|
DALAM sebuah seminar nasional yang bertajuk ‘Tanggung Jawab Sosial Wartawan’ di Jakarta tahun
1985, Rosihan Anwar mengungkapkan kegalauannya
mengenai masa depan pers di Indonesia. Katanya, ancaman terhadap pers masih
akan terus berlanjut. Bukan lagi oleh otoritarianisme negara, melainkan oleh
konsentrasi kepemilikan media. Terpusatnya kepemilikan media akan menyebabkan
adanya monopoli opini dalam masyarakat.[1] Bisa
jadi, kekhawatiran ini muncul setelah melihat perkembangan industrialisasi
media selama Orde Baru.
Dekade 1980-an, pengalaman represi negara yang traumatik serta rendahnya
jaminan keamanan membuat media hanya memiliki dua pilihan : kebebasan pers
dengan martabat namun mengundang represi atau kepatuhan terhadap negara yang
menawarkan kemakmuran. Pers dipaksa melakukan ekspansi dan diversifikasi produk
yang menandai awal era modal dalam industri media di Indonesia.
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tidak sekadar menjadi bentuk kontrol
negara atas media. SIUPP menjadi kunci utama perkembangan pasar media di
Indonesia.
Reformasi 1998 tidak banyak mengubah struktur pasar media yang sudah
terbentuk. Kebebasan pers di era transisi demokrasi hanya membuka katup botol
yang membuat industrialisasi semakin berkembang pesat. Perselingkuhan logika
ekonomi dan politik dalam industri media berujung konsentrasi kepemilikan. Vincent
Mosco dalam The Political Economy of Communication (2009) menggunakan istilah spasialisasi untuk menjelaskan
gerak konglomerasi media ini. Sebagaimana disebutkan Mosco, spasialisasi dalam
konsentrasi kepemilikan media mengambil dua bentuk, horizontal dan vertikal.
Spasialisasi horizontal muncul ketika pengusaha membeli atau
menggabungkan berbagai jenis media dalam satu kontrol kepemilikan. Ciri tipikal
integrasi ini adalah pembelian yang dilakukan pemilik media konvensional
seperti suratkabar terhadap televisi maupun media online. Di Indonesia banyak contoh praktik
spasialisasi horizontal. Misalnya Kompas Gramedia Group (KKG) yang sebelumnya
fokus di media cetak melebarkan sayap mendirikan Kompas TV bekerjasama dengan
stasiun televisi daerah.
Sementara spasialisasi vertikal berjalan ketika pengusaha media
membeli atau menggabungkan perusahaan dari berbagai jenis industri untuk
mendapatkan kontrol atas proses produksi. Hal ini tentu merupakan cara ampuh
mengeruk keuntungan berlipat sekaligus mengurangi ketidakpastian dalam pasar
yang mengganggu mekanisme produksi. Misalnya pengusaha media yang sekaligus
memiliki perusahaan percetakaan maupun kertas. Spasialisasi vertikal di
Indonesia terlihat misalnya dari kepemilikan Bakrie & Brothers Group yang
tidak hanya sebatas bisnis di bidang media (TV One, ANTV, Vivanews) tetapi juga
merentang di bidang telekomunikasi, agribisnis, sampai minyak dan gas.
Konglomerasi kepemilikan media seperti disebutkan di atas membawa
potensi bahaya yang tidak bisa diremehkan. Pertama, arus
informasi ke publik menjadi monolitik. Terpusatnya kepemilikan media tidak
memenuhi kaidah keragaman kepemilikan (diversity of ownership) yang
berakibat pada sedikitnya keberagaman isi (diversity of content). Kedua, terabaikannya
agenda publik. Apa yang ditampilkan dalam media disesuaikan dengan alur
kepentingannya pemilik modal. Ketiga, terjadi
migrasi peran warga negara yang direduksi semata-mata menjadi konsumen. Sebagai
konsumen, masyarakat tidak memiliki hak berpartisipasi dalam menentukan informasi
yang diberitakan di media.
Keempat, merosotnya mutu jurnalisme yang
dipraktikan media. Bill Kovach dan Tom Rosensteil (2003) mengatakan bahwa di
Amerika Serikat, perusahaan media mengurangi anggaran untuk melakukan liputan
serius seperti liputan investigasi. Kekuatan pasar mendominasi logika produksi
karena alokasi dana liputan dialihkan untuk strategi pemasaran. Kelima, konglomerasi membuat pemilik media menjadi
tiran dalam dirinya sendiri. Mereka menutup akses serikat pekerja yang
memperjuangkan hak berorganisasi dan kesejahteran pekerja media. Mayoritas
perusahaan media di Indonesia tidak memiliki serikat pekerja. Dari sekitar
3.000 lebih perusahaan media di Indonesia, tidak lebih dari 35 media yang
memiliki serikat pekerja.
Berbagai ancaman nyata tersebut toh tak juga banyak melahirkan kajian
tentang konglomerasi media serta jalan keluar semacam apa yang bisa
dimunculkan. Barangkali memang lebih mudah merespon berita-berita dengan sinis
ketimbang mencari cara untuk keluar dari lingkaran setan tersebut. Sementara
diskusi mengenai media alternatif pada akhirnya hanya menjadi sekadar keluhan
yang gagal diterjemahkan memunculkan satu alternatif di era konglomerasi.
Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Media Kooperasi
Pesan-pesan yang ditampilkan media arus utama berada dalam koridor
melanggengkan hegemoni ekonomi-politik pemilik modal. Berita-berita yang muncul
setiap hari menyelinapkan kepentingan-kepentingan baik yang berada dalam level
ideologi (nilai, kepercayaan, logika) maupun berada pada wilayah praktis
(semisal pilihan-pilihan politik, fashion, gadget). Namun, untuk mewujudkan media alternatif tentu
tidak bisa sekadar dilakukan dengan memunculkan pesan yang berbeda dibandingkan
dengan media arus utama. Apalagi jika pesan yang muncul masih sebatas jargon-jargon
yang sifatnya slogan belaka.
Media kooperasi menjadi satu kemungkinan yang bisa dipertimbangkan
sebagai alternatif. Gagasan media kooperasi ini meskipun bukan merupakan hal
baru, namun masih lamat-lamat terdengar di Indonesia. Secara sederhana, media
kooperasi merupakan media yang dicirikan oleh kepemilikan bersama selayaknya
koperasi. Seperti dijelaskan Dave Boyle,[2] wartawan
media kooperasi bisa memperoleh sistem kerja yang layak dan etika pemberitaan
tanpa harus tunduk kepada pemilik tak bermoral atau manajemen.
Dalam media kooperasi, pembaca tidak hanya menjadi objek yang pasif
dan sekadar menerima berita. Lebih dari itu, pembaca dilibatkan sebagai subjek
yang aktif untuk membiayai bahkan menulis berita-berita di media tersebut.
Gagasan semacam ini muncul di beberapa negara dengan konsentrasi kepemilikan
media yang jauh lebih dulu terjadi bila dibandingkan dengan di Indonesia.
Kejenuhan terhadap hegemoni media arus utama kerap melahirkan
kemungkinan-kemungkinan yang belum muncul sebelumnya, salah satunya media
kooperasi. Di Kanada sejak tahun 2007 muncul Media Co-op yang
lahir sebagai bentuk perlawanan aktivis-aktivis sayap kiri terhadap media-media
arus utama yang hegemonik. Di Italia ada Il
Manifesto , koran yang diterbitkan sejak 1971 oleh
jurnalis-jurnalis kiri namun tidak berafiliasi dengan partai komunis. Sementara
di Jerman, sejak tahun 1979 muncul koran Tageszeitung –
populer disebut Taz – yang sampai saat ini
anggota koperasinya sudah mencapai angka 13.000 orang di seluruh Jerman.[3]
Media-media ini memiliki kemiripan yaitu digerakkan oleh
aktivis-aktivis progresif seperti aktivis lingkungan, gerakan mahasiswa,
jurnalis, feminis, kaum LGBT yang terhubung di berbagai kota yang sudah muak
terhadap kebohongan yang terus direproduksi media arus utama. Aktivis-aktivis
ini mengorganisir massa tidak hanya untuk mendukung kampanye-kampanye
politiknya tetapi juga untuk berpartisipasi aktif dalam media tersebut. Media Co-op misalnya, datang ke berbagai kota di
Kanada untuk mengampanyekan Own Your Media!
Dalam media-media kooperasi tersebut, kepemimpinan serta kebijakan
redaksional dirumuskan bersama. Keuntungan – selayaknya kooperasi – digunakan
untuk kesejahteraan anggota. Dengan demikian, tidak muncul akumulasi keuntungan
dengan mengeksploitasi masyarakat karena masyarakat adalah pemilik, pengelola,
penulis, sekaligus pembaca media itu sendiri. Perkembangan citizen journalism memungkinkan hal tersebut
terjadi. Pelajaran dari media-media kooperasi seperti yang disebutkan di atas
menunjukkan bahwa media kooperasi memenuhi beberapa syarat untuk menjadi media
alternatif yang kuat seperti akan dijelaskan berikut.
Syarat utama adalah ruang redaksi independen dari kepentingan ekonomi
dan afiliasi politik praktis. Dalam hal ini berarti ihwal pengelolaan
alternatif yang meliputi manajemen organisasi serta pendanaan media. Dalam hal
manajemen organisasi, intervensi terhadap ruang redaksi bisa diminimalisir dan
dihindari jika media tidak dimiliki secara tunggal oleh pemilik modal. Dengan
kepemilikan dan pengelolaan bersama, media mencerminkan realitas yang plural.
Sementara itu, model pendanaan juga mesti menjadi perhatian utama
agar tidak tergantung pada iklan. Salah satu masalah klasik media arus utama
adalah ketergantungan mutlak terhadap iklan. Wajar jika hidup mati media pun
ditentukan oleh pengiklan. Dalam media yang tergantung oleh iklan, pembaca
(baca : masyarakat) malih rupa menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Nah
dalam media kooperasi, kepemilikan dimiliki secara kolektif dan iklan atau
pendanaan didapatkan dari masyarakat itu sendiri. Kebijakan-kebijakan strategis
redaksi diputuskan bersama.
Independensi ruang redaksi dari tekanan pihak-pihak luar pada
tahap selanjutnya memicu munculnya syarat kedua, informasi alternatif. Dalam
era tsunami informasi, berita datang dan pergi dengan cepat. Satu ketika berita
bisa mengisi ruang publik berminggu-minggu, namun ia bisa dengan segera
menghilang berganti dengan berita baru yang lebih hangat. Berita-berita di
media di Indonesia hadir dengan wajah yang mirip, sensasional dan dangkal, di
beberapa media bahkan terlihat jelas bias Jakarta. Tepat pada titik ini, apa
yang dibutuhkan adalah informasi alternatif dengan ciri yang mendalam dan
berpihak kepada kaum marginal yang ditepikan rezim media arus utama.
Jurnalisme alternatif menghadirkan berita-berita tentang
masyarakat kecil yang tertindas, ketimpangan pembangunan, serta mewujudkan
kesadaran kritis masyarakat. Seperti bisa dibaca di Kanada, Media Co-op memberikan informasi-informasi
alternatif yang hampir tidak mungkin muncul di media arus utama. Misalnya saja
liputannya seputar keterlibatan pemerintah Kanada dalam kudeta di Haiti tahun
2004. Liputan yang tidak mungkin tampil di media-media besar di Kanada.[4]
Syarat menumbuhkan media alternatif selanjutnya adalah adanya relasi
yang intim antara pengelola media dan pembaca (masyarakat). Media tidak mungkin
berarti tanpa kehadiran pembaca yang loyal. Arti penting keberadaan media
justru terletak pada bagaimana ia mampu memberikan pengaruh besar di
masyarakat. Dalam media kooperasi, peran masyarakat sangat penting karena
sebagai bagian dari kooperasi mereka memiliki hak setara untuk memutuskan
kebijakan redaksional.
Pelajaran tersebut menunjukkan bahwa kepemilikan kolektif dalam media
membuat pilihan-pilihan idealis dalam bermedia bisa dilakukan tanpa
meninggalkan aspek-aspek komersial yang diperlukan untuk menghidupinya. Karena
kepemilikan kolektif inilah media kooperasi ini bisa mengangkat informasi yang
kerap tidak muncul di media arus utama sekaligus menjadi sarana advokasi
masyarakat.
Catatan Penting
Tentu saja, ikhtiar pembentukan media-media kooperasi tersebut bukan
tanpa hambatan. Ada catatan yang harus digarisbawahi.
Ihwal pengaruh media kooperasi terhadap kebijakan politik nasional,
kita bisa belajar dari bagaimana pola gerakan Il Manifesto di
Italia. Guido Moltedo (2000) mencatat bagaimana tingkat keterpengaruhan koran
ini yang besar baik terhadap gerakan kiri di Italia maupun politik nasional secara
umum. Pengaruh yang demikian bisa muncul karena jurnalis-jurnalis Il Manifesto tidak hanya menempatkan diri sebagai
jurnalis tetapi juga aktivis.[5] Mereka
terlibat dalam berbagai kegiatan advokasi warga. Pengaruh politis ini jauh
lebih besar misalnya bila dibandingkan dengan Taz,meskipun secara
kuantitas anggota Taz jauh lebih banyak. Anggota
kooperasi Il Manifesto kurang lebih 7000
orang.
Sebagai catatan, wartawan Il Manifesto Giuliana
Sgrena sempat diculik ketika sedang liputan di Irak tahun 2005. Penculikannya
ini menggerakkan 500.000 lebih warga Italia untuk menuntut pemerintah Italia
membantu pembebasan Sgrena sekaligus menarik mundur tentara Italia. Namun,
aktivitas politik yang melampaui aktivitas jurnalistik membuat pengelolanya
sedikit mengabaikan pengelolaan media. Terutama mengenai antisipasi
perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku membaca
warga. Hal ini menyebabkan kooperasi yang memiliki lebih dari 70 persen
kepemilikan tidak mampu berbuat banyak.
Kegagapan ini ditambah dengan krisis ekonomi yang tak kunjung usai
membuat di akhir tahun 2012 lalu, mereka hampir saja bangkrut. Padahal dulu,
sebagaimana dicatat Moltedo (2000), Il Manifestoselalu
mendapatkan keuntungan di akhir tahun yang dibagi untuk kesejahteraan anggota.
Beruntung di awal 2013 muncul inisiatif jurnalis-jurnalis Il Manifesto yang kembali menghidupkan media.
Berbeda dengan sebelumnya yang banyak memberikan perhatian di media cetak, Il Manifesto baru fokus pada media online.[6]
Karakteristik gerakan Il Manifesto hampir
serupa dengan Media Co-op. Masifnya
aktivitas menggalang gerakan di akar rumput berbanding terbalik dengan
pengelolaan media. Di Media Co-op misalnya,
basis utama pengelola media kooperasi ini adalah aktivis-aktivis di berbagai
kota. Mereka kerap berhasil melakukan advokasi kebijakan, menggalang
demonstrasi-demonstrasi baik meliputi isu-isu lokal maupun nasional. Sayangnya,
situs resmi Media Co-op lebih sering
berisi pernyataan-pernyataan sikap ketimbang berita-berita baru. Artinya, pada
titik ini mereka belum bisa menjangkau massa di level yang lebih luas.
Sementara untuk soliditas pengelolaan media, Taz menjadi media kooperasi yang tidak bisa
diabaikan. Anggota kooperasi Taz mencapai
13.000 orang di seluruh Jerman. Berpusat di Berlin, koran ini digerakkan dan
dikelola dengan profesional. Seperti dicatat Anett Keller,[7] pada
awalnya koran ini digerakkan oleh 26 orang yang mendesain pengelolaan
organisasi serta memperkuat basis massa di 14 kota di Jerman.
Ihwal profesionalisasi ini juga yang membuat Taz membuka kantor-kantor regional dan biro di
parlemen. Dengan organisasi yang solid, wajar jika Taz pelopor gerak media alternatif di Jerman. Tazmerupakan koran Jerman Barat pertama yang membuat
edisi khusus Jerman Timur, koran Jerman pertama yang bisa diakses online, serta koran nasional pertama yang memiliki
pemimpin redaksi perempuan. Alternatif informasi yang disajikan pun tidak hanya
seputar berita-berita politik tetapi bahkan mencakup tentang kuliner seperti
bisa dilihat di situs resminya.
Dari pengalaman media-media kooperasi tersebut, ada hal yang harus
diperhatikan jika gagasan tersebut ingin dicangkok ke Indonesia. Media
kooperasi baru bisa berjalan dengan menghubungkan antara pengelolaan media yang
profesional dengan gerakan di akar rumput. Pengelolaan media yang profesional
diperlukan untuk melihat perkembangan teknologi sekaligus antisipasi yang mesti
dilakukan dalam mengalirkan arus informasi. Sementara gerakan di akar rumput diperlukan
sebagai basis untuk memberdayakan masyarakat dengan informasi tersebut. Dengan
demikian, media kooperasi berperan dalam mengembalikan – meminjam istilah
Habermas – ruang publik bagi warga.
Sebagai penutup, konglomerasi media di Indonesia telah sampai pada
tahap yang menggelisahkan. Pengusaha dan politikus bahu-membahu menguasai
industri media dengan mengeksploitasi masyarakat sebagai komoditas. Celakanya,
negara hanya diam saja dan malah melegitimasi praktik semacam ini. Karena itu,
media kooperasi adalah ikhtiar yang layak dicoba untuk lepas dari lingkaran
setan tersebut. Waktu sudah mendesak. ●
Kepustakaan
[2] Boyle, Dave. 2012. Good News : A Co-operative Solution to the
Media Crisis. Manchester
: Co-operatives UK.
[4] Paley, Dawn. 2011. Know Your Co-op! An Introduction to the
History , Structure, and Funding Model of the Media Co-op diunduh dariwww.mediacoop.ca/sites/mediacoop.ca/files2/mc/knowyourmediaco-op.pdf
[5] Moltedo, Guido. 2000. Il Manifesto : Italy’s Left Wing Media dalam The Harvard International Journal
of Press/Politics, Volume 5, Number 2, Spring 2000, halaman 122-125.
[7] Keller, Anett. 2013. Taz : Menciptakan Ruang Publik Alternatif
Dengan Cara Kreatif dalam
kuliah umum di Universitas Atmajaya 26 April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar