Rabu, 11 September 2013

Kedaulatan

Kedaulatan
Dinna Wisnu  ;    Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 11 September 2013


Apa makna kedaulatan dalam konteks kekinian? Dulu kita bicara soal kedaulatan karena negara dianggap punya wewenang sekaligus tanggung jawab atas kehidupan penduduk dan segala hal yang terjadi di wilayah negara tersebut. 

Kita bicara kedaulatan karena diyakini bahwa tiap negeri punya jalan hidup yang justru akan runyam jika diintervensi pihak-pihak asing. Dalam perjuangan Indonesia mendapatkan pengakuan atas kedaulatan wilayahnya, kita mendesak bahwa tatanan negeri ini adalah ranah kebijakan anak bangsa, hasil dari kerja bersama sebagai bangsa, dan bangsa lain perlu memandang segala sesuatu di Indonesia dengan utuh sebagai satu bangsa. Kejadian sepanjang tiga minggu terakhir di dunia internasional mempertanyakan satu aspek dari pengakuan kedaulatan dari negara lain. 

Yakni apakah pemerintah negara lain hanya bisa diam saja bila suatu negara lain dianggap gagal menjamin rasa keadilan dan kemanusiaan bagi penduduknya? Jika Dewan Keamanan (DK) PBB tidak bisa mengambil keputusan, apa yang bisa dilakukan? AS mendesak kita untuk menjawab pertanyaan di atas. Dalam dua minggu terakhir para diplomat kita“dikejar-kejar” oleh diplomat-diplomat dari AS yang meminta kesediaan Indonesia mendukung rencana penyerangan ke Suriah. Inti dari permintaan mereka adalah tak mungkin Indonesia rela melihat kekejaman kemanusiaan yang menggunakan senjata kimia. 

Apalagi Indonesia pernah menyatakan pelaku kekejaman macam itu harus bertanggung jawab atas perilakunya. Kebetulan waktu itu menjelang Konferensi G-20 di St Petersburg, Rusia, dan AS berkepentingan menggalang dukungan di sana karena gagal mendapatkan dukungan dari DK PBB. Pada akhirnya cuma Arab Saudi, Turki, dan Prancis yang betulbetul all out menjadi koalisi AS dalam menyerang Suriah. 

Kabarnya ada 9 negara anggota G-20 yang menyetujui penandatanganan pernyataan bersama untuk meminta respons internasional yang keras walaupun lagi-lagi tidak jelas wujud respons tersebut seperti apa selain bahwa cara militer sama sekali bukan preferensi mereka. Ini menunjukkan bahwa dunia secara umum belum punya solusi menghadapi kasus serupa Suriah walaupun kita tahu bahwa ini bukan kali pertama ada kejadian macam ini. Irak, Libya, dan Afghanistan adalah contoh terdahulu. 

Satu hal yang jelas terangkat dalam kejadian selama 1 dekade ini adalah bahwa kedaulatan bukan semata urusan menentukan patok batas wilayah perbatasan atau penjagaan wilayah perbatasan dengan kekuatan militer penuh, tetapi juga menyangkut kekuatan diplomasi dan kelihaian dalam membangun hubungan dengan kekuatan politik global. Yang runyam dalam kasus-kasus invasi belakangan ini adalah karena para diplomat negara-negara yang menjadi “sasaran tembak” kalah suara dan taktik terhadap negaranegara besar, hilang pengaruh di kawasan, dan pemimpin di negaranya reaktif menggunakan cara-cara kekerasan atas alasan self-defense (bela diri). 

DKPBBtidakbisadiandalkan untuk membela kedaulatan suatu negara karena basis kegiatan mereka adalah memadamkan masalah bila sampai terjadi intervensi militer dari suatu negara ke negara lain atau dalam menjaga kesepakatan perdamaian yang sudah terwujud sebagai hasil negosiasi antarkelompok yang bertikai. Jadi dalam kasus bahwa inisitatif intervensi militer datang dari negara sekelas AS atau negara-negara anggota tetap DK PBB lainnya (Prancis, China, Rusia, dan Inggris), tangan DK PBB pun terkunci. 

Sudah pernah ada upaya reformasi aturan main di DK PBB ini, tetapi terus saja menghadapi jalan buntu. Memang disayangkan bahwa Sekjen PBB ataupun Majelis Umum PBB sampai saat ini belum punya terobosan apa pun menyangkut problem internal negara atas pelanggaran prinsip kemanusiaan yang dilakukan rezim berkuasa dan dalam kondisi internal yang terpecah- belah. Dalam kasus Suriah, jelas terlihat bahwa Arab Saudi dan Turki konsisten sebagai pihak yang gigih ingin menggulingkan rezim Bashar al-Assad, dengan cara apa pun. 

Di sini kita saksikan Arab Saudi dan Turki bahkan menggunakan strategi counter intelligence dengan menanamkan kelompok-kelompok pendukung agenda Arab Saudi dan Turki di dalam tubuh Suriah. Tidak ada rasa tabu di antara negara kawasan ini untuk melakukan pengeroposan dari dalam macam itu. Ini ancaman kedaulatan yang paling riil dan sesungguhnya harus bisa terbaca dari jauh hari. Dalam konteks Indonesia, kita pun harus waspada terhadap model pengeroposan kedaulatan macam tadi. 

Pasalnya, dalam hubungan internasional ada teori mengenai tananan dunia internasional yang patut menjadi perhatian, yakni bahwa perdamaian bukanlah satu konsep yang sifatnya satu dimensi dan tidak bisa hanya diartikan sebagai ketiadaan konflik (Johann Galtung 1967). Bagi sejumlah negara dunia, perdamaian sifatnya terbatas, yakni bagi dirinya dan sekutu-sekutunya saja. 

Perdamaian bagi negara macam itu hanya akan tercapai jika negara-negara yang dianggap ancaman mengalami kekacauan yang cukup besar. Indonesia adalah negara yang sedang meniti reputasi yang lebih baik di tataran internasional. Walhasil terpaan angin pun akan semakin kuat. Bahwa kita “dikejar-kejar” AS untuk mendukung agendanya adalah contoh ujian yang kita hadapi dan di belakang layar bukan cuma AS yang menekan kita, tetapi juga para sekutunya. Di sini kita perlu jeli membaca peta aliansi di tingkat global dan mengunci kemungkinan pengeroposan dari dalam. 

Seperti juga terjadi di negara-negara lain, pengeroposan kedaulatan biasanya dimulai karena munculnya gerakan-gerakan yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap model tata kelola pemerintahan tertentu. Godaan tersebut besar dalam konteks demokrasi, apalagi jika pengelolaan ekonomi kita gagal menjembatani kebutuhan si kaya dan si miskin. 

Jauh lebih mudahbagi orang yang putus asa untuk tergoda dengan cara “main hakim sendiri” yang diputuskan tanpa perlu kompromi, tanpa dialog, tanpa kerja sama dengan pihak-pihak yang berseberangan pendapat. Jika cara-cara yang disuarakan keluar dari konstitusi, menghalalkan kekerasan dan mengizinkan perusakan tenun kebangsaan yang selama ini menjaga harmoni di tataran individu masyarakat, serta mendesak keluarnya aturan-aturan yang justru menimbulkan rasa was-was dan tidak aman, maka itu pertanda hadirnya bibit pengeroposan kedaulatan di dalam negeri. 

Jika bibit itu terbaca oleh pihak asing dan buruknya lagi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab di dalam negeri untuk menggalang dana dari negara lain, tak ada artinya segala upaya kita memperkuat militer atau mengedepankan diplomasi. Kita harus ingat ada pihak-pihak yang mengartikan perdamaian dalam arti terbatas tadi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar