|
Perhelatan akbar Miss World terus
melenggang, di tengah hiruk-pikuk pro dan kontra atas pelaksanaannya. Kontes
ratu sejagad tersebut tentu akan menyita perhatian mayoritas penduduk di 160-an
negara seluruh dunia. Terlebih, bagi masyarakat Indonesia sebagai tuan rumah,
suka tidak suka selama beberapa hari ke depan masyarakat kita akan disuguhi
gebyar kontes ratu sejagat yang memenuhi ruang-ruang media di seantero
Nusantara.
Pemerintah mengklaim bahwa satu
sisi positif dari pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai ajang memperkenalkan
Indonesia di kancah dunia. Sedangkan menurut saya, inilah cara instan yang
ditempuh untuk mencuatkan nama Indonesia di kancah internasional. Bukan dengan
menciptakan prestasi, tapi cukup menjadi tuan rumah Miss World saja.
Sementara yang terjadi, Indonesia
tetaplah negara peringkat terbawah di bidang pendidikan, tetap menjadi negeri
nomor tiga terkorup dunia, dan masih juga jarang mencetak prestasi di event-event dunia. Munculnya Indonesia
sebagai tuan rumah dengan kemolekan Pulau Bali-nya seolah mengabarkan kepada
dunia, meskipun negeri ini sedang dirundung banyak permasalahan, namun tetap
cantik di mata dunia.
Perhelatan ini bahkan diadakan
ketika dunia pendidikan kita sedang diterpa berbagai permasalahan, mulai dari
kurikulum baru yang belum juga menunjukkan arah yang jelas, buku-buku ajar yang
berbau kekerasan, pornografi, tawuran pelajar, ditambah lagi kasus yang
memiriskan, yaitu ratusan guru di Indonesia terindikasi melakukan tindak amoral
dengan ditemukannya pemalsuan ijazah yang mereka miliki. Ketika kita miskin
tuntunan dan keteladanan, kehadiran tontonan-tontonan yang menghibur dan
menyenangkan hati akhirnya akan dijadikan tuntunan.
Bahkan ketika remaja kita sedang
resah dengan kehadiran kuesioner yang mempertanyakan ukuran alat vitalnya,
ketika mereka berada pada masa yang paling penting untuk mengembangkan
kepribadian dan fisik yang sehat, televisi-televisi di ruang keluarga mereka
sedang menyiarkan kemolekan dan lekuk tubuh sempurna para finalis Miss World.
Maka, kegamangan akan mempengaruhi kehidupan remaja kita, ketika pada saat
fisik mereka mulai bertumbuh dan keinginan mengembangkan daya tarik mulai
hadir. Sehingga, persepsi remaja terhadap kecantikan akan bermuara pada aspek
lahiriah semata.
Gaya hidup masyarakat kita sudah
terlalu banyak dijejali dengan siaran-siaran televisi yang selama ini telah
mereduksi moral serta minim keteladanan terutama bagi para remaja kita.
Syahputra, 2013 menyebutnya sebagai 'rezim media'. Menurutnya, televisi sebagai
bagian dari rezim media telah menentukan gerbang di mana informasi - budaya,
sosial, ekonomi, politik dan bahkan isu agama, senantiasa mengalir membentuk
lingkungan yang dibaca, dipercaya dan disikapi (diskurtif). Di sinilah akhirnya
tontonan yang disajikan dalam media (termasuk ajang Miss World) akhirnya akan
menjadi tuntunan, masyarakat khususnya kaum remaja akan menerima semua
informasi tersebut sebagai sesuatu yang sah dan tanpa masalah.
Kontes kecantikan apa pun namanya,
kegiatan semacam ini lebih kental dengan glamour dan hedonis. Apa yang
dipertontonkan kepada publik hanyalah gemerlapnya, lenggak-lenggoknya dan
bahkan mereka dilekati dengan berbagai macam produk kosmetik serta fashion yang
diprediksi akan menguasai pasar mode ke depannya. Para wanita akan berkiblat
kepada apa yang mereka kenakan.
Menengok sejarahnya, tujuan awal
kegiatan ini adalah demi kepentingan kapitalis belaka. Eric Morley, perancang
sekaligus koseptor kapitalisme global di London, sejak 1951 telah mengenalkan
Festival Kontes Bikini. Acara ini dilaksanakan untuk memperkenalkan pakaian
renang yang disebut oleh media sebagai ajang Miss World. Akhirnya melalui event
inilah, Miss World menjelma menjadi sebuah bentuk waralaba (franchise). Ada 130 negara telah membeli
waralaba yang akan menghasilkan keuntungan materi yang menggiurkan.
Pelaksanaan Miss World memiliki
konsep 3B, brain (kecerdasan), beauty
(kecantikan) dan behavior
(keperibadian). Namun, kita tahu bahwa mereka lolos memasuki gerbang adu 3B ini
atas dasar pesyaratan huruf B kedua, yaitu beauty
- cantik secara fisik menjadi persyaratan mutlak mengiringi 2B yang lain.
Artinya, ajang ini menjadi tuntunan yang keliru ketika para remaja kita
memaknai kecantikan harus mengikutkan fisik di dalamnya.
Padahal, perempuan dengan kecantikan
yang sesungguhnya adalah mereka yang bisa memberikan energi positif bagi
lingkungan sekitar. Dengan demikian, kriteria perempuan yang cantik bukan lagi
fisik, melainkan perempuan yang memiliki kemampuan dan prestasi tinggi, yang
dapat memberikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri dan orang lain. seperti yang
dikatakan oleh Ainna Amalia. (Baca:
'Kecantikan
dalam Perangkap Kuasa')
Maka, wanita-wanita tangguh,
cerdas, berkepribadian luar biasa dan menginspirasi harus terus dihadirkan
dalam ruang-ruang publik kita. Kolektivitas yang melibatkan media dalam
memberikan role model bagi generasi kita perlu dibangun, bukan semata untuk
kepentingan kapitalisme yang mampu meraup keuntungan dolar maupun rupiah.
Remaja kita harus segera disadarkan dengan keteladanan. Bahwa menjadi cantik
itu harus terdidik. Karena, melalui pendidikan, sebuah peradaban akan dibangun
untuk mengangkat harkat dan martabat diri, keluarga dan juga bangsanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar