Rabu, 11 September 2013

Nasib Tempe di Negeri Tempe

Nasib Tempe di Negeri Tempe
Rosyid Nurul Hakiim  ;    Penerima Beasiswa Chevening 2011-2012 dengan Tesis: Tempe dan Identitas Nasional Indonesia Jurusan Media and Communication, Brunel University, London, Inggris
KORAN SINDO, 11 September 2013


Untuk ke sekian kalinya, nasib pengusaha tempe berada di ujung tanduk. Kebangkrutan. Sejak impor besarbesaran kedelai sebagai bahan baku tempe, kabar kebangkrutan ini seolah menjadi trauma tersendiri bagi para pengusaha tempe. 

Tahun 2008 silam, ratusan bahkan ribuan pengusaha tempe melakukan demonstrasi di depan Istana Negara. Hasil dari aksi tersebut dikeluarkannya skema subsidi kedelai. Langkah ini bagaikan angin segar dari Pemerintah yang berpihak kepada pengusaha tempe. Empat tahun kemudian (tahun 2012), harga kedelai impor kembali mengalami kenaikan. Para pengusaha tempe kembali mengancam menggeruduk Istana. Nasib serupa terulang lagi di tahun ini. Lemahnya nilai rupiah terhadap dolar, tentunya membuat para pengusaha tempe ketarketir. 

Harga dolar beranjak naik, bahkan sempat menembus angka Rp11.000 untuk USD1, berimbas melonjaknya harga kedelai. Miris rasanya berulang kali mengetahui tempe terombang-ambing oleh kondisi ekonomi negara kita. Kebangkrutan para pengusaha tempe tentunya akan mengakibatkan hilangnya produk olahan kedelai di pasaran. Padahal sejak negara ini belum bernama Indonesia, tempe sudah menjadi menu masyarakat sehari-hari, setidaknya di Pulau Jawa. Dalam situasi seperti ini, pemerintah harusnya berani bersikap. Menggunakan skema subsidi untuk membantu menurunkan harga kedelai impor, rasanya menjadi balsam saja.

Terlihat efektif pada mulanya, namun hilang efeknya pada jangka panjang. Kebergantungan Indonesia terhadap impor kedelai harus dikurangi agar gejolak harga tempe tidak terkait dengan kondisi ekonomi. Selain itu, pemerintah harus mulai mengembangkan kemampuan produksi kedelai lokal. Potensinya sudah ada di depan mata, namun perlu keberanian dari pemerintah untuk melakukannya. Mungkin rasanya aneh jika pemerintah harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah tempe ini. 

Akan tetapi perlu diketahui bahwa panganan fermentasi kedelai ini memiliki peranan penting dalam konteks sosial masyarakat Indonesia. Tempe bisa dikatakan sebagai produk asli Indonesia dan secara tidak langsung menjadi salah satu identitas bagi Indonesia. Mengapa tempe harus tetap ada di pasaran? Pertama, tempe sudah ada sejak zaman pemerintahan Sultan Agung, sang penguasa Kerajaan Mataram, hal ini dibuktikan dengan munculnya kata tempe pada Serat Centini. 

Seperti yang diungkapkan dalam buku History of Tempeh yang ditulis oleh William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, tradisi membuat tempe di Indonesia sudah ada sejak abad ke-16 di Pulau Jawa. Jadi tidak mengherankan jika tempe menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Tempe merupakan salah satu bukti kecanggihan bioteknologi yang ditunjukkan oleh orangorang Jawa di masa lalu. Dahulu untuk mendapatkan jamur pengikat tempe, mereka menggunakan punggung daun waru. 

Kedelai-kedelai yang telah dibersihkan dan direbus diletakkan di punggung daun waru untuk beberapa lama hingga kedelai-kedelai tersebut saling terikat. Jamur-jamur pengikat yang serupa kapas tersebut kemudian diambil dan digunakan pada kedelai dengan kuantitas yang lebih banyak. Kedua, tempe menjadi sangat Indonesia karena ragi atau jamur Rizhopus oligosporus hanya bisa aktif mengikat kedelai-kedelai menjadi tempe pada suhu sekitar 30 sampai 31 derajat Celsius. Suhu tersebut adalah suhu normal di Indonesia.

Negara lain seperti Jepang dan China (sering dianggap sebagai tempat asal-muasal tempe) akan sulit untuk mencapai suhu tersebut. Di tempat lain, diperlukan inkubator khusus untuk membuat tempe. Sedangkan di Indonesia, tempe bisa dibuat secara alami. Wajar jika China dan Jepang sering diasumsikan sebagai negara asal tempe, karena di dua negara itulah tradisi pengolahan kedelai sangat kental, seperti tahu, miso, dan kecap. 

Akan tetapi, tempe sebagai sebuah produk adalah asli Indonesia yang berasal dari local wisdom masyarakat Jawa. Ketiga, seperti diungkapkan oleh William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, tempe sudah menarik perhatian dunia sejak Belanda menguasai tanah Nusantara. Ketika itu, peneliti dari Belanda datang ke Indonesia untuk meneliti tentang tempe. Karena pada masa itu banyak orang Indonesia pergi dan menetap di Belanda, dibangunlah pabrik tempe pertama di sana. 

Dari pabrik itulah, tempe kemudian menjadi dikenal di Eropa dengan nama tempeh (mereka menambahkan ‘h’ agar tetap terbaca tempe). Di Inggris sempat dibangun pabrik tempe pada 1970-an, begitu pula di Jerman dan di beberapa wilayah lain. Selanjutnya pada masa kekuasaan Jepang di Indonesia, ketertarikan terhadap tempe justru semakin terbangun. 

Selain Jepang, di Amerika tempe justru mendapatkan tempat di antara makanan sehat yang lain. Keempat, bagi orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, tempe masih menjadi bahan makanan yang dicari. Di London, salah satu warung penjual penganan Indonesia mengaku menjual ratusan tempe setiap minggunya. Hal ini menunjukkan bahwa rasa kangen terhadap tempe akan terus ada. Bagi mereka, tempe bisa menjadi cara untuk mengingat kampung halaman atau mengingat kembali akar tempat mereka berasal. 

Secara tidak sadar, rasa tempe yang khas bisa menjadi penanda identitas bagi masyarakat Indonesia di luar negeri. Memori mereka terhadap tempe justru mampu mempertahankan rasa nasionalisme mereka, meskipun berada ribuan kilometer dari Nusantara. Selain melalui simbol-simbol negara, identitas juga bisa didapatkan dari ingatan dan memori terhadap kampung halaman, terhadap tempat seseorang berasal. Tempe bisa menjadi penanda identitas melalui rasa yang terbentuk di lidah masyarakat Indonesia. 

Mereka boleh saja menetap di belahan dunia yang berbeda dan menikmati hidangan lokal negara setempat, akan tetapi rasa yang sudah terbentuk bertahun-tahun itu akan tetap ada. Jika rasa itu kembali dikenali oleh lidah, hal tersebut akan mampu memunculkan kembali memori tentang tempat dia berasal. Bagi sebagian besar orang yang berada di luar negeri tempe goreng yang sangat sederhana dengan bumbu bawang putih, merica, dan garam justru mampu mengingatkan masa kecil mereka di Indonesia.

Melihat empat fakta tersebut akankah kita rela jika tempe harus hilang dari pasaran karena harga kedelai yang selangit? Sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk kembali melihat produksi kedelai lokal. Sejarah sudah membuktikan bahwa kita mampu membuat tempe dengan kedelai lokal yang dikembangkan oleh masyarakat. 

Selain upaya dari pemerintah, sebagai konsumen harus mulai mengapresiasi dan membeli tempe berasal dari kedelai lokal agar industri ini dapat berkembang dan mandiri. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar