Jumat, 06 September 2013

Transaksi Oksigen di Kualanamu

Transaksi Oksigen di Kualanamu
M Arief Soendjoto  ;   Dosen Fakultas Kehutanan,
Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
KOMPAS, 03 September 2013


Bandara Internasional Kualanamu di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, sudah dioperasikan walaupun belum diresmikan. Bandara yang rencananya diresmikan September 2013 ini termasuk satu dari empat bandara modern di Indonesia. Tiga yang sudah resmi beroperasi adalah Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda Surabaya, dan Ngurah Rai Denpasar.
Dibandingkan dengan tiga bandara lainnya, Kualanamu bisa jadi lebih unggul. Dengan fasilitas bagasi otomatis (baggage handling system), penumpang dapat mendaftarkan bagasi di konter mana pun tanpa takut bagasinya salah masuk pesawat. Kereta api bandara dioperasikan untuk memberi pilihan moda transportasi ke dan dari bandara.
Di tengah kemodernan dan keunggulan yang tentu saja membanggakan otoritas bandara atau masyarakat Sumatera Utara pada umumnya, pertanyaan pun muncul. Apakah pada beberapa tahun ke depan kemodernan dan keunggulan itu tidak tersapu oleh kekumuhan? Suatu pertanyaan yang harus dijawab oleh otoritas bandara atau Menteri BUMN.
Mengelola bandara
Belajar dari pengalaman dua bandara modern di Pulau Jawa, kekumuhan Kualanamu cenderung menjadi keniscayaan sehingga perlu strategi jitu agar keniscayaan itu tidak menjadi kenyataan.
Kekumuhan Bandara Soekarno-Hatta muncul dalam berbagai bentuk. Mulai dari kesemrawutan penerbangan akibat listrik padam, kesemrawutan penumpang akibat banyaknya masyarakat pengguna pada hari-hari tertentu, serta kesemrawutan lalu lintas dan perparkiran. Di luar lingkungan bandara, kekumuhan terlihat dari tumbuhnya permukiman, pabrik, dan fasilitas industri yang semakin dekat atau berdampingan dengan pagar bandara.
Kumuh pun menjadi kesan buruk dari Bandara Juanda. Di depan pintu keberangkatan, masyarakat pengguna bergerombol tak teratur. Di ruang tunggu sekitar pintu keberangkatan, para perokok seenaknya mengepulkan asap serta tak peduli kepada pengguna bandara yang tidak merokok. Di selasar masuk setelah check in, kedai makanan dan toko penjual oleh-oleh terus bertambah dan mempersempit ruang bebas calon penumpang. Di kiri kanan akses jalan ke arah bandara atau di luar (pagar) lingkungan bandara, persawahan disulap menjadi hutan beton untuk permukiman, penginapan, hotel, dan perkantoran.
Kekumuhan dalam lingkungan bandara bisa diatasi dengan relatif cepat dan mudah. Otoritas bandara adalah penanggung jawab lingkungan (dalam) bandara sehingga (sudah sepantasnya) otoritas diberi wewenang ”boleh berbuat apa saja” demi keamanan dan kenyamanan calon penumpang.
Transaksi oksigen
Namun, mengatasi kekumuhan di luar lingkungan bandara tidak secepat dan semudah itu. Transaksi oksigen perlu dipertimbangkan. Transaksi oksigen adalah model transaksi untuk memperoleh oksigen yang dihasilkan oleh vegetasi atau hutan yang ditanam pada lahan (masyarakat) di luar lingkungan bandara, tepatnya di sekeliling bandara dan pada jarak minimal 100 meter dari batas terluar atau pagar.
Lahan untuk transaksi masih tetap dikuasai masyarakat dan tidak dibeli oleh otoritas. Hal ini berbeda dengan lahan dalam lingkungan bandara yang sepenuhnya dikuasai otoritas dan bisa dimanfaatkan sesuka otoritas.
Masyarakat memanfaatkan lahan hanya untuk ditanami. Berbagai jenis tanaman bisa dikembangkan, apakah itu tanaman pangan (seperti padi, jagung, dan kedelai), tanaman hortikultura (seperti jeruk dan rambutan), atau tanaman kehutanan (seperti jati, kemiri, dan meranti).
Sebaliknya, otoritas wajib melaksanakan tanggung jawab sosialnya (corporate social responsibility) kepada masyarakat. Otoritas membeli oksigen dengan perhitungan yang berbasis pada jenis tanaman, membeli produk tanaman, dan juga memberdayakan masyarakat pada kegiatan pertanian yang mendukung pengembangan produk pascapanen atau kegiatan lainnya dalam kerangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Transaksi oksigen bermanfaat ganda. Siklus oksigen terpelihara. Kadar karbon dioksida yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan di bandara pun bisa ditekan. Suasana teduh, segar, dan menyenangkan diperoleh. Kesan kumuh ketika memasuki lingkungan bandara dikurangi. Korban jiwa pada masyarakat bukan penumpang akibat kecelakaan pesawat seperti yang terjadi di Bandara Polonia Medan atau di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin dihindari. Kebisingan yang timbul akibat pergerakan pesawat selama siap terbang di landasan pacu, lepas landas, mendarat, dan menuju apron pun dapat diredam.
Pihak terlibat dalam transaksi memang bukan hanya otoritas bandara. Pemerintah pusat berperan serta menerbitkan peraturan perundang-undangannya. Pemerintah kota/kabupaten bertugas menyadarkan masyarakat untuk berpartisipasi mengurangi pemanasan global dan tidak sembarangan menumbuhkan hutan beton.

Lebih dari itu, transaksi oksigen dapat diterapkan pada infrastruktur negara (seperti jalan angkutan darat, apalagi jalan tol, terminal bus, dan pelabuhan) serta properti masyarakat (seperti hotel dan penginapan).  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar