Rabu, 04 September 2013

Konvensi dan Pertaruhan

Konvensi dan Pertaruhan
Syamsuddin Haris  Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 04 September 2013


Politik pada dasarnya adalah bisnis kepercayaan. Partai Demokrat yang tengah mempersiapkan konvensi calon presiden mulai diuji, apakah mampu menjadikan konvensi yang digagas Presiden SBY ini sebagai ajang pemulihan kepercayaan publik.
Betapa tidak, konvensi belum digelar, tetapi empat tokoh dari 15 orang yang diundang sudah menyatakan mundur dari arena, yakni Jusuf Kalla, Mahfud MD, Rustriningsih, dan Rusdi Kirana. Alasan mereka mundur tentu beragam. Namun, pernyataan Mahfud MD bisa menjadi rujukan. Kepada para juru warta, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut, antara lain mengatakan, hak dan kewajiban peserta konvensi tidak jelas dan tidak mampu dijelaskan oleh komite konvensi sehingga dia memilih mundur.
Sejak awal sejumlah kalangan meragukan keseriusan parpol segitiga biru ini menggelar konvensi. Pasalnya, Demokrat tidak kunjung memberi penjelasan yang transparan terkait skema dan mekanisme konvensi serta persyaratan peserta konvensi. Pada saat yang sama, AD/ART Demokrat yang memberi otoritas penetapan capres kepada Majelis Tinggi tidak diubah. Semula publik memperoleh informasi, peserta konvensi sebagian diundang oleh SBY, sebagian lainnya mendaftarkan diri.
Pembedaan jalur peserta konvensi ini memicu munculnya rumor terkait adanya perbedaan ”kelas” para tokoh capres. Mungkin rumor itu sampai juga ke telinga SBY sehingga jalur pendaftaran pun ditiadakan. Semua kandidat peserta akhirnya melalui mekanisme undangan.
Tanpa konsep
Kesimpangsiuran mekanisme dan prosedur konvensi menggambarkan bahwa Partai Demokrat sendiri tampaknya belum memiliki konsep yang jelas terkait konvensi yang hendak digelar untuk menjaring capres 2014 tersebut. Meskipun penjaringan capres itu dilabeli nama ”konvensi”, kegiatan yang seharusnya bersifat internal itu ternyata mengundang pula tokoh parpol lain, seperti Jusuf Kalla (Partai Golkar) dan Endriartono Sutarto (Partai Nasdem). Mantan Panglima TNI Endriartono akhirnya dipecat Nasdem.
Sulit dimungkiri, gagasan konvensi pertama kali dilontarkan SBY selaku tokoh sentral Partai Demokrat di tengah kekalutan sang pendiri atas nasib partai yang elektabilitasnya terus merosot. Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi partai dan terus ”digoreng” media diduga membuat elektabilitas Demokrat terpuruk. Sebagai gagasan yang lahir di tengah kekalutan, konvensi versi SBY ini tampaknya masih mentah dan belum sempat diperdebatkan secara serius dan mendalam di internal Demokrat sendiri. Risiko seperti inilah yang harus dihadapi jika sebuah parpol cenderung dikelola secara one man show dan terlalu bergantung pada figur tunggal, SBY.
Para petinggi Demokrat sendiri acap kali berbeda pemahaman tentang konvensi karena mereka tak tahu persis bagaimana konsep, format, dan mekanisme konvensi yang dibayangkan sang pendiri. Sebagai suatu cara demokratis dalam menjaring capres, ide konvensi sebenarnya mendapat dukungan luas. Namun, gagasan yang baik belum tentu berhasil baik jika tak dikelola dan diorganisasikan secara benar, tepat, dan cerdas.
Pertaruhan Demokrat
Kini konvensi capres Demokrat mulai bergulir. SBY menetapkan sejumlah tokoh sebagai komite pelaksana konvensi. Sebelas kandidat pun sudah menyatakan kesediaan untuk turut serta dalam konvensi. Persoalannya kemudian adalah bagaimana komite konvensi dan SBY membangun kepercayaan para peserta bahwa konvensi tidak semata-mata untuk tujuan mendongkrak elektabilitas Demokrat. Jika kepercayaan peserta gagal dibangun, tak mustahil kelak akan ada lagi kandidat yang mundur sebelum publik sempat mendengar gagasan dan mimpi mereka tentang Indonesia kita ke depan.
Karena itu, kemunduran Jusuf Kalla dan kawan-kawan semestinya menjadi pelajaran bagi SBY dan Demokrat agar tak main-main dengan proses konvensi. Ada beberapa prasyarat dasar yang perlu dipenuhi komite konvensi dan SBY agar publik dan juga peserta konvensi percaya bahwa konvensi dilakukan secara serius.
Pertama, memastikan format, mekanisme, dan tahap-tahap konvensi secara jelas, transparan, dan akuntabel kepada publik. Kedua, memastikan segenap hak dan kewajiban peserta konvensi, baik selama berlangsungnya konvensi maupun sesudahnya, termasuk sumber dan beban pembiayaan. Ketiga, menjadikan konvensi sebagai arena pertarungan gagasan dan mimpi para capres tentang Indonesia masa depan. Keempat, memastikan bahwa Partai Demokrat akan menjadikan hasil konvensi sebagai dasar pengajuan capres, termasuk memperjuangkannya jika harus berkoalisi dengan parpol lain.
Konvensi capres ala SBY ini adalah pertaruhan politik yang menentukan masa depan Demokrat, apakah parpol pemenang Pemilu 2009 ini masih layak dipilih dalam pemilu mendatang, atau justru bakal tenggelam ditelan sejarah. Apabila konvensi dikelola dan diorganisasikan secara baik dan benar, Partai Demokrat akan menikmati hasilnya, yakni kemungkinan pulihnya kembali kepercayaan publik. Sebaliknya, jika semua soal harus menunggu ”sinyal” dan bahkan ”restu” SBY, masa depan Demokrat menjadi taruhannya.

Persoalan lain adalah memastikan kedudukan anggota dan jajaran pengurus Demokrat dalam ajang konvensi, apakah mereka terlibat sepenuhnya, sebagian, atau disetarakan dengan masyarakat lain yang bakal menjadi responden survei publik terhadap para capres peserta konvensi. Dalam praktik konvensi capres di Amerika Serikat, misalnya, para anggota dan pengurus partai inilah yang akhirnya menentukan kelayakan kandidat. Lembaga survei kemudian menguji popularitas dan elektabilitas para kandidat. Oleh karena itu, sebelum kepercayaan publik turut runtuh, beban pertama dan utama komite konvensi adalah menjelaskan semua soal terkait konvensi secara terbuka dan apa adanya. Termasuk, apakah komite konvensi mengambil keputusan secara otonom atau harus menunggu ”sinyal” dan ”restu” SBY lebih dahulu. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar