|
Berkembang pandangan bahwa problem
multidimensi yang tidak ringan saat ini memerlukan penyelesaian yang sifat dan
arahnya mendasar. Hal tersebut tidak hanya karena penyelesaian ini diperlukan
sekarang, tetapi juga karena itu penting bagi arah dan kualitas kehidupan
bangsa dan negara di masa depan. Rencana perbaikan dan langkah apa pun yang
diambil hanya akan terwujud apabila terlebih dulu dilakukan pembenahan
institusional.
Ketika publik mulai tahu betapa
besar dan meluasnya pengaruh buruk politik uang dalam proses dan pengambilan
keputusan politik—baik dalam bidang kehidupan politik, hukum, sosial-budaya,
ekonomi, maupun keamanan—pertanyaan besarnya adalah, pertama, mungkinkah
membenahi keadaan tersebut dan menghentikannya? Kedua, seberapa pentingkah
pembenahan itu? Ketiga, di tataran apa pembenahan sebaiknya dilakukan?
Banyak ”deal” di DPR
Dari DPR, kian luas terkuak tentang
banyaknya deal yang berlangsung dengan melibatkan uang. Kegiatan
pembahasan RUU lazim diwarnai kiprah pihak-pihak yang berkepentingan dalam
memperjuangkan lolosnya ketentuan tertentu dalam RUU. Begitu pula dalam
penentuan alokasi anggaran, dalam perolehan jabatan publik yang strategis, atau
bahkan dalam urusan kapitalisasi dan manajemen BUMN. Tidak sedikit yang
kemudian berujung menjadi kasus korupsi walau ada pula yang sekadar mendatangkan
keruwetan sebagaimana umumnya skandal politik.
Di tingkat daerah, potret serupa
ditengarai terutama dalam perekrutan pemimpin daerah. Besarnya peran uang yang
diperlukan untuk membiayai proses tersebut, ketika terpilih, lazimnya berujung
pada imbalan berupa pemberian konsesi usaha (terutama pemanfaatan kekayaan
alam) ataupun beragam pungutan dalam pemberian izin, yang tidak jarang
ditimpali dengan praktik suap.
Kondisi sama juga mulai hadir dalam
kehidupan birokrasi. Penempatan personel dalam jabatan, atau kesempatan
memperoleh jenjang pendidikan akademik ataupun profesi/teknis, di luar faktor-faktor
primordialisme, juga mulai melibatkan peran uang (di samping pelibatan pengaruh
politik). Banyak anggapan bahwa semua itu telah melahirkan budaya politik yang
koruptif. Uang bagai menjadi penjuru dalam setiap proses politik dan kemudian
dalam administrasi pemerintahan.
Meluasnya pemahaman tentang otonomi
yang kian berlangsung bagai tanpa pakem—dan mendorong munculnya semacam ego
kedaerahan yang sempit—telah mengobarkan gesekan yang semestinya tidak perlu
dalam hubungan pusat dan daerah, ataupun antar-pemerintah daerah. Terjadi
semacam tarik-menarik kewenangan perizinan usaha, kewenangan penentuan alokasi
ruang wilayah, dan kewenangan lain, terutama di bidang pembangunan.
Ujung dari semuanya adalah
persoalan lingkungan yang rusak, kekayaan hayati yang tergerus, dan kian
minimnya akses rakyat terhadap banyak sumber daya, terutama tanah. Simpul dari
semua itu adalah pemanfaatan sumber daya/ kekayaan alam dan, pada saat yang
sama, isu pembagian pendapatan dalam kerangka perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah. Tumbuh semacam anggapan politik bahwa semua hanya mungkin diperoleh
apabila untuk itu dimiliki political standing dan, untuk itu pula,
penggunaan uang untuk meraihnya dianggap justified. Anggapan tadi
subur karena ditopang oleh iming-iming manisnya otonomi yang dioperasikan bagai
”kedaulatan dalam skala kecil”. Konsepsi otonomi yang kurang pas atau
pemahamannya-kah yang salah?
Imbas buruk dari politik uang juga
dituding ketika di tengah harapan yang tinggi dalam gerak pembangunan, target
dan nilai investasi yang sangat ditunggu ternyata tidak terwujud. Banyak yang
menyebut buruknya infrastruktur, ketiadaan stabilitas kebijakan dan kepastian
hukum, tidak terkendalinya ekses kebijakan di tingkat pemerintah daerah,
kebijakan perburuhan yang tidak kondusif, serta maraknya beragam praktik
pungutan dan suap, baik di kalangan politisi maupun birokrasi, adalah buah dari
situasi yang merupakan produk politik uang tersebut.
Namun, selain imbas politik uang,
permasalahan juga berpangkal dari konsep dan strategi pembangunan itu sendiri.
Di samping problem kesenjangan yang juga telah diakui resmi presiden
(kemiskinan, pengangguran, kesempatan pendidikan, dan layanan kesehatan), ekses
dalam bentuk apatisme dan ketidakacuhan juga melanda kejiwaan rakyat.
Kemerosotan disiplin sosial (fondasi yang sangat penting bagi tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara) juga sangat memerlukan perhatian.
Sikap agresif dan destruktif sering
ditampilkan sebagai ungkapan rasa tidak puas mereka. Kerusakan semakin terasa
ketika masyarakat menganggap pelanggaran hukum bukan lagi sesuatu yang tercela;
kian menipisnya toleransi, terutama terhadap perbedaan, merebaknya anggapan
uang dapat menyelesaikan segala hal, serta sikap meminta dan menuntut sebagai
jalan pintas kian jadi kebiasaan.
Membawa-bawa presiden
Semua gambaran itu diacu sebagai
cermin goyahnya sistem nilai dan merebaknya dekadensi moral di tataran
kehidupan masyarakat. Semuanya bukan lagi hipotetis, melainkan memang terjadi
dalam kehidupan nyata. Ada yang berpendapat, mengingat sifatnya yang luas dan
merata, diperlukan tindakan koreksi yang mendasar dan drastis. Ditambahkan,
yang diperlukan bukan lagi sekadar kemauan politik, melainkan juga keberanian
melakukan tindakan politik.
Masalahnya, apabila langkah
tersebut menyangkut perubahan, adakah keberanian membangun konsensus politik
yang diperlukan menggeser prioritas dan alokasi dalam politik anggaran?
Bukankah itu domain DPR? Pertanyaan lanjutan: dalam situasi dan sistem politik
yang ada dewasa ini, mungkinkah koreksi itu dilakukan? Bukankah presiden saja
nyatanya tidak bisa (atau tidak berani) melakukannya?
Mengapa presiden dibawa-bawa dalam
soal ini? Problem yang terjadi, sekalipun bermula dari tatanan di hulu, sebaran
berikut imbasnya sudah merata menghinggapi kondisi, pola, dan gaya hidup rakyat
pada umumnya. Ketika semua persoalan dan segala kebutuhan perbaikannya sudah
berlangsung dalam tataran negara, tidak keliru jika akhirnya sampai pada satu
titik : fungsi dan tanggung jawab kepala negara.
Ketika semua berpangkal dari sistem
politik dan jalan keluar juga tidak terlepas dari mekanisme politik, wajar saja
apabila semuanya menoleh kepada posisi kepala negara sebagai ”pengampu” negara.
Namun, dalam negara yang committed terhadap
prinsip demokrasi, presiden sebagai kepala negara juga harus mengikuti apa pun
aturan main dan mekanisme politik yang berlaku. Apabila kebuntuan bermula dari
tatanan berikut mekanismenya, pembenahannya juga harus ditujukan terhadap
tatanan dan mekanisme itu.
Kalangan politik, media, akademik,
peneliti, dunia usaha, ataupun kalangan pegiat (aktivis—bahkan wakil
presiden—sependapat bahwa situasi yang morat-marit memang bermula dari sistem
dan praktik politik tidak kondusif pula. Pada akhirnya, memang itulah
pangkalnya. Oleh karena itu, upaya perbaikan juga tidak mungkin dilakukan dan
diwujudkan tanpa pembenahan kelembagaan politik tersebut terlebih dahulu,
kewenangannya masing-masing, dan tata hubungan kerja di antara mereka.
Pembenahan institusi
Dalam konteks permasalahan inilah,
pembenahan institusional tadi dipandang perlu dilakukan. Yang dimaksud
pembenahan institusional adalah pembenahan aspek kelembagaan politik negara,
fungsi, kewenangan, dan tata hubungan mereka. Kelembagaan politik tersebut,
terutama menyangkut badan-badan perwakilan khususnya DPR (termasuk pengaturan
fungsi dan kewenangannya) serta sistem kepartaian, pemilihan umum, pemerintahan
daerah (termasuk keuangan daerah), serta tata hubungan antarlembaga negara,
khususnya DPR dan presiden.
Memangnya ada kontribusi faktor
presiden dalam keruwetan tersebut? Kendali negara serta arah dan strategi
pembangunan jelas dari presiden. Maraknya kesenjangan dalam kehidupan rakyat
adalah buah strategi pembangunan yang bagaimanapun jelas bermasalah. Itu
sebabnya, dalam seminar nasional di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas),
Juli lalu, direkomendasikan reorientasi pikir dan paradigma baru untuk
membangun Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, di sisi lain, perbaikan dan
perubahan arah/strategi ataupun paradigma itu tidak mungkin dilakukan presiden
sendiri. Pertama, kuantifikasi strategi dalam program-program tahunan terjabar
dalam politik anggaran dan RAPBN yang menjadi domain kewenangan DPR. Bukan soal
fungsi budgeter yang harus diubah atau dikurangi, melainkan menggeser titik
berat dan prioritas dalam politik anggaran adalah kewenangan DPR.
Kedua, merajalelanya politik uang
juga berada di kisaran mekanisme kerja tadi. Oleh karena itu, pembenahan ulang
aturan tentang fungsi dan kewenangan DPR, kepartaian, dan sistem pemilu
menempati urutan pertama. Berikutnya, pembenahan ulang aturan pilkada dan
pemda.
Mungkinkah hal itu terlaksana? Seminar
nasional di Lemhannas justru memberi rekomendasi. Pertama, pembenahan cukup
dilakukan di tataran instrumental dan tidak perlu menjamah tataran konstitusi.
Dengan kata lain, pembenahan cukup dilakukan dengan/melalui perubahan UU yang
mengatur kelembagaan tadi dan tak perlu dikaitkan dengan segi-segi fundamental
melalui amandemen konstitusi. Kedua, dengan memperhatikan dinamika politik,
pembenahan dilakukan setelah 2014. Itu berarti, disarankan menjadi agenda
pemerintahan baru hasil Pemilihan Presiden 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar