|
Menilai dan menimbang bobot
kehidupan bangsa secara keseluruhan, bukanlah hal yang gampang. Dibutuhkan
moralis-moralis setingkat 'resi' yang konsekuen, jujur, mampu memadukan
sifat-sifat rasional dan moralitas sebagai watak universalnya. Kebenaran seakan
tak pernah ditemukan, karena itu ada yang memandang tetap 'perlu' dan ada yang
'sebal'.
Alexander Solzhenitsyin, seorang
sastrawan 'pelarian' yang diterima bangsa AS dengan tulus menilai dan
mengatakan bahwa Amerika yang dikenal lambang obor kemerdekaannya ternyata mampu
menerangi bangsa yang tertindas, memberi harapan berdamai dengan kenyataan
pahit akan adanya penjajahan dan penindasan itu.
Tetapi, tak sedikit pula yang
berpendapat bangsa itu harus berterima kasih pada Alaxander Solzhenitsyin.
Terlepas benar atau tidaknya, adalah hak-nya mengemukakan pendapat atau
penilaian, hendaknya kritik dipandang secara proporsional. Tokh, memang tak
semua lapisan bisa menerimanya, tetapi yang penting bisa mengambil manfaat
sebagai koreksi diri. Begitu pula dengan 'Manusia Indonesia'-nya Mochtar Lubis,
yang akhirnya banyak 'berkaca diri' untuk menghilangkan, barangkali memang ada
'noda' yang menempel.
Di banyak tempat kritik itu memang
seperti kehidupan binatang langka. 'Binatang' ini perlu dilestarikan, tetapi
tak sedikit pula yang ingin dimatikan untuk tujuan dan kepentingan pribadi.
Keinginan mana yang lebih dominan?
Di kebanyakan tempat, kritik itu
seperti binatang langka. Kritik pun segera masuk dalam daftar kategori.
Diprencah-prencah menurut hajat dan minat, karena perlu banyak memahami dengan
santai. Bentuk kritik pun tentu harus santai-santai pula. Tak perlu bakar diri,
mogok makan, gantung diri - atau menggunakan cara-cara lain yang sama kerasnya
sebagai bentuk protes yang fatal, sambil berteriak 'Tarzan' tentang penindasan
manusia sejagad.
Kritik yang memantulkan tinta atau
suara perlu diatur sedemikian rupa, berbentuk serbuk-serbuk halus yang tak
perlu menusuk, tetapi menempel saja. Khusus yang memantulkan suara, jika perlu
sambil duduk dan terkantuk-kantuk menunggu tutup bulan. Katanya, kebudayaan
kita berbeda dengan budaya sana. Ada orang Jawa yang perlu dikritik model Jawa.
Jadi, jangan heran jika kritik tentang korupsi, manipulasi menjadi tanpa
berbudi, karena yang dikritik sendiri tak cukup mengerti. Apalagi, yang
mendengarkan untuk menyokong sang bunyi.
Ada yang mengusulkan perlu
diadakan seminar tentang bentuk kritik yang pas buat bangsa tercinta ini. Bocah
gundul alias Tuyul yang demen begadang malam hari masuk daftar agenda mereka
yang katanya memiliki nalar. Apalagi kritik adalah pantulan dari hasil
pemikiran rasional, ketika memandang setumpuk gejala akibat 'pemberontakan'
terhadap kaidah moral dan dan etika yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang.
Jalan lain, untuk mencari bentuk
yang pas tentang kritik, kita bisa membanding-bandingkan kerangka kritik yang
diberikan para ahli mulai dari Carmen Silva, Shinestone yang sinis sampai
Sthendal Seymor, Isabel Madriaga atau Mortimer Adler yang lebih memandang
kritik sebagai hal positif, meski dengan beberapa persyaratan. Setidak-tidaknya
kritik itu hasil proses berpikir rasional, sambil menekan perasaan emosional.
Semangat Kemanusiaan
Peringatan demi peringatan memang
sering melewati apa yang disebut penindasan. Tetapi, bagi kebanyakan bangsa
baru berkembang yang didera pengalaman kepahitan dijajah bangsa lain, kemudian
ditindas oleh pemimpin mereka sendiri memang sering kehilangan semangat
humanitas (kemanusiaan). Karena itu, kita kerap mendengar atau melihat nilai
kritik sebagai pekerjaan yang dibesar-besarkan. Nilai kemanusiaan yang bisa
diterima oleh pemikiran rasional, begitu gampangnya dipatahkan oleh
peraturan-peraturan atau tugas yang dibuat sama rasionalnya.
Persoalannya, yang jelas
melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan merupakan puncak proses
perjalanan hidup dari anak manusia yang tak pernah selesai dipermainkan atau
diolok-olok oleh nasib. Ia 'mencuri' peraturan dari impian sebuah kota yang tak
mau berdamai dengan sejenis manusia sekelas bawah.
Namun sial. Kota yang sedang tidur
lelap dengan mimpi ketertiban tetap terjaga dan bringas terhadap pelanggaran.
Ia 'kepergok' manusia-manusia 'mesin' yang terprogram oleh peraturan dan tugas,
yang tidak lagi memiliki hati nurani. Dan, itu katanya soal kecil yang tak
perlu dibesar-besarkan, meski mungkin sebenarnya masalah besar sebagai satu
gejala yang perlu direnungkan. Setidaknya banyak memenuhi negeri ini.
Membunuh kreativitas penilaian
pada pokoknya memang bermuara pada dua metoda atau cara. Pertama, ciptakan
kesulitan untuk bisa berbicara mulai dari menciptakan pekerjaan lewat pencat
atau pencari biodata sampai pada mikrofon tanpa 'accu' dan lembaran tanpa
tinta. Kedua, mampu menciptakan diri atau pihak lain seperti dalam suasana bisu
tuli. Semua soal kecil, semua soal biasa tak perlu tanggapan, umpan balik
sebagai bahan renungan, bersama untuk langkah-langkah berikutnya.
Pekerjaan menilai bangsa secara
keseluruhan, akhirnya menjadi semakin susah didapat. Apalagi, apa yang disebut
rasional itu nyata, dan apa yang nyata itu rasional (Hegel) disirnakan oleh
suatu sistem kekuasaan. Menyampaikan kritik memang perlu cara, atau harus
melewati lubang saluran, yang sebenarnya merupakan hambatan-hambatan
komunikasi.
Pada gilirannya, karena sempitnya
lubang saluran yang harus dilewati sering kritik menjadi 'ramping', yang justru
makin mengacaukan karena bobotnya yang hilang. Keterbukaan informasi menjadi
tertutup, karena alasan kepentingan pribadi. Herankah jika timbul prasangka,
kasak-kusuk yang subur dalam masyarakat? Atau, malah menjelma suatu kekuatan
yang mengkhawatirkan, karena sifat kasak-kusuk lebih 'mengasyikkan' untuk
didengar.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar