Selasa, 24 September 2013

Pengetatan Uang Muka KPR

Pengetatan Uang Muka KPR
Hadziq Jauhary  ;   Consumer Financing Analyst BTN Syariah Semarang
SUARA MERDEKA, 23 September 2013


LANGKAH Bank Indonesia (BI) yang kembali memperketat persyaratan penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) per 1 September 2013, membuat pengembang cemas.

Peraturan baru yang merupakan penajaman dari Surat Edaran BI Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2013 tentang Penetapan Loan to Value (LTV)- Uang Muka Maksimal 70% untuk Rumah Tipe 70 ke Atas tersebut mengharuskan calon konsumen yang sebelumnya sudah memiliki rumah, untuk memperbesar uang muka (down payment/DP) hingga lebih dari 50%.

Pengetatan uang muka KPR itu dengan sistem berjenjang atau progresif, yakni 30% untuk pembelian rumah pertama, 40% untuk pembelian rumah kedua, 50% untuk kepemilikan rumah ketiga, dan seterusnya. Langkah itu terasa menjadi antitesis di tengah semangat pengembang dan pelaku industri perbankan untuk mempertahankan diri di tengah gejolak krisis global yang belakangan ini mulai menjalar ke Indonesia.

Dengan adanya regulasi baru itu, portofolio KPR perbankan mengecil, dan pengembang, kesulitan untuk segera mengeksekusi rumah yang dijual karena konsumen belum bisa melunasi uang muka yang berjumlah lebih besar. Padahal, pengembang sudah lebih dulu dibuat cemas ketika pemerintah menaikkan harga BBM diikuti kemenaikan harga bahan bangunan.

Adapun BI beralasan pengetatan uang muka KPR karena pasar properti Indonesia dalam bayang-bayang gelembung (bubble). Benarkah pasar properti nasional sudah menggelembung? Dalam laporan properti BI (2011), penggelembungan properti (bubble property) merupakan keadaan ketika harga-harga properti naik secara tidak wajar.

Jika kondisi ini dibiarkan memang akan diikuti dengan ambruknya perekonomian secara menyeluruh sehingga timbul masalah nasional berupa resesi ekonomi. Melihat kondisi perekonomian dalam negeri berdasarkan indikator makro dan mikro serta kondisi struktur KPR terkini, kekhawatiran terhadap ancaman bubble property masih jauh panggang dari api.

Bank sentral berkesan terburu-buru dan paranoid bahwa negeri ini akan mengalami krisis subprime mortgage seperti Amerika Serikat tahun 2010 akibat pembelian rumah menggunakan KPR hanya sebagai alat investasi dan spekulasi. Yang mesti menjadi perhatian BI adalah mayoritas masyarakat Indonesia masih membeli rumah dengan fasilitas KPR sebagai kebutuhan.

Tak sampai 2% kelompok masyarakat yang membeli rumah sebagai bentuk investasi. Namun investasi itu pun bukan bersifat spekulatif seperti di AS tahun 2010 silam, melainkan mereka benar-benar memiliki kesungguhan dan kemampuan penghasilan untuk membayar satu atau beberapa angsuran KPR tiap bulan secara tepat waktu.

Baru setelah harga properti itu naik, mereka menjualnya dengan selisih harga yang cukup tinggi dibanding pada saat awal membeli. Jadi, selisih harga itulah yang diambil sebagai keuntungan, bukan dari cara menyimpang. Berdasarkan data BI hingga akhir triwulan I/ 2013, posisi penyaluran KPR bank umum justru menurun dibanding periode sama tahun sebelumnya, yakni menjadi 9,04% dari total kredit atau Rp 262,96 triliun.

Pertumbuhan KPR dalam 3 tahun terakhir pun cenderung melambat, yakni 31,87% pada tahun 2011, menurun jadi 22,44% tahun 2012, dan menurun lagi jadi 17,66% per Mei 2013. Besar kredit properti saat ini pun masih tak lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Selain itu, kita justru dihadapkan pada fakta bahwa pasokan hunian hingga kini masih kurang. Berdasar data BPS, kebutuhan rumah saat ini 13,6 juta unit atau masih ada backlog hingga 7,1 juta.

Adapun kebutuhan rumah baru 800.000 unit tiap tahun, padahal pasokan hanya 400.000. Andai masyarakat membeli rumah kedua atau ketiga, rata-rata diakibatkan karena mereka pindah tempat dinas ataupun pindah kerja di institusi/perusahaan lain.

Pertumbuhan Perbankan

Mengingat dampak negatif yang kompleks dari pengetatan uang muka KPR, seyogianya Bank Indonesia merevisi kebijakan tersebut guna memacu akselerasi pertumbuhan perbankan seperti diharapkan BI, di tengah kondisi perekonomian yang bergejolak belakangan ini. Salah satu upaya yang perlu dilakukan saat ini, yakni menetapkan regulasi yang bisa membuat pertumbuhan dana pihak ketiga dan pertumbuhan kredit terus berjalan beriringan.

Menjadi tidak sehat bagi bank jika pertumbuhan dana pihak ketiga justru melonjak tajam ketimbang pertumbuhan kredit karena tingginya ketertarikan masyarakat menempatkan dana deposito di bank akibat suku bunga yang sedang tinggi dibanding instrumen-instrumen investasi lain.

Bila Bank Indonesia memandang pelemahan nilai tukar rupiah dan persoalan inflasi akan menaikkan suku bunga acuan KPR maka akan lebih baik bila bank sentral itu mengharuskan tiap bank untuk menetapkan batas tertinggi bunga KPR mengambang untuk diterapkan kepada semua nasabah.


Terkait harga rumah yang makin mahal, BI hendaknya menjalin komunikasi dengan institusi pemerintah lain, terutama Kementerian Perdagangan, Badan Pertanahan Nasional, dan badan/kantor pelayanan perizinan terpadu di pemkot/pemkab, supaya menekan harga tanah termasuk menjamin kemudahan perizinan, dan harga material bangunan baik lokal maupun impor, minimal tidak naik secara drastis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar