Rabu, 04 September 2013

Tempe dan Istana

Tempe dan Istana
Toto Subandriyo  Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi;
Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
KOMPAS, 04 September 2013


Kalau saja Bung Karno dan Prof Koentjaraningrat mengetahui bahwa di kemudian hari tempe mampu membuat kabinet dan istana kalang kabut, mungkin mereka tak pernah menyindir bangsa Indonesia ”bangsa tempe”.
Saat ini tempe bukan lagi sekadar lauk-pauk murah meriah, bergizi tinggi, yang akrab dengan keseharian kaum miskin. Saat ini tempe telah naik kelas menjadi komoditas politik yang mampu menggoyang simbol kedaulatan negara/ pemerintah.
Pertengahan Januari 2008, ribuan perajin tempe se-Jakarta berunjuk rasa di depan Istana Negara. Mereka menuntut pemerintah menstabilkan harga kedelai yang tidak terkendali dan mengancam usaha mereka. Pada 2012, tempe kembali membuat gonjang-ganjing. Pada 25-27 Juli 2012, 83.545 perajin tempe/tahu di 18 provinsi mogok produksi. Tindakan tersebut dilakukan karena harga kedelai meroket, sedangkan harga jual tempe/tahu tidak bisa dinaikkan.
Beberapa hari terakhir, dipicu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga kedelai kembali liar. Dilaporkan saat ini, bahan baku tempe/tahu menembus Rp 10.000/kg. Padahal, normalnya hanya Rp 7.000/kg. Melambungnya harga kedelai ini tak dapat dihindari karena lebih dari 60 persen kebutuhan kedelai nasional harus diimpor.
Akibatnya, para pedagang tempe/tahu terpaksa mengurangi ukuran produk meski harga sudah dinaikkan. Selain itu, omzet penjualan mereka sepi karena konsumen berkurang.
”Njomplang”
Ketergantungan bangsa ini terhadap bahan pangan impor telah sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan, defisit neraca perdagangan komoditas pertanian meningkat 200 kali lipat hanya dalam kurun waktu enam tahun. Jika pada 2006 mencapai 28,03 juta dollar AS, pada 2011 menjadi 5,509 miliar dollar AS.
Pada 2011, Indonesia mengimpor 2,08 juta ton kedelai. Dari jumlah itu, 1,7 juta ton berasal dari AS. Permasalahan menjadi sangat krusial ketika sentra produksi kedelai di Midwest, AS, dilanda kekeringan, yang membuat produksi turun, dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton. Harga kedelai di pasar internasional pun meroket, memicu gonjang-ganjing tempe di Tanah Air pada 2012
Menurut Angka Ramalan I Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kedelai nasional 2013 hanya 847.160 ton biji kering. Sementara kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri 2,2 juta ton. Terdapat selisih amat njomplangantara angka produksi dan konsumsi: 1,35 juta ton per tahun.
Peluang tersebut selama ini tak pernah menarik minat petani untuk membudidayakan tanaman kedelai. Pasalnya, selama ini mereka tak memperoleh insentif memadai dari usaha tani kedelai. Saat menanam kedelai, petani harus membeli benih Rp 7.000- Rp 8.000/kg. Tiba giliran menjual hasil panen, harga hanya sekitar Rp 4.000/kg (harga pembelian pemerintah Rp 7.000/kg baru ditetapkan pada 13 Juni 2013).
Menurut analisis usaha tani, biaya yang dibutuhkan untuk usaha tani kedelai tidak kurang dari Rp 8,5 juta/ha. Asumsi produktivitas rata-rata 1,5 ton/ha, angka break even point (BEP) Rp 5.667/kg. Angka BEP akan makin besar jika bilangan pembagi menggunakan angka produktivitas rata-rata nasional saat ini yang hanya 1,4 ton/ha. Dengan harga jual Rp 4.000/kg, petani mengalami tekor. Sampai kapan pun petani tidak akan tertarik untuk membudidayakan kedelai.
Upaya
Guna meningkatkan gairah petani menanam kedelai, pemerintah harus melakukan sejumlah upaya mendasar. Pertama, membangun dan memperbaiki sarana infrastruktur pertanian. Saat ini kondisi sarana irigasi seperti bendung, waduk, saluran utama, saluran tersier, serta akses jalan produksi usaha tani sebagian besar dalam keadaan rusak parah.
Kedua, memperluas akses kredit kepada petani. Meski jadi pilar pembangunan, sektor pertanian tetap mengalami kesulitan memperoleh pembiayaan perbankan. Pertumbuhan kredit ke sektor pertanian relatif rendah. Mengacu data Bank Indonesia per April 2013, total portofolio kredit bank umum sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan hanya Rp 148,68 triliun atau 5,2 persen dari total penyaluran kredit yang mencapai Rp 2.844,21 triliun.
Ketiga, pemenuhan sejumlah sarana produksi yang dibutuhkan petani, seperti benih, pupuk, obat-obatan, alat, dan mesin pertanian. Pemenuhan sarana produksi ini harus memenuhi lima tepat dalam hal waktu, jenis, jumlah, harga, dan kualitas.
Keempat, pengembangan riset dan teknologi pertanian. Produktivitas rata-rata nasional kedelai saat ini baru mencapai 14,82 kuintal/hektar. Produksi dan produktivitas nasional dapat ditingkatkan dengan upaya intensifikasi tanaman, ekstensifikasi, serta rehabilitasi lahan. Penemuan varietas-varietas unggul baru dan sistem pengelolaan tanaman terpadu sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Saatnya lembaga-lembaga penelitian pertanian lebih diberdayakan untuk melahirkan inovasi baru yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi petani.
Upaya tak kalah penting adalah perlindungan pasar kepada petani. Harga jual yang wajar terhadap hasil panen merupakan insentif paling signifikan terhadap kegairahan petani untuk menanam komoditas tertentu. Pemerintah harus konsisten menjaga harga pembelian pemerintah kedelai dari petani sebesar Rp 7.000/kg dan menjual kepada perajin sebesar Rp 7.450/kg.

Tempe dan istana telah menyadarkan kita akan arti penting menegakkan kedaulatan pangan bangsa. Tempe dan istana telah membuka mata kita akan hak dan kewajiban rakyat serta penguasa. Sudah sewajarnya keduanya bersinergi, menjadi mitra abadi, bukan mitra sementara. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar