Senin, 16 September 2013

Memutuskan Hubungan secara Lebih Sehat

Memutuskan Hubungan secara Lebih Sehat
Agustine Dwiputri  ;   Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Kompas
KOMPAS, 15 September 2013


Selama 8 tahun perkawinan saya, tak pernah sekalipun suami memberi nafkah untuk kehidupan berkeluarga kami. Banyak lagi kelakuannya yang sangat tidak pantas dan kurang menyenangkan untuk dibahas di sini, yang membuat saya sering menangis karena sakit hati dan marah. Memang, saya akui dahulu saya yakin bahwa saya cinta padanya dan dapat membantu mengubah sifat-sifatnya yang buruk jika menikah dengannya. Ternyata saya salah.
Saya pun telah berdosa karena tidak mendengarkan nasihat orangtua yang tidak merestui hubungan kami ketika itu. Pendek kata, saat ini saya sudah berniat untuk mengakhiri saja hubungan perkawinan ini. Banyak pertimbangan yang telah saya pikirkan untuk itu, dan saya pikir saya akan terus makan hati, stres, dan tidak sehat jika melanjutkan hubungan ini.
Satu keberuntungan atau malah kekurangan, saya tidak tahu, adalah kami tidak punya anak selama perkawinan kami. Yang masih menjadi pikiran saya adalah bagaimana supaya setelah putus, kami dapat hidup ”lebih baik” sebagai pribadi. Mohon pandangan dari Ibu. Terima kasih. (H, 33 tahun)
————————————————————
Sdri H yang sedang gundah, pastinya selama 8 tahun Anda sudah memikirkan baik buruknya, dan juga telah meminta pertimbangan pihak lain yang Anda percayai bisa membantu. Nah, untuk melangkah kepada pengakhiran hubungan, coba renungkan situasi yang menurut John Gray (1984), seorang pakar di bidang peningkatan komunikasi dan hubungan antarmanusia, acap kali dilakukan orang banyak ini.
Jika kita ingin meninggalkan seseorang, khususnya dalam hubungan cinta, kita mulai dengan mengumpulkan berbagai bukti untuk membenarkan keputusan. Kita mulai menyusun daftar tentang semua perilaku buruk pasangan kita, dan kemudian suatu hari kita mengatakan padanya: ”Inilah bukti-buktinya bahwa kamu jahat. Saya telah diperlakukan dengan buruk dan karenanya saya punya alasan untuk pergi. Saya sudah tidak mencintaimu lagi.”
Nah, apabila demikian adanya, akan sulit bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa setelah perpisahan berlangsung. Berikut beberapa kiat yang bisa kita coba agar langkah kita lebih bijaksana dan hidup kita kemudian lebih berkualitas.
Lepaskan emosi negatif
Menurut John Gray (1984), sebelum mengakhiri suatu hubungan adalah penting untuk menyelesaikan penumpukan berbagai emosi negatif terhadap pasangan Anda serta untuk merasakan cinta dan rasa syukur kembali mengenai kehidupan. Ketika cinta dalam suatu hubungan ditekan karena tidak adanya komunikasi lanjutan, Anda sering terikat pada perasaan berkurangnya rasa cinta pada pasangan Anda.
Padahal, sebenarnya Anda tidak harus berhenti mencintai pasangan Anda ketika meninggalkan dia. Jika Anda jujur pada diri sendiri dan telah menyelesaikan kemarahan atau dendam Anda terhadap pasangan, Anda akan dapat tetap merasa cinta padanya.
Dengan demikian, jika Anda berpikir untuk meninggalkan pasangan Anda, cobalah mulai dengan memberinya peringatan terlebih dahulu. Tawarkan kesempatan padanya untuk berfokus pada relasinya dengan Anda. Beritahu pasangan Anda apa yang Anda inginkan dan apa yang tidak Anda peroleh selama ini, kemudian beri dia suatu patokan atau cara untuk mencapainya.
Cobalah saling bekerja sama untuk mengekspresikan dan melepaskan berbagai perasaan mengenai kemarahan, sakit hati, rasa takut, dan rasa bersalah yang telah tertekan selama ini. Dengan menyampaikan kebenaran yang lengkap tentang emosi-emosi Anda, Anda bisa mendapatkan kembali rasa cinta Anda.
Hal ini tidak berarti bahwa Anda harus tetap tinggal bersamanya; hanya jika Anda masih ingin pergi, Anda dapat meninggalkan dia dalam rasa persahabatan dan tidak dalam rasa permusuhan. Dengan kata lain, Anda telah mengambil keputusan dengan ”kepala dingin”.
Berpisah dengan damai
John Gray menambahkan bahwa Anda masih bisa mencintai seseorang dan mengatakan ”tidak lagi bersama” hanya karena jauh di dalam hati Anda, Anda tahu dia tidak tepat untuk Anda. Bahkan bisa saja Anda mungkin akan terkejut menemukan bahwa setelah Anda menyelesaikan beberapa perasaan negatif Anda, Anda mulai merasakan adanya harapan lagi, dan muncul suatu keinginan baru untuk mencoba memulai hubungan kembali. Mayoritas pasangan yang putus masih tetap memiliki potensi besar untuk mendapatkan sebuah hubungan yang sukses, tapi rasa cinta dengan kemarahan dan rasa sakit hati yang terpendam selama bertahun-tahun perlu dibantu untuk disembuhkan.
Oleh karena itu, perlu diingat bahwa meninggalkan pasangan saat Anda masih memiliki perasaan sakit hati dan kemarahan yang belum terselesaikan bisa menjadi berbahaya bagi perkembangan pribadi Anda (kecuali pasangan Anda memang benar-benar mengerikan). Pada umumnya, yang terjadi adalah Anda akan membawa semua perasaan negatif tersebut ke dalam hubungan Anda berikutnya. Begitu hal tersebut mulai memengaruhi hubungan baru Anda , maka secara sangat cepat Anda akan menemukan diri Anda berada dalam kekacauan yang sama dengan ketika Anda meninggalkan pasangan sebelumnya.
Hal semacam inilah yang acap kali menyebabkan kondisi perkawinan kedua tidak lebih baik dari perkawinan pertama. Ketika Anda meninggalkan pasangan tanpa menyelesaikan perasaan Anda, Anda membawa perasaan ini ke dalam hubungan Anda berikutnya.
Semua pengalaman gagal menjalin relasi dengan pasangan tetap memberi peluang besar bagi kita untuk melakukan perbaikan diri. Sangat penting untuk belajar dari kesalahan masa lalu dalam rangka untuk mencegah hal tersebut terulang lagi. Daripada hanya menyalahkan pasangan Anda saja sebelumnya, mari kita melihat apa yang Anda berdua telah salah lakukan dalam relasi sehingga Anda dapat menghindari pengulangan kesalahan yang sama dalam hubungan Anda berikutnya.
Semoga membantu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar