|
Ketika saya
kecil, lebih dari lima puluh tahun yang lalu, layaknya anak orang borju
generasi itu, saya mempunyai suatu ”nounou”,
seorang pengasuh. Pengasuh yang berkeriput itu adalah seorang janda, seorang
wanita petani, yang terbelit kemiskinan, dan senantiasa mencari nafkah serta
makna hidup dengan mengasuh, dan juga akhirnya mencintai anak-anak kaum borju
seperti saya.
Jadi ketika ibu
saya berpameran entah di mana dan ayah sibuk entah apa, dialah yang, ketika
saya sedih entah kenapa, saya selalu datangi untuk dipeluknya erat-erat.
”Anakku,” katanya halus ketika itu. Dialah pula yang beberapa bulan lalu saya
datangi makamnya, yang tak bernama nan ketutup rumput, untuk menangis sambil
terisak-isak. Saya kini—mungkin terlambat— menyadari dia telah menjadi ”ibu”
saya tanpa pernah berhak atas panggilan yang luhur itu. Ya, dia yang kala itu
saya panggil ”Bao” dan kini saya sebut sebagai ”Ibu”, di mata orang tiada lain
hanyalah seorang pembantu.
Jadi, Bao,
pengasuh yang ”nista” itu, bagi saya kini melambangkan cinta kasih, dan saya
masih mencintainya. Dia juga melambangkan kesadaran atas tiada artinya ”jarak
sosial” antara Tuan dan Pembantu. Dia membentuk kemanusiaan saya.
Namun mengenang
Bao sekarang ini, saya juga mengingat bahwa Bao juga mampu membenci. Siapa yang
dibenci wanita luhur itu? Oh, bukan orang dekatnya, bukan pula ayah dan ibu
saya, yang dianggap juragan tak terjangkaunya, tetapi mereka yang dia sebut
”les Boches”, julukan orang Jerman yang nista itu. Bangsa yang waktu itu
merupakan musuh bebuyutan bangsa kami.
Bao memang
bukan membenci tanpa alasan pribadi. Sebelum menjadi pengasuh kami, dia selama
dua puluh lima tahun telah merawat suaminya yang sakit. Sakit apa? Sakit
paru-paru yang diakibatkan gas sarin, seperti di Suriah baru-baru ini. Ya,
suami Bao pernah berada di antara ratusan ribu tentara Perancis yang dibom
dengan gas pada waktu Perang Dunia II. Ketika, atas perintah ”serbu”, para
serdadu Perancis keluar dari parit perlindungan. Mereka hendak menembak atau
membayonet musuh Jerman yang menanti mereka dua ratus meter jauhnya, kerap kali
serbuan itu, berikut teriakannya, tiba-tiba disunyikan oleh kabut yang
mematikan. Kesunyian gas. Horor atas horor dari perang. Maka tentara Perancis
pun berbalas, dan pada gilirannya menciptakan pula kesunyian horor di antara
parit-parit Jerman. Akibatnya, ratusan ribu manusia tewas atas nama
nasionalisme yang salah kaprah.
Bao lain
Usai perang,
karena banyak Bao-Bao yang lain, berikut teman dan keturunannya, terdengar
seruan di negara Perancis, Jerman, dan Amerika: ”jangan sampai terjadi lagi”.
Maka penggunaan gas dinyatakan haram di medan perang oleh konvensi Geneva tahun
1925. Kenangan pribadi para korban horor di atas horor sejarah Barat telah
menjadi dasar ketentuan hukum perang dan bahkan patokan moralitas politik yang
konon ”internasional”.
Namun itulah
justru masalahnya: menjadikan pengalaman horor dari suatu bangsa ataupun suatu
perkumpulan bangsa sebagai tolok ukur nilai-nilai ”universal”. Kini, Amerika
dan Perancis hendak menghukum Bashar al-Assad oleh karena si Bashar dengan
menggunakan gas untuk membunuh musuhnya telah menghidupkan kembali kenangan
horor pribadi dan kolektif bagi bangsa Perancis dan Amerika.
Tetapi di dalam
konstruksi ”universalisme” Barat itu di manakah para korban Hiroshima dan Nagasaki,
di manakah para pengungsi dari Nakba Palestina, di manakah para korban impian
buruk komunis China dan Kamboja, di mana gerangan para korban represi
antikomunis di Cile dan Indonesia, di mana pula para korban ”Agent Orange”
Vietnam, dan akhirnya di mana mereka semua itu dan yang lainnya? Apakah promosi
nilai-nilai luhur cukup untuk melahirkan kesadaran atau kebalikannya?
Ya! Kau Obama,
dan kau, Hollande, nilai-nilai kau yang konon luhur itu terlalu menggurui bagi
kami. Terlalu sering disusul bom yang dijatuhkan entah kenapa. Maka berhentilah
berbicara tentang nilai-nilai kau, yang kau yakini dan dirangkul berdasarkan
pengalaman kau saja. Dan bukalah hatimu pada apa yang telah menimpa ”yang lain”
yang tak kau kenal itu. Jangan gegabah untuk maju perang.
Bao yang baik
pun tidak lagi membenci orang Jerman setelah dia ”tahu”, yaitu setelah dia
mengenal janda-janda Jerman yang senasib dengannya. Hati lebih efisien daripada
nilai-nilai luhur ”universal”, apakah religius ataupun sekuler, yang keduanya
cenderung berat sebelah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar