Selasa, 10 September 2013

Pemberontakan Moral dan Etika

Pemberontakan Moral dan Etika
Restoe Prawironegoro Ibrahim  ;    Budayawan, Cerpenis dan Penyair
SUARA KARYA, 10 September 2013


Menilai dan menimbang bobot kehidupan bangsa secara keseluruhan, bukanlah hal yang gampang. Dibutuhkan moralis-moralis setingkat 'resi' yang konsekuen, jujur, mampu memadukan sifat-sifat rasional dan moralitas sebagai watak universalnya. Kebenaran seakan tak pernah ditemukan, karena itu ada yang memandang tetap 'perlu' dan ada yang 'sebal'.

Alexander Solzhenitsyin, seorang sastrawan 'pelarian' yang diterima bangsa AS dengan tulus menilai dan mengatakan bahwa Amerika yang dikenal lambang obor kemerdekaannya ternyata mampu menerangi bangsa yang tertindas, memberi harapan berdamai dengan kenyataan pahit akan adanya penjajahan dan penindasan itu.

Tetapi, tak sedikit pula yang berpendapat bangsa itu harus berterima kasih pada Alaxander Solzhenitsyin. Terlepas benar atau tidaknya, adalah hak-nya mengemukakan pendapat atau penilaian, hendaknya kritik dipandang secara proporsional. Tokh, memang tak semua lapisan bisa menerimanya, tetapi yang penting bisa mengambil manfaat sebagai koreksi diri. Begitu pula dengan 'Manusia Indonesia'-nya Mochtar Lubis, yang akhirnya banyak 'berkaca diri' untuk menghilangkan, barangkali memang ada 'noda' yang menempel.

Di banyak tempat kritik itu memang seperti kehidupan binatang langka. 'Binatang' ini perlu dilestarikan, tetapi tak sedikit pula yang ingin dimatikan untuk tujuan dan kepentingan pribadi. Keinginan mana yang lebih dominan?

Di kebanyakan tempat, kritik itu seperti binatang langka. Kritik pun segera masuk dalam daftar kategori. Diprencah-prencah menurut hajat dan minat, karena perlu banyak memahami dengan santai. Bentuk kritik pun tentu harus santai-santai pula. Tak perlu bakar diri, mogok makan, gantung diri - atau menggunakan cara-cara lain yang sama kerasnya sebagai bentuk protes yang fatal, sambil berteriak 'Tarzan' tentang penindasan manusia sejagad.

Kritik yang memantulkan tinta atau suara perlu diatur sedemikian rupa, berbentuk serbuk-serbuk halus yang tak perlu menusuk, tetapi menempel saja. Khusus yang memantulkan suara, jika perlu sambil duduk dan terkantuk-kantuk menunggu tutup bulan. Katanya, kebudayaan kita berbeda dengan budaya sana. Ada orang Jawa yang perlu dikritik model Jawa. Jadi, jangan heran jika kritik tentang korupsi, manipulasi menjadi tanpa berbudi, karena yang dikritik sendiri tak cukup mengerti. Apalagi, yang mendengarkan untuk menyokong sang bunyi.

Ada yang mengusulkan perlu diadakan seminar tentang bentuk kritik yang pas buat bangsa tercinta ini. Bocah gundul alias Tuyul yang demen begadang malam hari masuk daftar agenda mereka yang katanya memiliki nalar. Apalagi kritik adalah pantulan dari hasil pemikiran rasional, ketika memandang setumpuk gejala akibat 'pemberontakan' terhadap kaidah moral dan dan etika yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang.

Jalan lain, untuk mencari bentuk yang pas tentang kritik, kita bisa membanding-bandingkan kerangka kritik yang diberikan para ahli mulai dari Carmen Silva, Shinestone yang sinis sampai Sthendal Seymor, Isabel Madriaga atau Mortimer Adler yang lebih memandang kritik sebagai hal positif, meski dengan beberapa persyaratan. Setidak-tidaknya kritik itu hasil proses berpikir rasional, sambil menekan perasaan emosional.

Semangat Kemanusiaan

Peringatan demi peringatan memang sering melewati apa yang disebut penindasan. Tetapi, bagi kebanyakan bangsa baru berkembang yang didera pengalaman kepahitan dijajah bangsa lain, kemudian ditindas oleh pemimpin mereka sendiri memang sering kehilangan semangat humanitas (kemanusiaan). Karena itu, kita kerap mendengar atau melihat nilai kritik sebagai pekerjaan yang dibesar-besarkan. Nilai kemanusiaan yang bisa diterima oleh pemikiran rasional, begitu gampangnya dipatahkan oleh peraturan-peraturan atau tugas yang dibuat sama rasionalnya.

Persoalannya, yang jelas melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan merupakan puncak proses perjalanan hidup dari anak manusia yang tak pernah selesai dipermainkan atau diolok-olok oleh nasib. Ia 'mencuri' peraturan dari impian sebuah kota yang tak mau berdamai dengan sejenis manusia sekelas bawah.

Namun sial. Kota yang sedang tidur lelap dengan mimpi ketertiban tetap terjaga dan bringas terhadap pelanggaran. Ia 'kepergok' manusia-manusia 'mesin' yang terprogram oleh peraturan dan tugas, yang tidak lagi memiliki hati nurani. Dan, itu katanya soal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan, meski mungkin sebenarnya masalah besar sebagai satu gejala yang perlu direnungkan. Setidaknya banyak memenuhi negeri ini.

Membunuh kreativitas penilaian pada pokoknya memang bermuara pada dua metoda atau cara. Pertama, ciptakan kesulitan untuk bisa berbicara mulai dari menciptakan pekerjaan lewat pencat atau pencari biodata sampai pada mikrofon tanpa 'accu' dan lembaran tanpa tinta. Kedua, mampu menciptakan diri atau pihak lain seperti dalam suasana bisu tuli. Semua soal kecil, semua soal biasa tak perlu tanggapan, umpan balik sebagai bahan renungan, bersama untuk langkah-langkah berikutnya.

Pekerjaan menilai bangsa secara keseluruhan, akhirnya menjadi semakin susah didapat. Apalagi, apa yang disebut rasional itu nyata, dan apa yang nyata itu rasional (Hegel) disirnakan oleh suatu sistem kekuasaan. Menyampaikan kritik memang perlu cara, atau harus melewati lubang saluran, yang sebenarnya merupakan hambatan-hambatan komunikasi.

Pada gilirannya, karena sempitnya lubang saluran yang harus dilewati sering kritik menjadi 'ramping', yang justru makin mengacaukan karena bobotnya yang hilang. Keterbukaan informasi menjadi tertutup, karena alasan kepentingan pribadi. Herankah jika timbul prasangka, kasak-kusuk yang subur dalam masyarakat? Atau, malah menjelma suatu kekuatan yang mengkhawatirkan, karena sifat kasak-kusuk lebih 'mengasyikkan' untuk didengar. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar