|
“Anak-anak berkelana
bersama generasi sezamannya dan kebersamaan dalam keluarga jadi barang langka”
GENERASI C memang unggul perkara melek teknologi namun
banyak yang belum menyadari mereka mengalami kegagapan berinteraksi sosial
dalam dunia nyata. Inilah celah yang mesti mendapat perhatian. Generasi C dapat
bermakna connected dengan dunia cyber
(Kasali, 2011: 30).
Generasi tersebut tidak dibatasi oleh umur, tetapi dibentuk
oleh teknologi digital. Dalam istilah yang lebih gampang kita bisa
mendefinisikan generasi yang selalu terhubung dengan dunia maya. Kasali
menambahkan bahwa hal yang kemudian muncul adalah perilaku ’’asri’’ alias asyik
sibuk sendiri. Saya lebih suka menyebut dengan perilaku sangat individual.
Tulisan ini menyorot generasi C dan memberi alternatif mengatasi kegagapan
interaksi sosial yang mereka hadapi.
Dalam seminar internasional dengan jumlah peserta lebih
dari 100, di atas podium pembicara kunci sedang menyampaikan makalah. Tentu ada
moderator dan notulis, peserta pun tampak sibuk. Jika kia mencermati, peserta
tak bisa lepas dari laptop, ponsel, atau tablet. Khusus ponsel dan tablet
karena mudah dijinjing, sesekali diletakkan di meja, lalu pindah ke kantong.
Mereka mengutak-atik sesuatu. Mungkin mengecek panggilan
yang masuk, email, SMS, atau pesan-pesan grup yang diikuti baik itu di Line,
WhatsApp, WeChat, KakaoTalk, BBM, maupun yang lain. Kejadian tersebut saya kira
hanya dalam sebuah pertemuan besar. Tapi dalam rapat dengan jumlah
peserta sekitar 10-20-an hubungan antara manusia dan perangkat komunikasi tidak
bisa dipisahkan.
Semua kelihatan memperhatikan ketua yang sedang memberikan
arahan dan petunjuk. Ternyata, kita juga tidak bisa menolak ketika tangan dan
pikiran menghendaki untuk menjenguk ponsel atau tablet. Baik secara
terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Dalam lingkup lebih kecil, semisal pertemuan dalam
keluarga, perilaku demikian juga muncul. Masing-masing anggota keluarga
memegang perangkat itu. Perilaku untuk asyik sendiri pun muncul. Bukan hanya
ketika berkumpul dalam satu keluarga melainkan ketika tidur yang dipeluk bukan
hanya bantal atau guling, tetapi juga ponsel atau tablet.
Ponsel atau tablet atau laptop cenderung memiliki sifat
memecah kebersamaan sosial. Jika kita sebagai generasi sebelumnya merupakan
generasi yang gagap dalam teknologi, generasi C justru gagap berinteraksi
sosial. Pengertian interaksi sosial adalah secara nyata bukan dalam dunia maya.
Di sinilah peran orang tua dan guru dapat mengatasi kegagapan generasi
tersebut.
Sekolah adalah tempat berinteraksi sosial secara fisik dan
nyata. Tempat generasi C mengembangkan segala kemampuan, baik akademik
maupun nonakademik. Keandalan chating yang dimiliki generasi C mesti
ditingkatkan menjadi kemampuan menulis. Menulis adalah kemampuan menyampaikan
ide secara tertulis dengan runtut dalam bahasa yang dapat dimengerti pembaca
umum.
Menyediakan Waktu
Sudah menjadi rahasia umum, kemampuan menulis siswa dan
mahasiswa kita masih kurang. Skripsi, tesis, atau disertasi menjadi hambatan
besar dan sering menjadi penyebab keberlarut-larutan studi kita. Para pengajar
pun jarang yang piawai menulis. Hal ini dapat dilihat dari karya yang pernah
ditulis, dibukukan, atau dimuat di media.
Orang tua perlu menyediakan waktu untuk selalu berinteraksi
dengan keluarga. Mengobrol bersama, memancing dalam canda tawa, memberikan
kesempatan anak-anak untuk berkomunikasi langsung adalah kesempatan berharga.
Seyogianya orang tua tidak membiarkan anak-anak terlalu asyik dengan perangkat
teknologi sehingga melalaikan situasi sosial di sekelilingnya.
Di rumah, bisa dihadirkan kembali televisi keluarga. Pada
1980-an, radio menjadi pengikat satu keluarga. Satu keluarga mendengarkan
bersama sandiwara radio atau pembacaan cerita berbahasa Indonesia ataupun
berbahasa daerah. Saya masih mengalami era itu, bagaimana menantikan sebuah
acara tertentu bersama keluarga.
Ketika televisi datang, sifat mengumpul masih terjadi.
Seluruh anggota keluarga menyaksikan bersama sandiwara keluarga Marlia Hardi,
atau cerita boneka Si Unyil. Sampai di sini, radio dan televisi masih dapat mempersatukan
anggota keluarga. Sekarang ini satu kelarga memiliki lebih dari satu televisi.
Bahkan satu televisi untuk masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu,
sebaiknya sebuah televisi untuk satu keluarga.
Alternatif berikutnya adalah kembali menghidupkan tradisi
belajar bersama. Televisi sengaja dimatikan pada jam-jam tertentu. Orang tua
menemani anak yang sedang belajar. Sementara anak-anak menyelesaikan pekerjaan
rumah atau tugas sekolah, orang tua menjadi mitra yang memperhatikan keperluan
sang anak.
Tradisi belajar bersama kini malah pudar, bahkan
menghilang. Orang tua terlalu sibuk meningkatkan taraf ekonomi. Anak-anak
berkelana bersama generasi sezamannya dan kebersamaan dalam keluarga menjadi
barang langka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar