|
Antara
kepastian hukum dan kepastian keadilan sulit dipersatukan di negeri ini.
Padahal proses untuk mendapatkan ”kepastian keadilan” (hukum materiil) pintu
masuknya harus lewat hukum formil agar tercipta kepastian hukum.
Jika menyelisik
syarat pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA),
menurut hukum formil sesuai Pasal 263 Ayat 1 KUHAP secara tegas dinyatakan
hanya ”terpidana” atau ”ahli warisnya” yang berhak mengajukan PK. Dan, menurut
ketentuan Pasal 268 Ayat 3 KUHAP secara tegas dinyatakan pengajuan PK hanya
”sekali”, bukan dua kali.
Namun dalam
praktik peradilan, ketentuan ini sering diterobos Jaksa Agung, seperti dalam
kasus PK terhadap Mochtar Pakpahan (1996) dan kasus Pollycarpus (2007).
Termasuk diperbolehkannya ”ahli waris” Tommy Soeharto mengajukan PK ke MA, saat
Tommy Soeharto dalam status melarikan diri telah pernah dikabulkan majelis
hakim agung PK MA. Kebiasaan ini telah menimbulkan ketakpastian hukum, yang
bukan saja terjadi pada putusan PK Sudjiono Timan. Putusan PK itu sudah
dijadikan Jaksa Agung ataupun hakim agung PK jadi salah satu yurisprudensi
tetap yang dapat dijadikan sumber hukum.
Kebiasaan menerobos
Mestinya
seorang terpidana yang belum pernah menjalani putusan pengadilan berdasarkan
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, termasuk putusan kasasi,
yang statusnya ”kabur”, tidak diperbolehkan mengajukan PK. Mengingat, selain
Surat Edaran MA No 01/2012 telah melarangnya mengajukan PK, menurut logika
hukum pun ”tidak boleh”.
Dalam hal ini
terpidana justru harus terlebih dahulu menjalani putusan yang menyatakan
dirinya bersalah. Jika ada niatan mengajukan PK, upaya tersebut merupakan upaya
hukum luar biasa, yang tidak sembarangan PK. Sesuai ketentuan hukum, terpidana
harus mengajukan sendiri/didampingi kuasa hukum mengajukan permohonan PK dengan
membubuhkan tanda tangannya di dalam permohonan PK, bukan pihak lain. Jika
terpidana meninggal dunia di saat permintaan PK telah sempat diterima MA,
barulah ahli warisnya yang meneruskan permohonan PK tersebut. Namun, ternyata
kebiasaan menerobos UU ini telah terjadi sebelum putusan PK Sudjiono Timan.
Sekarang
tatanan hukum kita makin diperparah ketika ada wacana pembatalan putusan PK
Sudjiono Timan. Artinya putusan PK itu dikatakan tidak pernah ada dan atau
dapat dilakukan PK di atas PK, dengan alasan karena prosedur pengajuan PK telah
melanggar hukum acara pidana.
Bagaimana
mungkin putusan PK Sudjiono Timan yang secara hukum putusannya telah diucapkan
secara terbuka untuk umum pada 31 Juli 2013 dianggap tidak pernah ada? Penulis
pun turut gemas dengan masyarakat yang tidak sependapat dengan
putusan tersebut. Namun, karena dasar hukum untuk membatalkan putusan PK
tersebut sudah tidak ada lagi, khusus untuk putusan PK ini tak mengakibatkan
serta- merta putusan PK Sudjiono Timan jadi ”batal demi hukum”. Sebab selain
putusan PK tersebut sudah final dan merupakan upaya terakhir hukum luar biasa,
juga putusan PK tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terlebih telah
ditekankan oleh ketentuan hukum, PK hanya boleh dilakukan ”sekali” saja (vide Pasal 268 Ayat 3 KUHAP).
Jadi, terlepas
adanya berbagai kekurangan dalam putusan PK Sudjiono Timan, menurut asas
hukum Res Judicata Proveri Tate
Habetur, bahwa ”setiap putusan
pengadilan/hakim adalah sah menurut hukum, kecuali dibatalkan oleh pengadilan
yang lebih tinggi”. Maka, suka atau tidak, kita harus menghormati putusan
itu tanpa kecuali.
Ini pelajaran
berharga bagi kita terkait berbagai penyimpangan dalam prosedur hukum acara
yang sudah kebablasan selama ini. Berbagai kekurangan ini diharapkan jadi bahan
masukan bagi MA, DPR, dan pemerintah untuk merumuskan kembali secara adil,
tepat, dan benar ke dalam RUU KUHAP yang baru nanti agar dalam setiap proses
hukum tercipta ”kepastian hukum” dan ”kepastian keadilan”.
Eksekusi putusan kasasi
Kepastian hukum
dan keadilan bisa tercipta manakala aparat penegak hukum tetap konsisten
menegakkan hukum berdasarkan keadilan. Artinya, apa yang sudah ditetapkan UU
tak boleh dilanggar. Ingat, asas hukum lex
stricta mencatat: ”ketentuan
hukum yang sudah tegas tidak boleh diinterpretasikan lain dari yang tertulis”.
Hindarilah
kebiasaan menafsir dan menerobos syarat formal (ketentuan hukum) demi
mendapatkan kebenaran materiil. Sebab cara-cara seperti itu merupakan
”perbuatan melanggar hukum” yang dapat dituntut secara pidana ataupun perdata.
Terkecuali syarat formal telah terpenuhi, adalah menjadi kewajiban hakim untuk
menggali hukum sesuai perkembangan teknologi demi mendapatkan kebenaran
materiil, yakni ”kepastian keadilan”. Pada kesempatan itulah hakim memiliki
kewenangan untuk ”membuat hukum” dan ”menciptakan hukum”.
Oleh karena
itu, sekalipun kita sepakat putusan PK ini sah secara hukum, penulis berharap,
sebelum putusan PK tertanggal 31 Juli 2013 itu dieksekusi oleh Jaksa Agung,
demi kepastian hukum dan kepastian keadilan, terpidana Sudjiono Timan harus
”terlebih dahulu” (berlaku surut) melaksanakan amar putusan kasasi tertanggal 3
Desember 2004 yang menghukum dirinya selama 15 tahun penjara, denda Rp 50 juta,
dan membayar uang pengganti Rp 369 miliar. Sebab, menurut sistem hukum
Indonesia, secara tegas dinyatakan: sekalipun ada PK, ”tak menghentikan atau
menangguhkan” pelaksanaan (eksekusi) putusan yang sudah berkekuatan hukum
tetap, termasuk putusan kasasi (vide Pasal
268 Ayat 1 KUHAP).
Lewat cara ini,
Jaksa Agung tidak perlu lagi menggugat harta kekayaan Sudjiono Timan secara
perdata. Karena saat Jaksa Agung nanti menyita harta kekayaan yang selama ini
belum dilaksanakan sejak putusan kasasi 3 Desember 2004, Kejaksaan Agung justru
dapat memperhitungkan kerugian negara yang dilakukan terpidana Sudjiono Timan
tatkala dirinya dijatuhi pidana sejak 3 Desember 2004 tersebut hingga putusan
PK yang melepaskan/membebaskan dirinya dari jeratan hukum tertanggal 31 Juli
2013.
Terkait
berbagai dugaan penyimpangan dalam putusan PK tersebut, tentu ia menjadi
tanggung jawab MA selaku pengawas tertinggi di bidang yudisial. Kini MA sedang
mendalami polemik putusan PK tersebut. Jika ditemukan berbagai pelanggaran
hukum acara, dan atau pelanggaran kode etik hakim, termasuk terima suap, adalah
jadi tanggung jawab bersama antara MA dan Komisi Yudisial untuk menuntaskan
secara hukum polemik putusan PK ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar