|
SEJAK diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada 2010, dari waktu ke waktu Indonesia
kian keluar dari kegelapan informasi. Kementerian dan lembaga pemerintah di
tingkat pusat serta sebagian pemerintah daerah mulai menjalankan kewajiban
membuka informasi yang terkait anggaran dan kinerja mereka. Memang, ada sanksi
atas penolakan terhadap pembukaan informasi publik.
Indonesia
pun percaya diri menjadi salah satu inisiator gerakan Open Government Partnership (OGP) yang dideklarasikan pada 20
September 2011 di sela-sela Sidang Umum PBB di New York. Bahkan, setahun
kemudian Presiden SBY memimpin gerakan ini bersama PM Inggris David Cameron
dengan dikukuhkan sebagai ketua bersama Open
Government Partnership (Co-chair OGP) 2012-2014.
Masyarakat internasional pun mengapresiasi. Center of Law and Democracy (CLD) dari
Kanada yang pada akhir 2011 memberikan penilaian terbaik (120 poin) bagi
Indonesia di Asia Tenggara dalam mengadakan regulasi yang menjamin hak warga
negara dalam akses terhadap informasi publik.
Kedua, Open Budget Survey dua
tahun sekali mengadakan survei. Open
Budget Index (OBI) pada 2012 menunjukkan keterbukaan informasi anggaran
untuk menyediakan info anggaran substansial di Indonesia mendapat nilai 62, naik
dari 51 (2010). Kita terbaik di Asia Tenggara dan terbaik kedua di Asia
(setelah Korea Selatan).
Yang dinilai OBI adalah delapan informasi kunci anggaran, meliputi pre-budget statement (pokok-pokok kebijakan fiskal),
executive budget proposal (nota
keuangan RAPBN), enacted budget (UU
dan nota keuangan APBN), citizen
budget (ringkasan anggaran di
media dan web), in year report (realisasi
anggaran tiga bulan), mid year review (laporan
tengah semester), end
year report (laporan keuangan
pemerintah pusat), sampaiaudit
report (laporan audit BPK).
Lain indeks transparansi lain pula indeks persepsi korupsi. Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2012 menempati peringkat 118 dunia
berdasar survei Transparency International Indonesia (TII). Skornya 32 dari
100. Kita sekelas Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan Madagaskar.
Padahal, IPK Indonesia dua tahun sebelumnya (2010) di peringkat 110.
Bahkan, untuk kawasan Asia Tenggara Indonesia menempati peringkat 6, lebih rendah
daripada Timor Leste. Peringkat teratas Singapura (87), lalu Brunei Darussalam
(55), Malaysia (49), Thailand (37), Filipina (34), dan Timor Leste (33), dan
Indonesia (32).
Bagaimana menjelaskan dua data yang seolah kotradiktif ini? Di satu sisi
indeks transparansi (OBI) Indonesia membaik, sementara peringkat indeks
persepsi korupsi (IPK) justru merosot. Apakah tidak ada kaitan langsung antara
praktik transparansi dengan pencegahan korupsi?
Pertama, praktik transparansi untuk pelaksanaan UU KIP boleh jadi masih
bersifat normatif. Misalnya, dari aspek supply,
kementerian atau penyelenggara negara yang lain membuka atau memublikasikan
informasi wajib yang diperintahkan oleh UU KIP untuk diumumkan: informasi
identitas dan visi-misi badan publik, kinerja dan anggaran (RKA - rencana kerja
anggaran dan DIPA), laporan keuangan, serta regulasi yang dimiliki badan
publik.
Namun, dari sisi demand,
informasi yang dipublikasikan mungkin saja bukan merupakan informasi yang
langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Akibatnya, anggapan bahwa transparansi
akan membuka partisipasi, pengawasan dari masyarakat dan berbuah akuntabilitas
penyelenggara negara, serta mencegah korupsi tampaknya belum terjadi.
Kedua, antara OBI dan IPK tentu berbeda metode meski sama-sama ilmiah.
Objek survei OBI adalah data konkret ketersediaan, keterbukaan, atau publikasi
informasi anggaran negara di Kementerian Keuangan. Sementara objek survei IPK
adalah "persepsi" masyarakat dengan responden yang memberikan nilai
0-100 (makin tinggi makin bersih).
Mudahnya, makin banyak pemberitaan korupsi yang berarti makin banyak
praktik korupsi terbongkar, persepsi publik mengatakan "korupsi makin
banyak, penyelenggara negara makin korup". Padahal, boleh jadi kian
terbongkarnya praktik korupsi juga karena semakin terbukanya penyelenggaraan
negara dan semakin kuatnya penegakan hukum.
Ketiga, transparansi dalam penyelenggaraan negara baru saja dimulai,
yang tentu saja masih jauh dari hasil ideal: transparansi membuahkan
partisipasi, menumbukan akuntabilitas penyelenggaraan negara. Di lain sisi,
korupsi di Indonesia adalah sebuah praktik yang sudah sangat matang
kelicikannya. Karena itu, transparansi versus korupsi bukanlah apple to apple yang bisa diberhadapkan.
Bagaimanapun sinar matahari (keterbukaan) tetaplah pembunuh kuman
terbaik, kata hakim agung AS Louis Brandeis. Selamat merenungi Hari Hak untuk Tahu (The Right to Know Day)
28 September yang baru lalu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar