Rabu, 04 September 2013

“Batang Terendam” RI-Polandia

“Batang Terendam” RI-Polandia
Darmansjah Djumala  Diplomat Indonesia, Bertugas di Polandia
KOMPAS, 04 September 2013


Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, awal September ini, berkunjung ke Polandia. Kunjungan ini menandai babak baru hubungan kedua negara yang sebelumnya naik-turun.
Kedua negara pernah menikmati kehangatan persahabatan pada era 1960-an ketika untuk pertama kali Presiden Soekarno berkunjung ke Polandia pada 1959. Namun, hubungan kedua negara sempat pula jatuh ke titik nadir pascatragedi nasional 1965. Sejak itu Indonesia memainkan politik luar negeri minimalis dengan Polandia.
Meski tetap mempertahankan hubungan diplomatik, hubungan bilateral dengan Polandia sebatas untuk menjustifikasi citra politik luar negeri bebas-aktif dan pemimpin negara-negara non-blok. Dapat dimaklumi, fluktuasi hubungan seperti ini adalah efek dinamika politik internasional saat itu yang masih pekat dibayangi Perang Dingin. Ketika Perang Dingin usai, sejak 1990 terbentang tataran luas bagi kedua negara untuk merevitalisasi hubungan. Tetapi apa yang harus direvitalisasi? Mengapa perlu?
Pionir demokrasi
”Mengangkat batang terendam”, pepatah ini mungkin pas menggambarkan hubungan RI- Polandia. Tapi bukankah batang terendam justru kuat dijadikan tiang untuk bangunan yang kokoh? Metafora ini menyimpan sugesti: potensi yang tidak tergarap selama ini justru bisa jadi basis untuk merevitalisasi hubungan RI-Polandia ke depan.
Setidaknya ada tiga aspek yang dapat direvitalisasi. Pertama, aspek sosial politik. Diplomasi tidak saja dimulai dari kesamaan, tetapi juga perbedaan. Postulat ini relevan untuk Indonesia dan Polandia.
Sebagai pionir demokrasi di kawasan Eropa Timur yang dulu sosialis-komunis, Polandia dapat jadi mitra bagi Indonesia dalam mengembangkan nilai-nilai demokrasi. Dalam hal pengembangan demokrasi, kedua negara sama-sama memiliki credential: sebagai pionir demokrasi di kawasan masing-masing: Polandia di Eropa Timur dan Indonesia di ASEAN. Status pionir demokrasi sudah ditabalkan kedua negara, yaitu dengan pembentukan Komunitas Demokrasi di Polandia dan Forum Demokrasi Bali di Indonesia. Melalui kerja sama kedua lembaga inilah kiranya kerja sama RI-Polandia dapat dikembangkan.
Perbedaan agama mayoritas di kedua negara juga instrumental untuk merevitalisasi hubungan RI-Polandia. Isu terorisme menumbuhkan mispersepsi yang tak perlu antara Barat dan Islam. Barat mencurigai Islam sebagai biang teroris, Islam mengecam Barat yang memusuhi Islam. Polandia yang mayoritas Katolik dan Indonesia yang mayoritas Islam moderat dapat bersinergi untuk menjadi bridge-builder dalam menumbuhkan saling pengertian Barat-Islam.
Dalam konteks inilah kedua negara menyelenggarakan dua kali konferensi  interfaith dialog, masing-masing di Polandia (Oktober 2011) dan di Indonesia (Mei 2013). Dialog agama dan peradaban oleh para elite dan pemimpin agama perlu ditularkan ke akar rumput dan generasi muda. Sejalan dengan pendekatan ini, Indonesia mengundang pemuda/i Polandia untuk mengikuti program Pesantren Homestay awal September ini. Melalui program ini diharapkan tumbuh pemahaman di kalangan generasi muda negara masing-masing bahwa agama tak selalu memisahkan, tapi justru mengajarkan menghargai perbedaan.
Kedua, aspek ekonomi. Ketika Polandia bertransformasi dari sistem ekonomi tertutup/sosialis-komunis menjadi terbuka/liberal-kapitalis pada 1990-an, terbuka kesempatan mengembangkan kerja sama ekonomi bagi kedua negara. Namun, pada awal era itu Polandia masih disibukkan oleh proyek keanggotaan Uni Eropa. Dapat dipahami, dalam perspektif geopolitik, Eropa adalah lahan terdekat bagi Polandia untuk mengembangkan ekonominya. Pilihan kebijakan ini ternyata tak sia-sia. Ekspor Polandia ke Eropa lebih dari 75 persen.
Berkat keanggotaannya di Uni Eropa, ekonomi Polandia tumbuh pesat dan menerima cohesion fund (dana yang disiapkan Uni Eropa untuk anggota baru untuk mengejar ketertinggalan) terbesar untuk pembangunan infrastruktur di kawasan Eropa Timur. Namun, krisis keuangan global 2008 dan krisis zona euro 2010 menumbuhkan kesadaran baru: bergantung pada Eropa bukan pilihan terbaik. Pada titik inilah pengambil kebijakan di Polandia mulai melirik Asia.
Bagi Polandia, ketika bicara Asia, ada tiga negara yang dirujuk: China, India, dan Indonesia. Orientasi dan kesadaran baru yang berkembang di elite Polandia ini harus dijadikan momentum bagi Indonesia untuk menggenjot kerja sama ekonomi dengan Polandia.
Ketiga, aspek sosial budaya. Bangsa Polandia mencintai seni, budaya, dan pendidikan. Pemerintah Indonesia mulai mengirim mahasiswa untuk belajar di Polandia pada 1960-an. Pada era ini peminat studi Indonesia berkembang pesat. Namun karena perubahan politik di Indonesia pada 1965, minat belajar ke Polandia menurun drastis. Di Polandia, peminat studi Indonesia pun susut. Ini berlangsung hingga 1995 ketika Indonesia mulai memberikan beasiswa kepada generasi muda Polandia untuk belajar bahasa, seni, dan budaya Indonesia.
Agen persahabatan
Selama 1965-1995, peminat studi dan bahasa Indonesia di Polandia hilang satu generasi. Kini, dengan jumlah alumni beasiswa Indonesia lebih dari 300 orang yang tergabung dalam Asosiasi Persahabatan Indonesia-Polandia, Indonesia dan Polandia memiliki agen persahabatan yang dapat meningkatkan saling pengertian kedua negara.
Pelan tapi pasti peminat bahasa Indonesia meningkat. Hanya dalam dua tahun, jumlah peserta kursus bahasa Indonesia di sejumlah universitas mencapai 210 orang. Tingginya minat itu mendorong dua universitas terkemuka di Polandia memasukkan bahasa Indonesia ke dalam kurikulumnya sejak 2012.

”Batang terendam” berupa potensi kerja sama di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya harus dibangkitkan, dijadikan tiang bagi bangunan kerja sama di masa depan. Untuk itu dibutuhkan komitmen kedua pemerintah. Kunjungan Presiden RI ke Polandia kali ini menjadi momentum yang baik untuk merevitalisasi hubungan kedua negara. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar