadikan mendongeng sebagai mata pelajaran
sekarang juga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar