Selasa, 24 September 2013

Royalti Batubara

Royalti Batubara
Irwandy Arif  ;    Indonesian Mining Institute
KOMPAS, 24 September 2013


Dalam sembilan tahun terakhir, kontribusi pertambangan batubara terhadap PDB non-migas terus meningkat. Jika pada 2004 sebesar 3,1 persen, pada 2012 jadi 6,1 persen.

Di tengah merosotnya defisit neraca berjalan, kenyataan ini ikut mendorong pemerintah merencanakan kenaikan tarif royalti batubara agar dapat meningkatkan lagi penerimaan negara. Rencana kebijakan ini tentu perlu dipertimbangkan lebih matang karena industri batubara sedang kelimpungan karena didera turunnya harga komoditas batubara sejak 2012 dan diperparah oleh peningkatan biaya produksi yang cukup signifikan.

Beberapa perusahaan penambangan batubara telah menutup usaha mereka. Selain itu, yang juga mengkhawatirkan adalah kebijakan peningkatan royalti batubara berpotensi mendorong semakin maraknya aktivitas penambangan dan perdagangan batubara ilegal di Tanah Air.

Perbedaan tarif royalti

Di dalam PP No 9/2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tarif royalti bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) ditetapkan 3 persen, 5 persen, dan 7 persen sesuai nilai kalori dari batubara. Tarif tersebut berbeda dengan royalti bagi pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan Batubara (PKP2B), yaitu 13,5 persen. Perbedaan ini yang antara lain mendorong pemerintah menerapkan tarif royalti baru bagi pemegang IUP yang diyakini akan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Sepintas, disparitas tarif ini menimbulkan kesan pemegang IUP menikmati keuntungan yang berlipat dibanding pemegang PKP2B. Namun apabila ditelaah lebih jauh, kontribusi yang diberikan perusahaan IUP terhadap penerimaan negara secara agregat tidaklah berbeda jauh.

Hal ini disebabkan, antara lain, karena perlakuan aturan perpajakan dan PNBP yang berbeda, yaitu lex spesialis bagi pemegang PKP2B generasi I, II, dan sebagian generasi III. Sementara pemegang IUP mengikuti aturan perpajakan dan PNBP yang berlaku dari waktu ke waktu. Selain itu, banyaknya pungutan pajak dan retribusi daerah, termasuk pungutan dalam bingkai sumbangan pihak ketiga yang tidak jelas penggunaannya, semakin memperkecil margin pemasukan bagi perusahaan pemegang IUP.

Dengan kondisi harga batubara yang terus tertekan, ditambah naiknya biaya produksi, perusahaan batubara berjuang untuk bisa bertahan. Tidak sedikit perusahaan yang terpaksa harus merumahkan dan bahkan mem- PHK karyawannya. Data dari Asosiasi Perusahaan Jasa Usaha Pertambangan (Aspindo) menunjukkan hampir 6.000 orang di-PHK oleh kontraktor pertambangan untuk menekan kerugian. Hal ini dapat memicu konflik sosial di daerah menjelang tahun politik 2014.

Saat industri batubara sedang berjuang menghadapi tekanan harga batubara dan peningkatan biaya produksi, aktivitas penambangan dan perdagangan ilegal nyaris tak terpengaruh, bahkan kian marak. Dengan jumlah IUP batubara yang sekitar lebih dari 5.000 di sejumlah daerah, praktis pengawasan sangat sulit dilakukan. Selain itu, intensitas dan skala penambangan ilegal semakin meluas.

Menurut hasil kajian yang dilakukan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), diperkirakan sekitar 56 juta produksi batubara diduga kuat berasal dari aktivitas tanpa izin tersebut, yang merugikan negara Rp 3,5 triliun-Rp 5,5 triliun pada tahun 2012. Dampak terhadap kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan pun sangat serius.

Pasokan batubara dari aktivitas ilegal tersebut tentu berdampak terhadap kondisi kelebihan pasokan di pasar batubara global yang mendorong penurunan harga. Di sisi lain, kebutuhan akan batubara dari Indonesia masih sangat tinggi dan kebutuhan batubara domestik masih rendah, sehingga dorongan untuk ekspor batubara semakin meningkat.

Dengan kondisi harga batubara saat ini, yang dapat menikmati margin keuntungan yang besar adalah aktivitas penambangan dan perdagangan batubara ilegal. Hal ini sangat logis karena para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab tersebut tidak membayar kewajiban keuangan dan perpajakan kepada negara, tidak menyisihkan dana untuk reklamasi dan pengelolaan lingkungan, bahkan tidak memperhatikan dukungan bagi pengembangan masyarakat.

Melihat kondisi di atas, selain berakibat PHK ribuan karyawan, kenaikan tarif royalti dikhawatirkan mendorong peningkatan jumlah aktivitas penambangan ilegal. Di tengah minimnya pengawasan di era otonomi daerah, praktik-praktik tidak terpuji tersebut boleh jadi akan semakin marak. Negara dan bangsa yang tentu akan dirugikan karena selain peningkatan penerimaan negara tidak tercapai, ekses negatif juga akan dituai.

Berdasarkan indeks harga

Guna menghindari ekses negatif tersebut, solusi yang dapat ditempuh pemerintah antara lain dengan menerapkan kenaikan tarif royalti progresif berdasarkan kenaikan indeks harga. Tarif royalti progresif yang dimaksud adalah kenaikan tarif royalti saat indeks harga batubara mencapai level tertentu saja dan mempertahankan tarif yang saat ini berlaku ketika harga di bawah ambang batas tersebut. Dengan demikian, godaan praktik-praktik tak terpuji tambang ilegal dapat diminimalkan.


Di sisi lain, insentif juga perlu diberikan bagi usaha batubara yang mendukung ketahanan energi nasional. Perlu segera ada tindakan nyata bahwa dengan meroketnya subsidi BBM porsi batubara terhadap elektrifikasi sudah harus ditingkatkan agar APBN dapat dihemat. Selain itu, pemerintah juga perlu terus menertibkan aktivitas penambangan dan perdagangan batubara ilegal yang merugikan negara. Sudah saatnya batubara dikelola secara bertanggung jawab untuk kepentingan anak-cucu kita di masa yang akan datang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar