|
Karut-marut bisnis daging sapi tak
kunjung selesai, kini masuk ke dalam babak baru. Babak baru tersebut adalah
terbitnya Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699 Tahun 2013 tentang
Stabilisasi Harga Daging, Permentan No 74/2013 tentang Perubahan Rekomendasi
Persetujuan Impor Daging Sapi, serta Permentan 4493/Kpts/PD.410/7/2013 tentang
Pemasukan Sapi Potong.
Selain itu,
dengan lahirnya paket kebijakan ekonomi tanggal 23 Agustus 2013, Kementerian
Perdagangan telah mengeluarkan kebijakan operasional mengenai perubahan tata
niaga impor daging sapi dan hortikultura, yang semula berbasis kuota menjadi
berbasis harga.
Menurut hemat
penulis, kebijakan tersebut tidak akan berjalan secara efektif. Pasalnya, pada
kondisi pasar bebas, daging sapi sebagai komoditas yang diproduksi secara
massal ”tidak dikuasai negara”. Negara hanya akan mengaturnya melalui kebijakan
impor yang pangsanya mampu menembus angka 53 persen pada tahun 2009.
Kendati
demikian, produk daging impor tersebut akan terbentur lagi terhadap mekanisme
pasar dunia yang berlaku karena di negara asalnya, daging ini pun bebas
diperjualbelikan.
Dalam kebijakan
operasional Kemendag, dijelaskan bahwa keran impor akan dibuka selebarnya
sehingga harga daging di dalam negeri yang selama ini bertengger di harga Rp
90.000-an akan turun menjadi sekitar Rp 76.000-an per kilogram mengingat barang
yang ditawarkan akan membanjiri pasar dalam negeri. Namun, hipotesis tersebut
sangat lemah dan tidak berdasarkan pada fakta lapangan.
Kita tahu,
dalam beberapa tahun terakhir, ketersediaan daging sapi di Australia sangat
terbatas sebagai dampak kondisi ketidakpastian pasar, terutama di Indonesia.
Ketidakpastian dimaksud berupa perubahan sejumlah kebijakan importasi yang
sering terjadi di negeri ini.
Selain itu, ada
kebijakan yang membatasi impor sapi dengan berat badan 350 kg itu tidak akan
mampu dipenuhi para peternak di Negeri Kanguru tersebut akibat dibukanya keran
impor tanpa batasan. Artinya, harga sapi impor, yang saat ini berkisar 2,5
dollar AS/kg berat hidup landed cost, akan serta-merta meningkat sesuai
permintaannya yang tinggi. Belum lagi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS turut memperlemah situasi kondisi karut-marut ini.
Alhasil, dalam
tempo tidak terlalu lama, diduga harga sapi di Australia akan beranjak di angka
3 dollar AS/kg berat hidup. Jika dikalkulasi, harga tersebut menjadikan harga
sapi impor hidup di dalam negeri sekitar Rp 36.000, belum termasuk risiko dan
keuntungan usaha. Pada akhirnya, harga daging tetap di Rp 90.000 hingga Rp
100.000/kg.
Orientasi ke peternak
Apabila kita
lihat sejarah perjalanan importasi daging ini, pada 2009-2010, kondisi bisnis
ini relatif stabil. Itu berarti, impor mencapai titik kulminasi tertinggi,
yaitu sapi hidup sekitar 720.000 ekor dan daging sapi sekitar 120.000 ton.
Kesimpulannya: walaupun impor sangat tinggi, harga di tingkat konsumen tidak
bergejolak dan populasi ternak di dalam negeri meningkat tajam.
Apakah kondisi
seperti ini yang diharapkan? Artinya, jika orientasi kebijakannya berbasis
harga daging sapi, kita tidak akan mampu berswasembada daging sapi yang
sebenar-benarnya, seperti kasus tahun 2009-2010. Lalu, kebijakan apa yang
seharusnya dilakukan pemerintah?
Tolok ukur yang
diperlukan dari kebijakan pemerintah saat ini harus berpatokan pada: peternak
rakyat yang merupakan tulang punggung produksi di dalam negeri dan bisnis
peternak harus untung sehingga usahanya bekelanjutan. Pengaturan impor
sapi/daging dilakukan terhadap perusahaan feedlot dan importir daging
sebagai pendukung bagi ketersediaan daging di dalam negeri.
Selain itu,
industri pengolahan (processing)
daging sebagai lokomotif produksi harus pula dijaga bisnisnya dalam kerangka
memanfaatkan produksi daging di dalam negeri.
Dalam kaitan
ketiga hal tersebut, kebijakan yang diperlukan adalah menjaga pasar di dalam
negeri untuk produk daging sapi yang berdaya saing. Jangan melahirkan kebijakan
”setengah hati”, yaitu kebijakan yang tidak berpihak kepada peternak rakyat dan
cenderung memanfaatkan impor sebagai sarana.
Dalam kebijakan
yang berpatokan pada harga, penetapannya harus berdasarkan pendekatan biaya
produksi untuk menghasilkan daging sapi di dalam negeri, bukan hanya atas dasar
persaingan harga daging sapi. Selain itu, guna merealisasikannya, perlu
pembenahan sarana pendukung untuk memproduksi daging dari sapi di dalam negeri.
Ini meliputi
revitalisasi rumah potong hewan menjadi industri pengolahan daging sapi,
bukannya bisnis jasa pemotongan, sistem transportasi darat dan logistik
perdagingan, serta kebijakan finansial perbankan yang kondusif akan melahirkan
produksi daging sapi yang berdaya saing. Semua kebijakan harus satu paket
kebijakan dalam ”sistem logistik daging nasional”, bukan hanya dalam satu
kebijakan harga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar