Senin, 16 September 2013

Bao, Gas Sarin, dan Idealisme

Bao, Gas Sarin, dan Idealisme
Jean Couteau  ;   Kolumnis “Udar Rasa”Kompas
KOMPAS, 15 September 2013


Ketika saya kecil, lebih dari lima puluh tahun yang lalu, layaknya anak orang borju generasi itu, saya mempunyai suatu ”nounou”, seorang pengasuh. Pengasuh yang berkeriput itu adalah seorang janda, seorang wanita petani, yang terbelit kemiskinan, dan senantiasa mencari nafkah serta makna hidup dengan mengasuh, dan juga akhirnya mencintai anak-anak kaum borju seperti saya.
Jadi ketika ibu saya berpameran entah di mana dan ayah sibuk entah apa, dialah yang, ketika saya sedih entah kenapa, saya selalu datangi untuk dipeluknya erat-erat. ”Anakku,” katanya halus ketika itu. Dialah pula yang beberapa bulan lalu saya datangi makamnya, yang tak bernama nan ketutup rumput, untuk menangis sambil terisak-isak. Saya kini—mungkin terlambat— menyadari dia telah menjadi ”ibu” saya tanpa pernah berhak atas panggilan yang luhur itu. Ya, dia yang kala itu saya panggil ”Bao” dan kini saya sebut sebagai ”Ibu”, di mata orang tiada lain hanyalah seorang pembantu.
Jadi, Bao, pengasuh yang ”nista” itu, bagi saya kini melambangkan cinta kasih, dan saya masih mencintainya. Dia juga melambangkan kesadaran atas tiada artinya ”jarak sosial” antara Tuan dan Pembantu. Dia membentuk kemanusiaan saya.
Namun mengenang Bao sekarang ini, saya juga mengingat bahwa Bao juga mampu membenci. Siapa yang dibenci wanita luhur itu? Oh, bukan orang dekatnya, bukan pula ayah dan ibu saya, yang dianggap juragan tak terjangkaunya, tetapi mereka yang dia sebut ”les Boches”, julukan orang Jerman yang nista itu. Bangsa yang waktu itu merupakan musuh bebuyutan bangsa kami.
Bao memang bukan membenci tanpa alasan pribadi. Sebelum menjadi pengasuh kami, dia selama dua puluh lima tahun telah merawat suaminya yang sakit. Sakit apa? Sakit paru-paru yang diakibatkan gas sarin, seperti di Suriah baru-baru ini. Ya, suami Bao pernah berada di antara ratusan ribu tentara Perancis yang dibom dengan gas pada waktu Perang Dunia II. Ketika, atas perintah ”serbu”, para serdadu Perancis keluar dari parit perlindungan. Mereka hendak menembak atau membayonet musuh Jerman yang menanti mereka dua ratus meter jauhnya, kerap kali serbuan itu, berikut teriakannya, tiba-tiba disunyikan oleh kabut yang mematikan. Kesunyian gas. Horor atas horor dari perang. Maka tentara Perancis pun berbalas, dan pada gilirannya menciptakan pula kesunyian horor di antara parit-parit Jerman. Akibatnya, ratusan ribu manusia tewas atas nama nasionalisme yang salah kaprah.
Bao lain
Usai perang, karena banyak Bao-Bao yang lain, berikut teman dan keturunannya, terdengar seruan di negara Perancis, Jerman, dan Amerika: ”jangan sampai terjadi lagi”. Maka penggunaan gas dinyatakan haram di medan perang oleh konvensi Geneva tahun 1925. Kenangan pribadi para korban horor di atas horor sejarah Barat telah menjadi dasar ketentuan hukum perang dan bahkan patokan moralitas politik yang konon ”internasional”.
Namun itulah justru masalahnya: menjadikan pengalaman horor dari suatu bangsa ataupun suatu perkumpulan bangsa sebagai tolok ukur nilai-nilai ”universal”. Kini, Amerika dan Perancis hendak menghukum Bashar al-Assad oleh karena si Bashar dengan menggunakan gas untuk membunuh musuhnya telah menghidupkan kembali kenangan horor pribadi dan kolektif bagi bangsa Perancis dan Amerika.
Tetapi di dalam konstruksi ”universalisme” Barat itu di manakah para korban Hiroshima dan Nagasaki, di manakah para pengungsi dari Nakba Palestina, di manakah para korban impian buruk komunis China dan Kamboja, di mana gerangan para korban represi antikomunis di Cile dan Indonesia, di mana pula para korban ”Agent Orange” Vietnam, dan akhirnya di mana mereka semua itu dan yang lainnya? Apakah promosi nilai-nilai luhur cukup untuk melahirkan kesadaran atau kebalikannya?
Ya! Kau Obama, dan kau, Hollande, nilai-nilai kau yang konon luhur itu terlalu menggurui bagi kami. Terlalu sering disusul bom yang dijatuhkan entah kenapa. Maka berhentilah berbicara tentang nilai-nilai kau, yang kau yakini dan dirangkul berdasarkan pengalaman kau saja. Dan bukalah hatimu pada apa yang telah menimpa ”yang lain” yang tak kau kenal itu. Jangan gegabah untuk maju perang.
Bao yang baik pun tidak lagi membenci orang Jerman setelah dia ”tahu”, yaitu setelah dia mengenal janda-janda Jerman yang senasib dengannya. Hati lebih efisien daripada nilai-nilai luhur ”universal”, apakah religius ataupun sekuler, yang keduanya cenderung berat sebelah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar