Selasa, 10 September 2013

Aksara dan Indeks Pembangunan Manusia

Aksara dan Indeks Pembangunan Manusia
Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;    Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 10 September 2013


Setiap tanggal 8 September, masyarakat dunia memperingati Hari Aksara Internasional (HAI). Peringatan hari aksara dimaksudkan agar masyarakat dunia menjadi melek aksara, dan akhirnya melek pengetahuan. Melek aksara kemudian menjadi salah satu hak asasi manusia yang disepakati oleh bangsa-bangsa dunia.

Buta aksara memberikan kontribusi tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Angka buta aksara menyumbang dua pertiga dalam penentuan HDI. Sepertiga ada dalam pendidikan, lainnya ekonomi dan kesehatan (Kemendiknas: 2012).

Data dari Human Development Indeks (HDI) menjelaskan angka buta aksara penduduk Indonesia sebesar 12,1 persen. Artinya, satu dari delapan orang masih buta aksara. Dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Filipina yang rata-rata 7 persen, dan Brunei Darussalam 6 persen, Indonesia masih di atas 10 persen.

Jumlah penduduk buta aksara saat ini diklaim Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tinggal 10.1 juta orang. Angka ini menurun drastis 1.7 juta orang dibanding tahun 2007 yang tercatat 11,8 juta orang. Pada akhir 2009, jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas ditargetkan tinggal 7,7 juta orang (Kemendikbud: 2012).

Kalau data yang dikemukakan Depdikbud itu benar, kita layak apresiasi dengan positif. Walaupun demikian, data tersebut tidak memberikan jaminan kepastian. Itu adalah hasil rekayasa kebijakan pemerintah.

Terbukti, Depdikbud merasa ada banyak kendala yang dihadapi terkait pemberantasan buta aksara, khususnya mereka yang masih dijerat kemiskinan, keterbelakangan, dan jauh dari peradaban, selain minimnya spirit belajar yang menancap dalam diri mereka.

Walaupun demikian, bukan berarti Depdikbud kemudian berpangku tangan tanpa adanya sebuah rekayasa baru yang lebih inovatif dan bisa langsung menyentuh jantung persoalan masyarakat. Kalau galau dan lunglai dengan persoalan aksara, masyarakat Indonesia bisa tertinggal dari kereta peradaban dunia yang melaju begitu cepat, bersamaan dengan kecepatan teknologi dan komunikasi yang menembus lintas batas peradaban manusia.

Melek Peradaban

Laju peradaban dunia memang dimulai dari aksara. Aksara memainkan peran penting penciptaan tata peradaban yang maju dan modern. Untuk mengerti aksara saja, para pencipta peradaban selalu bekerja keras menyusun huruf demi huruf.

Lihatlah bangsa Aida yang bekerja keras menata batu bata peradaban Barat lewat salinan ensiklopedi pengetahuan selama delapan abad lamanya. Bangsa Aida, menurut Taufik Rahzen, menjadi ujung tombak lahirnya peradaban modern yang menelurkan ragam keilmuan yang berkembang pesat hingga sekarang.

Bangsa Aida dengan tekun menyalin pengetahuan yang berasal dari Yunani, Islam, Romawi, India, China, dan berbagai khazanah peradaban agung lainnya. Dengan ketekunan beraksara, ciptaan mereka menjadi agung sampai sekarang.

Lihat pula yang dilakukan Harun al-Rasid dengan proyek perpustakaan baitul hikmahnya. Sang Khalifah mengeluarkan dana sangat besar untuk mendanai berbagai program keilmuan dan kebersaksaraan dalam rangka menjulangkan peradaban Islam hingga tampil dengan gemilang.

Para penyalin pengetahuan yang bergelut di perpustakaan baitul hikmah tersebut, menjalani prosesi agung mentranskrip ragam pengetahuan yang terhampar di dunia. Salinan pengetahuan dengan ketekunan beraksara kemudian menjadikan Islam di Timur Tengah sebagai pemimpin peradaban dunia selama beberapa abad.

Demikian juga yang terkisah dalam pembuatan kamus Oxford English Dictionary. Kamus yang penyusunannya diketuai Prof Murroy tersebut menghabiskan waktu penyusunan 70 tahun. Kamus tersebut disusun dengan ketelitian dunia aksara yang sangat mendalam. Setiap kata yang lahir ditashih dengan penuh khidmat.

Tak salah kalau kamus tersebut kemudian menjadi kamus standar literasi dalam dunia akademik Barat. Kamus ini selalu dipajang dalam meja para peneliti dan pengkaji pengetahuan. Ketelitian dalam beraksara yang dilakukan Prof Murroy adalah pelajaran berharga, bahwa dunia aksara sarat dengan ketekunan dan kedisiplinan.

Dari situlah peradaban lahir dengan tegak dan kokoh. Bagaimana dengan Indonesia? Beraksara belum mendapat tempat yang layak di Bumi Indonesia. A Teeuw (1994) melihat Indonesia masih terombang-ambing antara tradisi kelisanan dan keberaksaraan. Kelisanan masih mendominasi dalam gerak pengetahuan di Indonesia.

Terbukti karya tulis belum mendapatkan tempat standar dan ideal dalam laju keilmuan yang berkembang di Indonesia. Tak salah juga kalau buta aksara masih berderet di Indonesia sepanjang deretan kepulauan yang membujur se-Nusantara.

Tak mendapatkan perhatian yang layak, padahal melek aksara sangat menentukan kualitas bangsa, tidak salah kalau Human Development Index (HDI) Indonesia selalu berada di peringkat rendah, sudah tertinggal dengan negara tetangga Asia Tenggara lainnya.

Dalam konteks ini, peradaban di Indonesia sejatinya sedang menggantung, sedang di persimpangan jalan. Kualitas beraksara masih dalam krisis kalut. Itikad baik pemerintah untuk meminimalisasi angka buta aksara tahun 2009 tinggal 7,7 juta orang harus didukung bersama seluruh elemen bangsa.

Program pemberantasan buta aksara harus segera diselesaikan. Bekerja sama dengan perguruan tinggi dan swasta secara maksimal bisa menjadi langkah strategis dalam menyegerakan bebas buta aksara.

Keputusan anggaran pendidikan 20 persen seharusnya juga menjadi pelecut kebijakan negara dalam mengentaskan program buta aksara bersama berbagai lembaga pendidikan negeri dan swasta. Ingat, hak beraksara sama dengan hak-hak pelayanan kesehatan dalam standar hak asasi manusia.

Peradaban Indonesia harus ditegakkan bersama. Bukan saja oleh kaum terpelajar dan elite kota, melainkan juga oleh masyarakat desa yang berjejer di berbagai pelosok.

Semua bertugas sama dalam menegakkan kaki ke-Indonesia-an. Indonesia yang melek aksara, yang terus berjuang menjaga kedaulatan aksara dalam gerak peradaban yang telah diperjuangkan sejak Indonesia berdiri.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar