Senin, 16 September 2013

Kesebelasan Cikeas 2014

Kesebelasan Cikeas 2014
Tandi Skober  ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA, 14 September 2013

  
KETUA Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono kali ini cerdas bercanda demokrasi. Sebagai pemain kehormatan Liga Inggris Arsenal, seusai prakonvensi, terbentuklah ‘kesebelasan Cikeas’, yaitu Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Irman Gusman, Hayono Isman, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo, dan Sinyo Harry Sarundajang. Lalu penjadwalan dimulai pada 15 September 2013 hingga akhir Desember 2013, ‘kesebelasan Cikeas’ akan uji tanding pengenalan kandidat, wawancara media, dan mencari angka elektabilitas lewat survei.

Sebagai penonton Liga Sepak Bola Indonesia (LSI), kekecewaan disebabkan Persib gagal jadi juara LSI dapat terobati dengan menonton Liga Closet 2014. Ada gereget agregat, siapa gerangan yang kelak bisa duduk di atas kloset istana dalam tatapan burung garuda Pancasila. Apa pun itu, diyakini bakal ada tuntun tinuntun di antara kesebelasan kandidat politisi atas nama matahati Indonesia.

Akan ada sistem politik demos kratos (‘demo artos’, unjuk uang) yang seolah-olah mengacu pada konstitusi untuk memperoleh kekuasaan. Padahal yang sebenarnya bagaimana kekuasaan dipertahankan untuk membela kepentingan Cikeas. Sebab, dalam dialog kesejarahan, ihwal ‘Udang di Balik Kesebelasan Cikeas’ cenderung tidak memiliki akar kultur kerakyatan kompetensi khas Jawa-Pasundan.

Bahkan, saya sependapat dengan diri saya bahwa kesebelasan konvensi ini berjenis kelamin feodalisme kelemar kelemer. Sesuatu yang enggak ngeh, dan basa-basi berbasis cerita citra Cikeas. Tidak jelas mana kucing mana karung dan mana pula sarung demokrasi yang dikenakan SBY. Yang penting, “Sudah ada sebelas kucing dalam karung yang siap tarung unjuk burung garuda.”

Mestinya sih Cikeas bisa belajar dari dialog kesejarahan abad ke-19. Daendels pada 1809 mengonvensi ‘siapa kan menjadi kuwu’ bermula dari akar pikir akar rumput. Simak, pemilihan sepasang penguasa bernama Kuwu dan Parenta di Cirebon pada awal abad ke-19, meski dalam dialog sejarawan merupakan konstruksi politik kolonial, tapi dalam titik terjauh diyakini sebagai kecantikan demokrasi desa yang keren.

Gaya feodalisme

Kenapa Jawa (baca Cirebon) telah menjawab tantangan ironi demokrasi feodalisme dengan menerima ide-ide dan gagasan politik modern yang antara lain digaungkan Bergsma, Baars, Sneevliet? Hingga kelak demokrasi desa khas Cirebon itu mengalirkan ide terbentuknya Volksraad atau Dewan Rakyat. Memang sih, aktivis PNI, ISDV, NIP, dan entah siapa lagi, ogah duduk dalam parlemen Hindia Belanda itu. Akan tetapi, tidak sedikit kaum nasionalis moderat oke-oke saja duduk di Volksraad.

Volksraad--dibentuk pada 1918 oleh Gubernur Jenderal Mr Graaf van Limburg Stirum-dibentuk lewat pemilihan berjenjang penuh lika-liku rumit melalui ‘Dewan Kabupaten’ dan ‘Haminte Kota’.
Di sini, 500 pribumi berhak memilih `Wali Pemilih' untuk duduk di Dewan Kabupaten atau `Haminte Kota'. Terus terbentuklah `Dewan Provinsi' yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut.

Andai ‘kesebelasan Cikeas’ mengadopsi akar nalar yang terdeskripsi di atas, tentu saya apresiasi sebagai sikap arif di tahun-tahun terakhir kekuasaan SBY. Namun, itulah kloset 2014. Lagi pula dalam perspektif teokultural, konvensi capres 2014 yang digulirkan Partai Demokrat mengingatkan pada ageman kaca suryakanta milik kusir kereta kencana Arjuna bernama Kresna.

Sebagai pemilik kaca suryakanta, konon Kresna tahu betul Arjuna akan mengalahkan Adipati Karna di medan laga suksesi Kurusetra. Meski begitu, Kresna lebih memilih calon pemenang Baratayudha berdasar konvensi ketimbang kitab kaweruh garis nasib. Tidak aneh, bila ada adegan adu argumentasi antara Kresna dan Arjuna--dengan disaksikan seekor anjing--seputar sikap ksatria dalam menghadapi Baratayudha.

“Bagen mengkonon gah, kanda sinatria dadia sujud alim kang wujud. Laku kersaning Gusti Allah mboten samar yen teka sang kala niku. Rara sirna wong pepaten,” tutur kusir Kresna sebelum melecut kuda ke medan laga. Yang bermakna, ‘Apa pun yang akan terjadi, cerita tentang kesatria adalah cerita seputar ilmu yang diamalkan. Sesungguhnya, penguasa jagat raya tidak keliru dan tahu betul ada apa pada sang waktu. Saat itu, rasa sakit sirna dalam jiwa yang dimatikan.'

Adakah SBY memosisikan diri sebagai Batara Kresna saat menjadi kusir kereta kencana Demokrat? Siapa sang Arjuna yang kelak maju di medan laga Kurusetra 2014? Tentu hanya Tuhan yang mahatahu. Lagi pula, Er is niets niuws onder de zon atau bumi dalam naungan cahaya matahari tak banyak mengalami perubahan, sulit ditemukan hal-hal yang baru, mungkin bentuknya baru, tapi isinya sama.
Meski begitu, saya meyakini bahwa sejarah tak sekadar diskursus hitam-putih, tapi ada partikel corpus mysticum, benda aneh dan gaib yang tak pernah berhenti menclok dari generasi ke generasi, dari angkatan ke angkatan.
Dan di sinilah, ditengarai alur pikir konvensi capres 2014 khas Demokrat dialirkan. Benarkah? Sebab, dalam mitologi budaya kekuasaan Jawa Koek, demokrasi itu sudah tecermin dalam sebuah benda bernama kaca suryakanta. Ini adalah cermin cerdas weruh sedurung winarah. Maka tak aneh, bila pepatah lama bertutur buruk rupa cermin dicuri. Maklum, selalu saja ada cerita konon entah siapa, yang bisa mencuri cermin sejarah kaca suryakanta maka sejarah pula yang akan menghantarkannya ke kursi nomor satu di Republik ini.

Keajaiban sejarah


Yang menarik, ternyata `kaca suryakanta' dalam perspektif budaya politik Cirebon lebih sering dimiliki para seniman pemahat kata. Mereka tercipta dari tulang rusuk konvensi suryakanta sejarah. Mereka 
adalah keajaiban sejarah yang kerap disebut corpus mysticum. Adakah sosok corpus mysticum dalam `Kesebelasan Konvensi Cikeas'? Meski begitu, kelak di hari H pemilu presiden nanti, di bilik suara, saya bacakan sajak DR Elis Suryani, dinten ieu, urang siraman ku kawih, dinten enjing urang siraman ku tembang, dinten pageto urang siraman ku galindeng, sungkem kadeudeuh. Anu maneh pagueh, yang bermakna, `hari ini ketika kumasuki bilik suara, mari kita mandi gamelan, sebab besok akan ada banyak lagu, dan lusa manusia saling tukar igauan, sedang sang presiden duduk menerima sembah sungkem.' ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar