|
SUDAH lima personel Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) menjadi sasaran penembakan orang tak dikenal. Empat
di antaranya tewas. Siapa pelakunya, ada banyak spekulasi. Dugaan yang paling
sering dibincangkan yaitu pelaku terhimpun dalam permufakatan terorisme.
Penyusunan profil pelaku kejahatan (criminal profiling) seperti itu sebenarnya masih terlalu dini. Data
tentang pola aksi penem bakan belum mencukupi sehingga simpulan yang dibangun
nantinya men jadi terlalu dipaksakan.
Jatuhnya sangkaan bahwa pelaku ialah teroris didasarkan
pada pola teratur dalam tanggapan publik. Pola itu dibentuk oleh dua unsur.
Pertama, modus yang digunakan harus bom ataupun penembakan terhadap aparat.
Kedua, kejadian dengan modus-modus tersebut harus berlangsung di Jawa, Poso, ataupun
Bali. Jika suatu peristiwa memenuhi kedua unsur tersebut, simpulan atau bias
kognitif yang spontan terbangun di benak publik, bahkan polisi, ialah, “Ini ulah teroris.“
Sebaliknya, sebagai pembanding, misalkan ada polisi yang
tewas diracun di Semarang, atau penembakan terhadap aparat kepolisian di Papua,
hampir bisa dipastikan kedua peristiwa tersebut tidak akan serta-merta
dikonstruksi sebagai aksi teroris.
Saya sendiri tidak yakin bahwa rentetan aksi penembakan
terhadap aparat Polri dapat diklasifikasi sebagai tindakan terorisme. Atau,
bahkan seandainya kejadian-kejadian tersebut memang dilancarkan oleh teroris,
saya menilai para pelakunya sebagai teroris dengan kalkulasi yang buruk.
Dari berbagai definisi tentang terorisme, benang merahnya
ialah ditulisnya penyebaran rasa takut secara cepat dan luas sebagai
karakteristik aksi teror. Setali tiga uang, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga menyebut
karakteristik tersebut sebagai penanda terorisme.
Dengan menggunakan benang merah tersebut sebagai acuan,
kejadian-kejadian yang tiga bulan terakhir ini menimpa lima personel Polri
jelas bukan me rupakan ragam terorisme yang `ideal'. Terdapat tiga alasan yang
mendasari anggapan penilaian tersebut. Pertama, penetapan sasaran. Sebagai
wujud keprihatinan akan nasib sesama manusia, tewasnya lima aparat Tribrata
tetap merupakan peristiwa yang patut dikecam. Namun, jika berintrospeksi bahwa
relasi antara masyarakat dan Polri-paling tidak--saat ini belum mencapai
kondisi yang diharapkan, kecil kemungkinan terjadi gelombang ketakutan berskala
luas dengan menjadikan aparat polisi sebagai sasaran kampanye teroris.
Pelaku, entah teroris entah lainnya, tidak menggunakan
modus sapu bersih berupa bom bunuh diri yang bisa merenggut nyawa siapa saja. Atas
dasar itu, karena sasarannya semata-mata polisi, alih-alih merespons situasi
dengan kepanikan massal, masyarakat justru tetap bisa merasa aman dari incaran
para pelaku penembakan.
Sasar pangkat
rendah
Kedua, dampak keterbatasan sumber daya. Penerapan modus
baru oleh para pelaku mengindikasikan besaran sumber daya yang mereka miliki.
Dengan sumber daya sedemikian rupa, mereka--baik sebagai gerakan kelompok
maupun inisiatif sporadis dari individu-individu yang terpencar--hanya bisa
menyasar aparat polisi berpangkat rendah. Hanya polisi pada jenjang karier
seperti itu yang paling sering berada di area terbuka, berkendara roda dua, dan
tanpa pengawalan.
Sebaliknya, polisi yang banyak menghabiskan waktu di
belakang meja, berkendara roda empat, apalagi yang didampingi pengawal, terlalu
sulit dijangkau pelaku penembakan. Target berupa personel polisi berpangkat
rendah juga bukan pilihan yang strategis jika ditujukan untuk meledakkan rasa
takut di tengah-tengah masyarakat. Apalagi, di mata khalayak luas, kebanyakan
polisi pada level tersebut tidak membawa senjata api. Tidak sedikit pula yang
berpostur tidak proporsional antara tinggi dan berat badan.
Jadi, mereka bukan polisi yang dicitrakan
sebagai-katakanlah--kesatria perkasa dengan kemampuan tarung tingkat tinggi.
Polisi-polisi seperti itu malah kerap dijuluki sebagai personel ujung
peluru--sebutan untuk polisi yang berada pada posisi paling de pan dalam
situasi kegentingan. Mereka memang simbol negara. Namun, keluhuran tugas mereka
acap tersamarkan oleh fakta bahwa mereka juga yang paling dekat dengan risiko
kepanasan, baku hantam, bahkan terpisahnya nyawa dari badan.
Jangankan akibat aksi teror, polisi berpangkat rendah yang
tewas dalam kerusuhan dan kejahatan konvensional pun tidak sedikit. Karena
itulah, ketika para anggota Polri berpangkat rendah itu tewas di tangan
penembak gelap, keguncangan masyarakat akan rasa aman tidak banyak terpengaruh.
Ibarat media, sasaran yang sama juga bukan media yang cukup kuat untuk mengirim
pesan tentang perlawanan ideologis tertentu.
Ketiga, frekuensi dan intensitas aksi. Penembakan satu demi
satu, yang dilakukan rata-rata satu setengah kali setiap bulannya sejak Juli
lalu, dengan korban yang jatuh sebanyak lima orang, sangat kontras dengan gambaran
menggelegar dalam tempo sekejap yang ingin direalisasikan pada setiap misi
teror.
Kehilangan mitra
Nabi Muhammad SAW mengatakan, lenyapnya satu nyawa sama
artinya dengan hilangnya kehidupan semua manusia. Dari sisi itu, aksi
penembakan berantai terhadap anggota Polri--sekali lagi--sudah sepantasnya
dikutuk. Akan tetapi, dari sisi strategi teroris, modus seperti itu terasa
berjarak dari kesan brutalitas. Apalagi hingga saat ini, modus penembakan yang
diperagakan para pelaku belum pernah salah memakan korban. Padahal, bukankah
teroris harus brutal, keji, destruktif masif, dan menyandang serbaneka sebutan
biadab lainnya?
Penyebutan teroris yang kurang terukur dikhawatirkan akan
berpengaruh kontraproduktif terhadap perang melawan teroris. Masyarakat, akibat
terlalu sering dibombardir dengan sebutan `teror, teroris, terorisme', dapat
mengalami penurunan kepekaan dan kewaspadaan. Kejahatan luar biasa malah
disikapi dengan respons biasa-biasa saja. Manakala publik sudah apatis, pada
titik itulah Polri sungguh-sungguh kehilangan mitra sejatinya dalam pertempuran
yang seakan tak berujung ini. Allahu
a'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar