Jumat, 13 September 2013

Putusan PK Sudjiono Timan

Putusan PK Sudjiono Timan
Binsar M Gultom  ;   Dosen Pascasarjana Universitas Bengkulu
KOMPAS, 13 September 2013


Antara kepastian hukum dan kepastian keadilan sulit dipersatukan di negeri ini. Padahal proses untuk mendapatkan ”kepastian keadilan” (hukum materiil) pintu masuknya harus lewat hukum formil agar tercipta kepastian hukum.
Jika menyelisik syarat pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), menurut hukum formil sesuai Pasal 263 Ayat 1 KUHAP secara tegas dinyatakan hanya ”terpidana” atau ”ahli warisnya” yang berhak mengajukan PK. Dan, menurut ketentuan Pasal 268 Ayat 3 KUHAP secara tegas dinyatakan pengajuan PK hanya ”sekali”, bukan dua kali.
Namun dalam praktik peradilan, ketentuan ini sering diterobos Jaksa Agung, seperti dalam kasus PK terhadap Mochtar Pakpahan (1996) dan kasus Pollycarpus (2007). Termasuk diperbolehkannya ”ahli waris” Tommy Soeharto mengajukan PK ke MA, saat Tommy Soeharto dalam status melarikan diri telah pernah dikabulkan majelis hakim agung PK MA. Kebiasaan ini telah menimbulkan ketakpastian hukum, yang bukan saja terjadi pada putusan PK Sudjiono Timan. Putusan PK itu sudah dijadikan Jaksa Agung ataupun hakim agung PK jadi salah satu yurisprudensi tetap yang dapat dijadikan sumber hukum.
Kebiasaan menerobos
Mestinya seorang terpidana yang belum pernah menjalani putusan pengadilan berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, termasuk putusan kasasi, yang statusnya ”kabur”, tidak diperbolehkan mengajukan PK. Mengingat, selain Surat Edaran MA No 01/2012 telah melarangnya mengajukan PK, menurut logika hukum pun ”tidak boleh”.
Dalam hal ini terpidana justru harus terlebih dahulu menjalani putusan yang menyatakan dirinya bersalah. Jika ada niatan mengajukan PK, upaya tersebut merupakan upaya hukum luar biasa, yang tidak sembarangan PK. Sesuai ketentuan hukum, terpidana harus mengajukan sendiri/didampingi kuasa hukum mengajukan permohonan PK dengan membubuhkan tanda tangannya di dalam permohonan PK, bukan pihak lain. Jika terpidana meninggal dunia di saat permintaan PK telah sempat diterima MA, barulah ahli warisnya yang meneruskan permohonan PK tersebut. Namun, ternyata kebiasaan menerobos UU ini telah terjadi sebelum putusan PK Sudjiono Timan.
Sekarang tatanan hukum kita makin diperparah ketika ada wacana pembatalan putusan PK Sudjiono Timan. Artinya putusan PK itu dikatakan tidak pernah ada dan atau dapat dilakukan PK di atas PK, dengan alasan karena prosedur pengajuan PK telah melanggar hukum acara pidana.
Bagaimana mungkin putusan PK Sudjiono Timan yang secara hukum putusannya telah diucapkan secara terbuka untuk umum pada 31 Juli 2013 dianggap tidak pernah ada? Penulis pun turut gemas dengan masyarakat yang tidak sependapat dengan putusan tersebut. Namun, karena dasar hukum untuk membatalkan putusan PK tersebut sudah tidak ada lagi, khusus untuk putusan PK ini tak mengakibatkan serta- merta putusan PK Sudjiono Timan jadi ”batal demi hukum”. Sebab selain putusan PK tersebut sudah final dan merupakan upaya terakhir hukum luar biasa, juga putusan PK tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terlebih telah ditekankan oleh ketentuan hukum, PK hanya boleh dilakukan ”sekali” saja (vide Pasal 268 Ayat 3 KUHAP).
Jadi, terlepas adanya berbagai kekurangan dalam putusan PK Sudjiono Timan, menurut asas hukum Res Judicata Proveri Tate Habetur, bahwa ”setiap putusan pengadilan/hakim adalah sah menurut hukum, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi”. Maka, suka atau tidak, kita harus menghormati putusan itu tanpa kecuali.
Ini pelajaran berharga bagi kita terkait berbagai penyimpangan dalam prosedur hukum acara yang sudah kebablasan selama ini. Berbagai kekurangan ini diharapkan jadi bahan masukan bagi MA, DPR, dan pemerintah untuk merumuskan kembali secara adil, tepat, dan benar ke dalam RUU KUHAP yang baru nanti agar dalam setiap proses hukum tercipta ”kepastian hukum” dan ”kepastian keadilan”.
Eksekusi putusan kasasi
Kepastian hukum dan keadilan bisa tercipta manakala aparat penegak hukum tetap konsisten menegakkan hukum berdasarkan keadilan. Artinya, apa yang sudah ditetapkan UU tak boleh dilanggar. Ingat, asas hukum lex stricta mencatat: ”ketentuan hukum yang sudah tegas tidak boleh diinterpretasikan lain dari yang tertulis”.
Hindarilah kebiasaan menafsir dan menerobos syarat formal (ketentuan hukum) demi mendapatkan kebenaran materiil. Sebab cara-cara seperti itu merupakan ”perbuatan melanggar hukum” yang dapat dituntut secara pidana ataupun perdata. Terkecuali syarat formal telah terpenuhi, adalah menjadi kewajiban hakim untuk menggali hukum sesuai perkembangan teknologi demi mendapatkan kebenaran materiil, yakni ”kepastian keadilan”. Pada kesempatan itulah hakim memiliki kewenangan untuk ”membuat hukum” dan ”menciptakan hukum”.
Oleh karena itu, sekalipun kita sepakat putusan PK ini sah secara hukum, penulis berharap, sebelum putusan PK tertanggal 31 Juli 2013 itu dieksekusi oleh Jaksa Agung, demi kepastian hukum dan kepastian keadilan, terpidana Sudjiono Timan harus ”terlebih dahulu” (berlaku surut) melaksanakan amar putusan kasasi tertanggal 3 Desember 2004 yang menghukum dirinya selama 15 tahun penjara, denda Rp 50 juta, dan membayar uang pengganti Rp 369 miliar. Sebab, menurut sistem hukum Indonesia, secara tegas dinyatakan: sekalipun ada PK, ”tak menghentikan atau menangguhkan” pelaksanaan (eksekusi) putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, termasuk putusan kasasi (vide Pasal 268 Ayat 1 KUHAP).
Lewat cara ini, Jaksa Agung tidak perlu lagi menggugat harta kekayaan Sudjiono Timan secara perdata. Karena saat Jaksa Agung nanti menyita harta kekayaan yang selama ini belum dilaksanakan sejak putusan kasasi 3 Desember 2004, Kejaksaan Agung justru dapat memperhitungkan kerugian negara yang dilakukan terpidana Sudjiono Timan tatkala dirinya dijatuhi pidana sejak 3 Desember 2004 tersebut hingga putusan PK yang melepaskan/membebaskan dirinya dari jeratan hukum tertanggal 31 Juli 2013.
Terkait berbagai dugaan penyimpangan dalam putusan PK tersebut, tentu ia menjadi tanggung jawab MA selaku pengawas tertinggi di bidang yudisial. Kini MA sedang mendalami polemik putusan PK tersebut. Jika ditemukan berbagai pelanggaran hukum acara, dan atau pelanggaran kode etik hakim, termasuk terima suap, adalah jadi tanggung jawab bersama antara MA dan Komisi Yudisial untuk menuntaskan secara hukum polemik putusan PK ini. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar