Senin, 16 September 2013

Sebut Saja Mereka Kriminalis

Sebut Saja Mereka Kriminalis
Reza Indragiri Amriel  ;   Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
MEDIA INDONESIA, 14 September 2013


SUDAH lima personel Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi sasaran penembakan orang tak dikenal. Empat di antaranya tewas. Siapa pelakunya, ada banyak spekulasi. Dugaan yang paling sering dibincangkan yaitu pelaku terhimpun dalam permufakatan terorisme.

Penyusunan profil pelaku kejahatan (criminal profiling) seperti itu sebenarnya masih terlalu dini. Data tentang pola aksi penem bakan belum mencukupi sehingga simpulan yang dibangun nantinya men jadi terlalu dipaksakan.

Jatuhnya sangkaan bahwa pelaku ialah teroris didasarkan pada pola teratur dalam tanggapan publik. Pola itu dibentuk oleh dua unsur. Pertama, modus yang digunakan harus bom ataupun penembakan terhadap aparat. Kedua, kejadian dengan modus-modus tersebut harus berlangsung di Jawa, Poso, ataupun Bali. Jika suatu peristiwa memenuhi kedua unsur tersebut, simpulan atau bias kognitif yang spontan terbangun di benak publik, bahkan polisi, ialah, “Ini ulah teroris.“

Sebaliknya, sebagai pembanding, misalkan ada polisi yang tewas diracun di Semarang, atau penembakan terhadap aparat kepolisian di Papua, hampir bisa dipastikan kedua peristiwa tersebut tidak akan serta-merta dikonstruksi sebagai aksi teroris.

Saya sendiri tidak yakin bahwa rentetan aksi penembakan terhadap aparat Polri dapat diklasifikasi sebagai tindakan terorisme. Atau, bahkan seandainya kejadian-kejadian tersebut memang dilancarkan oleh teroris, saya menilai para pelakunya sebagai teroris dengan kalkulasi yang buruk.

Dari berbagai definisi tentang terorisme, benang merahnya ialah ditulisnya penyebaran rasa takut secara cepat dan luas sebagai karakteristik aksi teror. Setali tiga uang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga menyebut karakteristik tersebut sebagai penanda terorisme.

Dengan menggunakan benang merah tersebut sebagai acuan, kejadian-kejadian yang tiga bulan terakhir ini menimpa lima personel Polri jelas bukan me rupakan ragam terorisme yang `ideal'. Terdapat tiga alasan yang mendasari anggapan penilaian tersebut. Pertama, penetapan sasaran. Sebagai wujud keprihatinan akan nasib sesama manusia, tewasnya lima aparat Tribrata tetap merupakan peristiwa yang patut dikecam. Namun, jika berintrospeksi bahwa relasi antara masyarakat dan Polri-paling tidak--saat ini belum mencapai kondisi yang diharapkan, kecil kemungkinan terjadi gelombang ketakutan berskala luas dengan menjadikan aparat polisi sebagai sasaran kampanye teroris.

Pelaku, entah teroris entah lainnya, tidak menggunakan modus sapu bersih berupa bom bunuh diri yang bisa merenggut nyawa siapa saja. Atas dasar itu, karena sasarannya semata-mata polisi, alih-alih merespons situasi dengan kepanikan massal, masyarakat justru tetap bisa merasa aman dari incaran para pelaku penembakan.

Sasar pangkat rendah

Kedua, dampak keterbatasan sumber daya. Penerapan modus baru oleh para pelaku mengindikasikan besaran sumber daya yang mereka miliki. Dengan sumber daya sedemikian rupa, mereka--baik sebagai gerakan kelompok maupun inisiatif sporadis dari individu-individu yang terpencar--hanya bisa menyasar aparat polisi berpangkat rendah. Hanya polisi pada jenjang karier seperti itu yang paling sering berada di area terbuka, berkendara roda dua, dan tanpa pengawalan.

Sebaliknya, polisi yang banyak menghabiskan waktu di belakang meja, berkendara roda empat, apalagi yang didampingi pengawal, terlalu sulit dijangkau pelaku penembakan. Target berupa personel polisi berpangkat rendah juga bukan pilihan yang strategis jika ditujukan untuk meledakkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat. Apalagi, di mata khalayak luas, kebanyakan polisi pada level tersebut tidak membawa senjata api. Tidak sedikit pula yang berpostur tidak proporsional antara tinggi dan berat badan.

Jadi, mereka bukan polisi yang dicitrakan sebagai-katakanlah--kesatria perkasa dengan kemampuan tarung tingkat tinggi. Polisi-polisi seperti itu malah kerap dijuluki sebagai personel ujung peluru--sebutan untuk polisi yang berada pada posisi paling de pan dalam situasi kegentingan. Mereka memang simbol negara. Namun, keluhuran tugas mereka acap tersamarkan oleh fakta bahwa mereka juga yang paling dekat dengan risiko kepanasan, baku hantam, bahkan terpisahnya nyawa dari badan.

Jangankan akibat aksi teror, polisi berpangkat rendah yang tewas dalam kerusuhan dan kejahatan konvensional pun tidak sedikit. Karena itulah, ketika para anggota Polri berpangkat rendah itu tewas di tangan penembak gelap, keguncangan masyarakat akan rasa aman tidak banyak terpengaruh. Ibarat media, sasaran yang sama juga bukan media yang cukup kuat untuk mengirim pesan tentang perlawanan ideologis tertentu.

Ketiga, frekuensi dan intensitas aksi. Penembakan satu demi satu, yang dilakukan rata-rata satu setengah kali setiap bulannya sejak Juli lalu, dengan korban yang jatuh sebanyak lima orang, sangat kontras dengan gambaran menggelegar dalam tempo sekejap yang ingin direalisasikan pada setiap misi teror.

Kehilangan mitra

Nabi Muhammad SAW mengatakan, lenyapnya satu nyawa sama artinya dengan hilangnya kehidupan semua manusia. Dari sisi itu, aksi penembakan berantai terhadap anggota Polri--sekali lagi--sudah sepantasnya dikutuk. Akan tetapi, dari sisi strategi teroris, modus seperti itu terasa berjarak dari kesan brutalitas. Apalagi hingga saat ini, modus penembakan yang diperagakan para pelaku belum pernah salah memakan korban. Padahal, bukankah teroris harus brutal, keji, destruktif masif, dan menyandang serbaneka sebutan biadab lainnya?


Penyebutan teroris yang kurang terukur dikhawatirkan akan berpengaruh kontraproduktif terhadap perang melawan teroris. Masyarakat, akibat terlalu sering dibombardir dengan sebutan `teror, teroris, terorisme', dapat mengalami penurunan kepekaan dan kewaspadaan. Kejahatan luar biasa malah disikapi dengan respons biasa-biasa saja. Manakala publik sudah apatis, pada titik itulah Polri sungguh-sungguh kehilangan mitra sejatinya dalam pertempuran yang seakan tak berujung ini. Allahu a'lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar