Jumat, 06 September 2013

Utang dan Keserakahan

Utang dan Keserakahan
Rokhmin Dahuri  ;   Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
SUARA KARYA, 05 September 2013


Beban utang yang menyandera APBN menyebabkan negara kehilangan kemampuan mendanai dan membiayai sektor publik untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Dengan mengacu pada APBN 2013, utang pemerintah tercatat Rp 2.160 triliun dengan komposisi terdiri atas utang luar negeri, utang dalam negeri, dan surat berharga negara.

Memang, Indonesia sudah terseret "lumpur utang": makin bangkit dan berusaha keluar dari utang, makin dalam utangnya. Seperti orang yang tercebur aliran lumpur di sebuah rawa, makin berusaha melepaskan diri dari jebakan lumpur, maka makin dalam lumpur itu menenggelamkannya.

Patricia Adams mengistilahkan dua kategori utang, yakni "utang najis" (odious debt) dan utang kriminal. Indonesia terjebak dalam kedua jenis utang itu. Utang luar negeri--baik melalui skema Bank Dunia, antarpemerintah, maupun skema lain--telah menjadi utang najis karena uangnya dihambur-hamburkan untuk pembiayaan berbagai program pemerintah yang boros dan penuh penyelewengan. Termasuk, untuk "menggelembungkan" birokrasi dan memberikan fasilitas berlebih kepada pejabat negara, elite politik, dan pengusaha kroni.

Sedangkan utang kriminal bisa meliputi pula utang dalam negeri. Utang kriminal semacam itu bisa terlihat dari kasus dana rekapitulasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berjumlah sekitar Rp 14.000 triliun.

BLBI adalah skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas ketika Indonesia diterpa krisis moneter tahun 1998. Skema itu dilakukan berdasarkan perjanjian antara Indonesia dan IMF untuk mengatasi krisis. Indonesia saat itu mengalami krisis akibat terkotori utang najis. Selanjutnya utang najis itu berubah menjadi utang kriminal yang jumlahnya amat sangat besar: Rp 14.000 triliun.

Celakanya, bank-bank yang mendapat bantuan likuiditas, sebagian besar mengemplang atau merekayasa utang-utangnya sedemikian rupa sehingga seolah-olah lunas. Tragisnya, pemerintah pun tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi utang kriminal tersebut.

Padahal, akibat utang kriminal BLBI, setiap tahun pajak rakyat dipakai untuk mencicil utang BLBI sebesar Rp 60 triliun - Rp 80 triliun. Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyebutkan, tidak ada kepastian sampai kapan rakyat harus menanggung beban utang sebesar itu. Tak ada angka pasti berapa yang harus dibayarkan untuk BLBI. Bahkan terlihat tidak ada niat baik dari pemerintah untuk menuntaskan BLBI sampai ke akarnya, yakni pelunasan utang dan penuntasan hukum terkait penyalahgunaaan BLBI. Para konglomerat pun makin sukses melebarkan sayap bisnis hasil dari modal BLBI.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah mau berutang sedemikian besar untuk hal-hal yang tidak urgen? Jawabnya, keserakahan. Keserakahan menyebabkan manusia tidak mampu melihat dirinya sendiri. Akibatnya, manusia akan terjerat dan jatuh akibat keserakahannya. Semua nabi dan orang suci telah mengingatkan, jangan membiarkan keserakahan menyelimuti diri kita. Karena, keserakahan akan membunuh diri kita sendiri. Untuk itulah, pemerintah harus mencoba bangun dan berdiri pada kaki sendiri. Meminjam nasihat Bung Karno, kita bangsa Indonesia harus mampu berdiri sendiri.


Adalah sebuah pembelajaran manusia untuk menghindari keserakahan. Kita juga perlu belajar hidup sederhana, menahan nafsu, menahan lapar, dan menahan amarah untuk mencegah munculnya keserakahan. Ini penting agar problem-problem yang bisa menghancurkan negara--baik ekonomi, politik, sosial maupun lingkungan hidup--bisa teratasi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar