|
KETUA Umum Partai Demokrat Susilo
Bambang Yudhoyono kali ini cerdas bercanda demokrasi. Sebagai pemain kehormatan
Liga Inggris Arsenal, seusai prakonvensi, terbentuklah ‘kesebelasan Cikeas’,
yaitu Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal,
Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Irman Gusman, Hayono Isman, Marzuki Alie, Pramono
Edhie Wibowo, dan Sinyo Harry Sarundajang. Lalu penjadwalan dimulai pada 15
September 2013 hingga akhir Desember 2013, ‘kesebelasan Cikeas’ akan uji
tanding pengenalan kandidat, wawancara media, dan mencari angka elektabilitas
lewat survei.
Sebagai penonton Liga Sepak Bola Indonesia (LSI),
kekecewaan disebabkan Persib gagal jadi juara LSI dapat terobati dengan
menonton Liga Closet 2014. Ada gereget agregat, siapa gerangan yang kelak bisa
duduk di atas kloset istana dalam tatapan burung garuda Pancasila. Apa pun itu,
diyakini bakal ada tuntun tinuntun di antara kesebelasan kandidat politisi atas
nama matahati Indonesia.
Akan ada sistem politik demos
kratos (‘demo artos’, unjuk uang) yang seolah-olah mengacu pada konstitusi
untuk memperoleh kekuasaan. Padahal yang sebenarnya bagaimana kekuasaan
dipertahankan untuk membela kepentingan Cikeas. Sebab, dalam dialog
kesejarahan, ihwal ‘Udang di Balik Kesebelasan Cikeas’ cenderung tidak memiliki
akar kultur kerakyatan kompetensi khas Jawa-Pasundan.
Bahkan, saya sependapat dengan diri saya bahwa kesebelasan
konvensi ini berjenis kelamin feodalisme kelemar
kelemer. Sesuatu yang enggak ngeh, dan basa-basi berbasis cerita citra
Cikeas. Tidak jelas mana kucing mana karung dan mana pula sarung demokrasi yang
dikenakan SBY. Yang penting, “Sudah ada
sebelas kucing dalam karung yang siap tarung unjuk burung garuda.”
Mestinya sih Cikeas bisa belajar dari dialog kesejarahan
abad ke-19. Daendels pada 1809 mengonvensi ‘siapa kan menjadi kuwu’ bermula
dari akar pikir akar rumput. Simak, pemilihan sepasang penguasa bernama Kuwu
dan Parenta di Cirebon pada awal abad ke-19, meski dalam dialog sejarawan
merupakan konstruksi politik kolonial, tapi dalam titik terjauh diyakini
sebagai kecantikan demokrasi desa yang keren.
Gaya
feodalisme
Kenapa
Jawa (baca Cirebon) telah menjawab tantangan ironi demokrasi feodalisme dengan
menerima ide-ide dan gagasan politik modern yang antara lain digaungkan Bergsma,
Baars, Sneevliet? Hingga kelak demokrasi desa khas Cirebon itu mengalirkan ide
terbentuknya Volksraad atau Dewan
Rakyat. Memang sih, aktivis PNI, ISDV, NIP, dan entah siapa lagi, ogah duduk dalam parlemen Hindia Belanda itu. Akan tetapi, tidak
sedikit kaum nasionalis moderat oke-oke saja duduk di Volksraad.
Volksraad--dibentuk pada 1918 oleh Gubernur Jenderal Mr
Graaf van Limburg Stirum-dibentuk lewat pemilihan berjenjang penuh lika-liku
rumit melalui ‘Dewan Kabupaten’ dan ‘Haminte Kota’.
Di sini, 500 pribumi berhak
memilih `Wali Pemilih' untuk duduk di Dewan Kabupaten atau `Haminte Kota'.
Terus terbentuklah `Dewan Provinsi' yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan
Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut.
Andai ‘kesebelasan Cikeas’ mengadopsi akar nalar yang
terdeskripsi di atas, tentu saya apresiasi sebagai sikap arif di tahun-tahun
terakhir kekuasaan SBY. Namun, itulah kloset 2014. Lagi pula dalam perspektif
teokultural, konvensi capres 2014 yang digulirkan Partai Demokrat mengingatkan
pada ageman kaca suryakanta milik kusir kereta kencana Arjuna bernama Kresna.
Sebagai pemilik kaca suryakanta, konon Kresna tahu betul
Arjuna akan mengalahkan Adipati Karna di medan laga suksesi Kurusetra. Meski
begitu, Kresna lebih memilih calon pemenang Baratayudha berdasar konvensi
ketimbang kitab kaweruh garis nasib. Tidak aneh, bila ada adegan adu
argumentasi antara Kresna dan Arjuna--dengan disaksikan seekor anjing--seputar
sikap ksatria dalam menghadapi Baratayudha.
“Bagen mengkonon
gah, kanda sinatria dadia sujud alim kang wujud. Laku kersaning Gusti Allah
mboten samar yen teka sang kala niku. Rara sirna wong pepaten,” tutur kusir Kresna sebelum melecut kuda ke medan laga.
Yang bermakna, ‘Apa pun yang akan terjadi, cerita tentang kesatria adalah
cerita seputar ilmu yang diamalkan. Sesungguhnya, penguasa jagat raya tidak
keliru dan tahu betul ada apa pada sang waktu. Saat itu, rasa sakit sirna dalam
jiwa yang dimatikan.'
Adakah SBY memosisikan diri sebagai Batara Kresna saat
menjadi kusir kereta kencana Demokrat? Siapa sang Arjuna yang kelak maju di
medan laga Kurusetra 2014? Tentu hanya Tuhan yang mahatahu. Lagi pula, Er is niets niuws onder de zon atau bumi
dalam naungan cahaya matahari tak banyak mengalami perubahan, sulit ditemukan
hal-hal yang baru, mungkin bentuknya baru, tapi isinya sama.
Meski begitu, saya meyakini bahwa sejarah tak sekadar
diskursus hitam-putih, tapi ada partikel corpus
mysticum, benda aneh dan gaib yang tak pernah berhenti menclok dari
generasi ke generasi, dari angkatan ke angkatan.
Dan di sinilah, ditengarai alur pikir konvensi capres 2014 khas Demokrat
dialirkan. Benarkah? Sebab, dalam mitologi budaya kekuasaan Jawa Koek, demokrasi itu sudah tecermin
dalam sebuah benda bernama kaca suryakanta. Ini adalah cermin cerdas weruh sedurung winarah. Maka tak aneh,
bila pepatah lama bertutur buruk rupa cermin dicuri. Maklum, selalu saja ada
cerita konon entah siapa, yang bisa mencuri cermin sejarah kaca suryakanta maka
sejarah pula yang akan menghantarkannya ke kursi nomor satu di Republik ini.
Keajaiban sejarah
Yang menarik, ternyata `kaca suryakanta' dalam perspektif
budaya politik Cirebon lebih sering dimiliki para seniman pemahat kata. Mereka
tercipta dari tulang rusuk konvensi suryakanta sejarah. Mereka
adalah keajaiban
sejarah yang kerap disebut corpus
mysticum. Adakah sosok corpus
mysticum dalam `Kesebelasan Konvensi Cikeas'? Meski begitu, kelak di hari H
pemilu presiden nanti, di bilik suara, saya bacakan sajak DR Elis Suryani, dinten ieu, urang siraman ku kawih, dinten
enjing urang siraman ku tembang, dinten pageto urang siraman ku galindeng, sungkem
kadeudeuh. Anu maneh pagueh, yang
bermakna, `hari ini ketika kumasuki bilik suara, mari kita mandi gamelan, sebab
besok akan ada banyak lagu, dan lusa manusia saling tukar igauan, sedang sang
presiden duduk menerima sembah sungkem.'
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar