Jumat, 13 September 2013

Kebijakan Sistem Logistik Daging Sapi

Kebijakan Sistem Logistik Daging Sapi
Rochadi Tawaf  ;   Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran,
Bandung, Jawa Barat
KOMPAS, 13 September 2013



Karut-marut bisnis daging sapi tak kunjung selesai, kini masuk ke dalam babak baru. Babak baru tersebut adalah terbitnya Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699 Tahun 2013 tentang Stabilisasi Harga Daging, Permentan No 74/2013 tentang Perubahan Rekomendasi Persetujuan Impor Daging Sapi, serta Permentan 4493/Kpts/PD.410/7/2013 tentang Pemasukan Sapi Potong.

Selain itu, dengan lahirnya paket kebijakan ekonomi tanggal 23 Agustus 2013, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan kebijakan operasional mengenai perubahan tata niaga impor daging sapi dan hortikultura, yang semula berbasis kuota menjadi berbasis harga.
Menurut hemat penulis, kebijakan tersebut tidak akan berjalan secara efektif. Pasalnya, pada kondisi pasar bebas, daging sapi sebagai komoditas yang diproduksi secara massal ”tidak dikuasai negara”. Negara hanya akan mengaturnya melalui kebijakan impor yang pangsanya mampu menembus angka 53 persen pada tahun 2009.
Kendati demikian, produk daging impor tersebut akan terbentur lagi terhadap mekanisme pasar dunia yang berlaku karena di negara asalnya, daging ini pun bebas diperjualbelikan.
Dalam kebijakan operasional Kemendag, dijelaskan bahwa keran impor akan dibuka selebarnya sehingga harga daging di dalam negeri yang selama ini bertengger di harga Rp 90.000-an akan turun menjadi sekitar Rp 76.000-an per kilogram mengingat barang yang ditawarkan akan membanjiri pasar dalam negeri. Namun, hipotesis tersebut sangat lemah dan tidak berdasarkan pada fakta lapangan.
Kita tahu, dalam beberapa tahun terakhir, ketersediaan daging sapi di Australia sangat terbatas sebagai dampak kondisi ketidakpastian pasar, terutama di Indonesia. Ketidakpastian dimaksud berupa perubahan sejumlah kebijakan importasi yang sering terjadi di negeri ini.
Selain itu, ada kebijakan yang membatasi impor sapi dengan berat badan 350 kg itu tidak akan mampu dipenuhi para peternak di Negeri Kanguru tersebut akibat dibukanya keran impor tanpa batasan. Artinya, harga sapi impor, yang saat ini berkisar 2,5 dollar AS/kg berat hidup landed cost, akan serta-merta meningkat sesuai permintaannya yang tinggi. Belum lagi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS turut memperlemah situasi kondisi karut-marut ini.
Alhasil, dalam tempo tidak terlalu lama, diduga harga sapi di Australia akan beranjak di angka 3 dollar AS/kg berat hidup. Jika dikalkulasi, harga tersebut menjadikan harga sapi impor hidup di dalam negeri sekitar Rp 36.000, belum termasuk risiko dan keuntungan usaha. Pada akhirnya, harga daging tetap di Rp 90.000 hingga Rp 100.000/kg.
Orientasi ke peternak
Apabila kita lihat sejarah perjalanan importasi daging ini, pada 2009-2010, kondisi bisnis ini relatif stabil. Itu berarti, impor mencapai titik kulminasi tertinggi, yaitu sapi hidup sekitar 720.000 ekor dan daging sapi sekitar 120.000 ton. Kesimpulannya: walaupun impor sangat tinggi, harga di tingkat konsumen tidak bergejolak dan populasi ternak di dalam negeri meningkat tajam.
Apakah kondisi seperti ini yang diharapkan? Artinya, jika orientasi kebijakannya berbasis harga daging sapi, kita tidak akan mampu berswasembada daging sapi yang sebenar-benarnya, seperti kasus tahun 2009-2010. Lalu, kebijakan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Tolok ukur yang diperlukan dari kebijakan pemerintah saat ini harus berpatokan pada: peternak rakyat yang merupakan tulang punggung produksi di dalam negeri dan bisnis peternak harus untung sehingga usahanya bekelanjutan. Pengaturan impor sapi/daging dilakukan terhadap perusahaan feedlot dan importir daging sebagai pendukung bagi ketersediaan daging di dalam negeri.
Selain itu, industri pengolahan (processing) daging sebagai lokomotif produksi harus pula dijaga bisnisnya dalam kerangka memanfaatkan produksi daging di dalam negeri.
Dalam kaitan ketiga hal tersebut, kebijakan yang diperlukan adalah menjaga pasar di dalam negeri untuk produk daging sapi yang berdaya saing. Jangan melahirkan kebijakan ”setengah hati”, yaitu kebijakan yang tidak berpihak kepada peternak rakyat dan cenderung memanfaatkan impor sebagai sarana.
Dalam kebijakan yang berpatokan pada harga, penetapannya harus berdasarkan pendekatan biaya produksi untuk menghasilkan daging sapi di dalam negeri, bukan hanya atas dasar persaingan harga daging sapi. Selain itu, guna merealisasikannya, perlu pembenahan sarana pendukung untuk memproduksi daging dari sapi di dalam negeri.
Ini meliputi revitalisasi rumah potong hewan menjadi industri pengolahan daging sapi, bukannya bisnis jasa pemotongan, sistem transportasi darat dan logistik perdagingan, serta kebijakan finansial perbankan yang kondusif akan melahirkan produksi daging sapi yang berdaya saing. Semua kebijakan harus satu paket kebijakan dalam ”sistem logistik daging nasional”, bukan hanya dalam satu kebijakan harga. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar