Jumat, 06 September 2013

Mengantisipasi Kehadiran Generasi C

Mengantisipasi Kehadiran Generasi C
Harjito  ;   Dosen IKIP PGRI Semarang
SUARA MERDEKA, 05 September 2013


Anak-anak berkelana bersama generasi sezamannya dan kebersamaan dalam keluarga jadi barang langka

GENERASI C memang unggul perkara melek teknologi namun banyak yang belum menyadari mereka mengalami kegagapan berinteraksi sosial dalam dunia nyata. Inilah celah yang mesti mendapat perhatian. Generasi C dapat bermakna connected dengan dunia cyber (Kasali, 2011: 30).

Generasi tersebut tidak dibatasi oleh umur, tetapi dibentuk oleh teknologi digital. Dalam istilah yang lebih gampang kita bisa mendefinisikan generasi yang selalu terhubung dengan dunia maya. Kasali menambahkan bahwa hal yang kemudian muncul adalah perilaku ’’asri’’ alias asyik sibuk sendiri. Saya lebih suka menyebut dengan perilaku sangat individual. Tulisan ini menyorot generasi C dan memberi alternatif mengatasi kegagapan interaksi sosial yang mereka hadapi.

Dalam seminar internasional dengan jumlah peserta lebih dari 100, di atas podium pembicara kunci sedang menyampaikan makalah. Tentu ada moderator dan notulis, peserta pun tampak sibuk. Jika kia mencermati, peserta tak bisa lepas dari laptop, ponsel, atau tablet. Khusus ponsel dan tablet karena mudah dijinjing, sesekali diletakkan di meja, lalu pindah ke kantong.

Mereka mengutak-atik sesuatu. Mungkin mengecek panggilan yang masuk, email, SMS, atau pesan-pesan grup yang diikuti baik itu di Line, WhatsApp, WeChat, KakaoTalk, BBM, maupun yang lain. Kejadian tersebut saya kira hanya dalam sebuah pertemuan besar. Tapi dalam  rapat dengan jumlah peserta sekitar 10-20-an hubungan antara manusia dan perangkat komunikasi tidak bisa dipisahkan.

Semua kelihatan memperhatikan ketua yang sedang memberikan arahan dan petunjuk. Ternyata, kita juga tidak bisa menolak ketika tangan dan pikiran menghendaki untuk menjenguk ponsel atau tablet. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Dalam lingkup lebih kecil, semisal pertemuan dalam keluarga, perilaku demikian juga muncul. Masing-masing anggota keluarga memegang perangkat itu. Perilaku untuk asyik sendiri pun muncul. Bukan hanya ketika berkumpul dalam satu keluarga melainkan ketika tidur yang dipeluk bukan hanya bantal atau guling, tetapi juga ponsel atau tablet.

Ponsel atau tablet atau laptop cenderung memiliki sifat memecah kebersamaan sosial. Jika kita sebagai generasi sebelumnya merupakan generasi yang gagap dalam teknologi, generasi C justru gagap berinteraksi sosial. Pengertian interaksi sosial adalah secara nyata bukan dalam dunia maya. Di sinilah peran orang tua dan guru dapat mengatasi kegagapan generasi tersebut.

Sekolah adalah tempat berinteraksi sosial secara fisik dan nyata. Tempat generasi C mengembangkan segala kemampuan, baik akademik maupun  nonakademik. Keandalan chating yang dimiliki generasi C mesti ditingkatkan menjadi kemampuan menulis. Menulis adalah kemampuan menyampaikan ide secara tertulis dengan runtut dalam bahasa yang dapat dimengerti pembaca umum.

Menyediakan Waktu

Sudah menjadi rahasia umum, kemampuan menulis siswa dan mahasiswa kita masih kurang. Skripsi, tesis, atau disertasi menjadi hambatan besar dan sering menjadi penyebab keberlarut-larutan studi kita. Para pengajar pun jarang yang piawai menulis. Hal ini dapat dilihat dari karya yang pernah ditulis, dibukukan, atau dimuat di media.

Orang tua perlu menyediakan waktu untuk selalu berinteraksi dengan keluarga. Mengobrol bersama, memancing dalam canda tawa, memberikan kesempatan anak-anak untuk berkomunikasi langsung adalah kesempatan berharga. Seyogianya orang tua tidak membiarkan anak-anak terlalu asyik dengan perangkat teknologi sehingga melalaikan situasi sosial di sekelilingnya.

Di rumah, bisa dihadirkan kembali televisi keluarga. Pada 1980-an, radio menjadi pengikat satu keluarga. Satu keluarga mendengarkan bersama sandiwara radio atau pembacaan cerita berbahasa Indonesia ataupun berbahasa daerah. Saya masih mengalami era itu, bagaimana menantikan sebuah acara tertentu bersama keluarga.

Ketika televisi datang, sifat mengumpul masih terjadi. Seluruh anggota keluarga menyaksikan bersama sandiwara keluarga Marlia Hardi, atau cerita boneka Si Unyil. Sampai di sini, radio dan televisi masih dapat mem­persatukan anggota keluarga. Sekarang ini satu kelarga memiliki lebih dari satu televisi. Bahkan satu te­le­visi untuk masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu, sebaiknya sebuah televisi untuk satu keluarga.

Alternatif berikutnya adalah kembali menghidupkan tradisi belajar bersama. Televisi sengaja dimatikan pada jam-jam tertentu. Orang tua menemani anak yang sedang belajar. Sementara anak-anak menyelesaikan pekerjaan rumah atau tugas sekolah, orang tua menjadi mitra yang memperhatikan keperluan sang anak.


Tradisi belajar bersama kini malah pudar, bahkan menghilang. Orang tua terlalu sibuk meningkatkan taraf ekonomi. Anak-anak berkelana bersama generasi sezamannya dan kebersamaan dalam keluarga menjadi barang langka. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar