Jumat, 06 September 2013

Opsi untuk Demokrasi

Opsi untuk Demokrasi
Agus Hernawan  ;   S-2 di School for International Training, Vermont, AS,
Aktif sebagai Peneliti pada Spark Education
KOMPAS, 04 September 2013


Politik itu melayani. Di dalam dan melalui politik, sebagaimana diyakini Harry Truman, seseorang menemukan kesempatan berharga melayani masyarakat dan negara. Kitab Arthashastra yang ditulis Chanakya beberapa abad lampau menyebut seorang raja hanyalah pelayan yang dibayar. Mereka dibayar didasarkan pelayanannya kepada rakyat. Inilah kebajikan yang membuat politik itu menjadi penting.
Politik kebajikan merupakan orkestra sekaligus oase. Ia menyejukkan dan menghibur, menghilangkan dahaga dan mengisi kehidupan kita dengan harapan-harapan baru.
Melalui politik, kita menyaksikan gagasan, virtue, kecakapan, teknologi, uang, dan orang-orang berada dalam proses negosiasi guna mewujudkan kebaikan hidup bersama. Politik adalah art of the impossible, seni membuat diri kita dan dunia menjadi lebih baik, ujar dramawan dan mantan Presiden Cekoslovakia Vaclay Havel.
Menimbang ulang
Tahun 2013 menjadi tahun politik. Ada 152 pemilihan langsung kepala daerah, mulai dari wali kota, bupati, sampai gubernur. Dilihat dari jumlah saja sudah mencengangkan, belum lagi broad-based participation yang menakjubkan. Jutaan pemilih, tua-muda, laki-laki dan perempuan, tersebar di berbagai pulau, provinsi, kota, kabupaten, hingga desa.
Namun, broad-based participation yang menakjubkan itu mengakar tidak di kesadaran berpolitik warga negara yang sehat. Suksesi politik yang diyakini demokratis tidak lebih dari kompetisi para saudagar membeli suara, bukan memenangkan simpatik pemilih.
Strategi political marketing bertumpu di penetrasi uang, bukan program kerja kandidat yang bersentuhan dengan isu dan preferensi pemilih. Personal branding adalah pamer kedermawanan, bukan pertautan emosional pemilih dengan prestasi sosial kandidat.
Uang mendongkrak elektabilitas tanpa kandidat perlu bermandi peluh menjangkau the swing voters, berdialog dengan pemilih rasional yang disebut the saints, atau menyelami sentimen pemilih pemula (young voter) dan merangkul mereka.
Orientasi uang menciptakan image dan model komunikasi politik antara kandidat dan pemilih. Ia memberi suasana kebatinan dan kata sifat pada suksesi politik. Ia membangun nalar politik publik. Ujungnya, ia menjadi nilai takar kekuasaan politik dan mematikan politik kebajikan dan kedaulatan publik pada sebatas aksesori.
Menimbang ulang efektivitas pemilihan langsung kepala daerah merupakan PR pemerintahan yang harus dituntaskan. Pemerintah harus berani mengoreksi secara terbuka. Menggeser opsi pemilihan ke penetapan. Misalnya, penetapan gubernur seperti yang sudah diwacanakan tidak serta-merta harus dimaknai pemerintah membunuh demokrasi dan menghidupkan relasi kekuasaan otoritarian.
Minimal ada tiga hal yang jadi pertimbangan. Pertama terkait cost sosial-politik yang besar. Selain menyedot anggaran negara sampai ratusan miliar rupiah, kompetisi pemilihan kepala daerah juga menyedot energi sosial tidak sedikit. Namun, semua menguap dan jadi investasi gagal.
Kedua terkait mekanisme kompetisi elektoral yang faktanya saat ini jadi ”jalan tikus” elite antidemokrasi menyelundupkan kepentingan mereka.
Ketiga, produk yang dihasilkan justru melestarikan kultur kepemimpinan yang korup, eksklusif dan tidak responsif, cenderung ke arah penyalahgunaan wewenang (abuse of power), berlaku diskriminatif dan tidak toleran, serta melembagakan ketidaksetaraan sosial.
Opsi untuk demokrasi
Demokrasi tidak semata soal hak politik seseorang merengkuh kekuasaan politik. Demokrasi bukan juga ”konsensus” segelintir elite guna meredusir konflik dan memproteksi kepentingan mereka. Demokrasi kita adalah juga keadaban bagaimana mendekati dan mewarnai kekuasaan politik yang menuju cita-cita kemanusiaan dan keadilan seperti dibunyikan Pasal 2 dan 5 Pancasila.
Memburu predikat negara demokratis lewat memaksakan mekanisme pemilihan langsung justru menghasilkan demokrasi yang salah arah, demokrasi dengan nama depan, tanpa nama belakang. Demokrasi yang menghabiskan anggaran besar untuk belanja formal politics dan nafsu berkuasa segelintir orang, sebaliknya menyisihkan anggaran seirisan kulit bawang untuk informal politics dan keberdayaan sosial kapital.
Informal politics mengacu ke apa yang terjadi di tengah publik, keluarga, komunitas, dan organisasi sosial. Menumbuhkan keadaban demokrasi di wilayah informal politics tidak cukup dengan mencetak dan membagi-bagikan kartu pemilih. Pendidikan, sosialisasi, exposure to politics dalam pengalaman keseharian, dan menguatkan daya artikulatif warga negara selaku ”shaper” dan ”maker” akan melahirkan kualitas partisipasi yang disebut Sherry R Arnstein sebagai cornerstone of democracy.
Hal yang sama pada modalitas sosial yang ditandai Robert D Putnam sebagai sumber daya demokrasi, sekaligus kunci guna membuat demokrasi bekerja dengan baik.
Demokrasi yang hendak kita tuju ialah demokrasi yang diisi oleh gagasan cemerlang yang merepresentasikan virtualitas setiap warga negara. Orientasi yang bersifat historis ini menempatkan demokrasi sebagai satu ketegangan kreatif dengan konsekuensi.

Pertama, bangsa ini harus segera keluar dari terjebak berlama-lama dalam pluralitas konflik dan kepentingan elite. Kedua, menggeser fokus dari formal politics ke informal politics, dari seremoni ke substansi. Ketiga, meninggalkan politik sebagai art of possible ke politik sebagai art of impossible. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar