|
Ketika bus rapid transit atau busway
di Bogota, Kolombia, sukses, model BRT sejenis sontak ingin ditiru di banyak
kota di dunia termasuk kota besar di Indonesia.
Kini BRT yang berkualitas menyebar
di kota besar dan menengah, mulai dari Bogota (Kolombia), Curitiba (Brasil),
Guangzhou (China), hingga Ahmedabad (India). Semua kota demam dan antusias
membangun BRT, dengan harapan mengurangi kemacetan yang jadi mimpi buruk warga
kota. Selayaknya meniru, tentu ada yang berhasil ada yang
tidak. Busway transjakarta, yang termasuk terbaik di Tanah Air,
secara peringkat kinerjanya pun masih jauh di bawah BRT kelas dunia yang mampu
mengangkut 20.000-30.000 penumpang per jam per arah. BRT dan bis konvensional
di Tanah Air keadaannya masih sangat memprihatinkan. Untuk mendongkrak daya
angkut, semua masih perlu berjuang menambah koridor lintasan, meningkatkan
pelayanan, dan menambah stok armada bus.
Kereta rel listrik Jabodetabek yang
notabene peninggalan Belanda masih terus berbenah manajemen. Tarik-menarik
antara PT KAI dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian terus berlanjut. Monorel
yang digagas 2004 oleh PT Jakarta Monorel, sempat vakum mulai 2008, sekarang
kembali dalam trek walaupun komposisi saham dominan sudah berpindah tangan.
Penyelesaian pembangunan mass rapid
transit (MRT) Tahap Pertama Lebak Bulus-HI dipastikan molor dari
target 2016 menjadi 2018, tak lain karena terhalang ketidakmampuan dan
kompetensi institusi publik sebagai implementatornya.
Akselerasi membangun MRT dari HI
hingga Kota dan sinkronisasi MRT Timur-Barat dalam tanda tanya besar. Jangan
sampai penyelesaian MRT Jakarta yang berulang kali disalip Delhi Metro,
kemudian Bangkok, Manila, dan Ho Chi Minh, sebentar lagi akan disalip juga oleh
Dhaka Metro, Banglades, yang kini baru akan memulai perancangan dasar. Apa
sesungguhnya yang terjadi, mengapa eksekusi dan pemberdayaan sistem angkutan
umum terus telat dan terhambat?
Raja sesungguhnya
Dalam menata transportasi kota,
siapa sesungguhnya yang menjadi raja menjadi penting. Delhi Metro Rail Corporation (DMRC) diberi otoritas penuh dalam
menetapkan lokasi strategis stasiun. Gubernur dan wali kota pun harus tunduk.
Jika terlalu banyak raja, hampir dipastikan debat dan lempar bola (baca alih
risiko) antara tingkat pemerintahan apalagi dengan swasta akan berkepanjangan.
Akibatnya, semua molor. Paradoks kemacetan terjadi hampir di semua kota di
dunia. Awalnya semua beranggapan dengan menambah pasokan jalan raya ataupun jalan
tol, kemacetan bisa dan pasti teratasi.
Pikiran dalam benak dan tradisi
insinyur, hanya bagaimana memenuhi permintaan dan pertumbuhan lalu lintas yang
terus meningkat dengan menambah kapasitas dan ruas jalan. Kenyataannya yang
terjadi, menambah jalan menambah kemacetan karena membangun jalan dan jalan tol
di dalam kota akan menambah gairah masyarakat memiliki dan menggunakan mobil
pribadi—induced demand.
Bertolak dari itu, kebijakan
transportasi mulai beralih ke strategi transportasi terpadu. Yang semula hanya
berpikir dari sisi penyiapan hardware,
kini beralih menjadi berpikir soft, cara
mengubah perilaku dan pilihan masyarakat dalam berkendara, lewat beragam
kebijakan memberi insentif kepada angkutan umum (carrots) dan disentif bagi angkutan pribadi (stick)—travel demand
management. Kuncinya, bagaimana mengatur skedul implementasi beragam
instrumen kebijakan agar hasilnya saling mendukung dalam perubahan perilaku.
Belum lagi tugas berat mengubah pilihan dan perilaku para pengendara sepeda
motor, yang telah menelan hampir separuh pasar angkutan umum, semula 50-60
persen kini tersisa 25-35 persen di sejumlah kota di Tanah Air. Kemacetan bisa
diatasi asalkan perilaku dan kebiasaan masyarakat berkendara bisa diubah,
prioritas memberdayakan angkutan umum menjadi mutlak dan upaya ke arah sana
seyogianya diberi kemudahan.
Debat tentang pembangunan enam ruas
tol dalam kota, dan baru-baru ini mobil LCGC (low cost green car), tidak saja menambah kebingungan masyarakat akan
konsistensi kebijakan pemerintah, tetapi memberi kesan bahwa yang macet bukan
sekadar ruang dan jalan kota, melainkan lembaga (institusi) publik macet tidak
berkomunikasi meski saling bicara, terjadi paradoks kemacetan institusi. Untuk
itu, usulan pembentukan Badan Otoritas Transportasi di setiap kota besar dan
metropolitan di Tanah Air perlu disegerakan dalam pemerintahan baru pada masa
akan datang, agar setiap kebijakan transportasi kota dikaji secara holistik dan
dampak kebijakan diantisipasi matang.
Antusiasme monorel
Setelah demam BRT, sekarang hampir
semua kota antusias mau membangun monorel, seperti kota Palembang, Medan,
Bandung, dan Makassar. Monorel, karena keterbatasan daya angkut, bermula
melayani lintas kurus dan pendek atau sebatas wilayah taman hiburan atau
antarterminal di bandara. Sejak keberhasilan monorel di kota Chongqing, China,
yang dapat mengangkut penumpang 30.000-40.000 penumpang per jam per arah, kini
banyak sistem monorel mulai dibangun, seperti di Mumbai (India), Riyadh (Arab Saudi),
Daegu (Korea Selatan), dan São Paulo (Brasil). Pelajaran PT Jakarta Monorel
yang menghadapi kesulitan meneruskan proyek monorel seakan terlupakan, MRT
Timur-Barat juga belum ada percepatan. Tiba-tiba muncul gagasan baru monorel
yang dimotori kontraktor PT Adhi Karya. Rencana jaringannya akan menjangkau
sampai ke pinggiran kota Jakarta.
Semua rencana monorel yang
diprakarsai investor swasta dan BUMN ini mengambil risiko, mereka akan
membiayai sendiri pembangunan monorel tanpa dukungan pendanaan publik APBN/APBD.
Dua nota kesepahaman sudah ditandatangani investor bersama para kepala daerah,
seperti di Kota Bandung dan Metro Bandung Raya. Semua masih dalam kajian
kelayakan, belum sampai tahap negosiasi atau Perjanjian Pembangunan, apalagi
Kontrak Konsesi. Masih sangat lama. Data empiris di dunia mana pun belanja
modal angkutan umum massal, 60-90 persen harus dari publik. Biaya operasi dan
pemeliharaan dipikul operator, tetapi tetap mendapat subsidi untuk memastikan
tarif senantiasa terjangkau penumpang.
Pendapatan MTRC Hongkong dari
mengelola properti dan iklan mencapai 27,4 persen dari total
pendapatan, BTS
Skytrain Bangkok 15 persen, Belanda NS 22 persen, MRT Taipei 12 persen, London
Underground 8,7 persen, PT KAI 2 persen, itu pun setelah dipupuk cukup lama.
Tanpa kepastian pendapatan nontiket ini, kalau ada entitas swasta bermaksud
mengambil alih peran pemerintah dan menjadi sinterklas membangun monorel, sudah
barang tentu ada persyaratan khusus yang akan muncul di belakang hari.
Kewajiban regulator, dalam hal ini pemerintah, hanya memastikan agar subsidi
menjadi minimum dan iklim usaha memungkinkan terjadi kompetisi dan efisiensi
produksi.
Mengapa dari awal tidak
digelontorkan saja pendanaan publik untuk menyegerakan pembangunan angkutan
umum di kota-kota besar di Tanah Air, dan setelah itu baru dilakukan kontrak
operasi dan pemeliharaan kepada operator swasta? Terobosan ini perlu diwadahi
dengan payung kebijakan, pedoman, dan tata cara yang menegaskan, untuk
realisasi Sistem angkutan umum massal di kota-kota besar 50 persen pendanaan
berasal dari pemerintah pusat, 25 persen pemerintah daerah, dan 25 persen dapat
berasal dari entitas swasta sebagai calon operator. Berapa lama lagi publik
harus menunggu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar