|
Dalam beberapa bulan terakhir ini,
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah dan sampai pada kisaran Rp
11.000. Untuk
menstabilkan kondisi makroekonomi, pemerintah merilis empat paket kebijakan
ekonomi. Salah satu memuat kebijakan relaksasi sektor mineral-batubara.
Dalam siaran
pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), insentif relaksasi
sektor mineral-batubara diatur seperti berikut. Pertama, pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) yang telah memenuhi undang-undang diberi rekomendasi
persetujuan ekspor produk pertambangan berdasarkan permohonan tertulis.
Kedua, pemegang
IUP yang mendapat persetujuan ekspor diberi relaksasi (kelonggaran)
meningkatkan jumlah (kuota) ekspor produk pertambangan berdasarkan revisi kerja
dan anggaran biaya tahun 2013. Ketiga, ekspor produk pertambangan berlaku
sampai dengan 12 Januari 2014.
Menjadi
pertanyaan penting bagi insan pertambangan: apakah kebijakan relaksasi sektor
mineral-batubara masih sejalan dengan semangat penghiliran sektor pertambangan
yang digariskan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara?
Meningkat
Kebijakan
relaksasi sektor mineral-batubara dilatarbelakangi asumsi, kinerja ekspor
sektor ini menurun sejak dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 7/2012 yang
mengatur batas maksimum ekspor mineral mentah dan Peraturan Menteri Keuangan No
75/2012 yang mengatur bea keluar mineral mentah 20 persen.
Seiring dengan
defisit neraca perdagangan, dirasa perlu memberi relaksasi agar sektor ini
mampu mendongkrak penerimaan devisa negara. Namun, data Kementerian ESDM
menunjukkan asumsi tersebut keliru. Data Kementerian ESDM Januari-Maret 2013
menunjukkan ekspor sejumlah komoditas mineral mentah (ore) meningkat tajam dibandingkan dengan periode sama tahun
sebelumnya.
Nikel meningkat
55,1 persen, bijih besi meningkat 57,7 persen, dan bijih bauksit meningkat 38,7
persen. Tanpa kebijakan relaksasi ekspor mineral-batubara, sesungguhnya ekspor
mineral mentah meningkat tajam. Dengan keluarnya paket kebijakan relaksasi,
dapat dipastikan laju eksploitasi mineral mentah makin tak terbendung. Dengan
kata lain, kebijakan relaksasi sektor mineral-batubara tak sejalan dengan
semangat penghiliran sektor pertambangan yang sejak dua tahun lalu gencar
didorong pemerintah.
Agenda sektor
pertambangan untuk bergerak ke hilir pada 2014 masih menimbulkan tanda tanya
besar. Pasalnya, pelemahan rupiah juga berdampak pada pelemahan komitmen
pemerintah dan sejumlah pemangku kepentingan pertambangan. Ini terefleksi dalam
pernyataan Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo yang memperlihatkan pandangan
skeptis terhadap agenda penghiliran sektor mineral-batubara: ”Pemerintah tetap
mendorong berjalannya (penghiliran) hasil tambang yang dimulai 2014 meski
target ini sulit tercapai.”
Pandangan
skeptis ini kemudian dipertegas Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Thamrin
Sihite, yang seusai rapat kerja dengan Komisi VII DPR melontarkan gagasan
memberi pengecualian/toleransi bagi perusahaan tambang yang sedang melakukan
studi kelayakan dan konstruksi agar tetap dapat mengekspor mineral mentah pada
2014 (Kompas, 28/8).
Yang menjadi
pertanyaan kemudian, bagaimana jika hasil studi: tidak layak membangun sebuah
pabrik? Bagaimana jika konstruksi tak tuntas dalam waktu yang telah ditetapkan?
Komitmen
Secara historis
semangat kemandirian sektor mineral-batubara telah jauh-jauh hari digalakkan
negara. Ini dapat dibuktikan oleh pembangunan pabrik feronikel pertama di
Indonesia dan satu-satunya di kawasan Asia Tenggara pada 1976 oleh PT Antam di
Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Kolaborasi insinyur terbaik Indonesia dan tenaga
ahli dari Jepang menjadi tonggak awal mimpi tentang kemandirian pengelolaan
mineral dalam negeri. Kini, 37 tahun kemudian, semangat ini dituangkan dalam
kerangka legal bernama UU Minerba. Semangat dasarnya ialah menciptakan
kemandirian dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya mineral dan batubara,
yang tentunya selaras dengan konstitusi negara kita.
Kini, di tengah
pelemahan rupiah terhadap dollar AS, kebijakan dan komitmen pemerintah membawa
industri pertambangan Indonesia bergerak ke hilir sedang diuji: jangan sampai
rupiah yang melemah turut melemahkan semangat dan mimpi kita jadi bangsa
berdaulat mengelola kekayaan sumber daya alam. Kita tak ingin selamanya jadi
bangsa penjual mineral mentah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar