Senin, 16 September 2013

Amerika dan Sekutu-sekutunya di Dunia Arab

Amerika dan Sekutu-sekutunya di Dunia Arab
Brahma Chellaney  ;   Guru Besar Studi Strategi pada Center for Policy Research
di New Delhi
KORAN TEMPO, 16 September 2013


Dalam kurun waktu cuma satu dekade, Amerika Serikat telah melakukan intervensi militer di tiga negara mayoritas muslim dan menggulingkan pemerintah di negara-negara tersebut. Sekarang koalisi intervensionis liberal dan neo-konservatif Amerika yang mendukung perang-perang terdahulu itu telah mendesak dilancarkannya perang menghukum Suriah tanpa merenungkan betapa kebijakan AS tersebut telah berujung pada peningkatan kekuatan kelompok-kelompok Islamis dan semakin mendorong anti-Amerikanisme. Sesungguhnya, intervensi "kemanusiaan" paling akhir yang dilakukan Amerika jelas telah berbalik arah, sehingga membuat Libya menjadi lahan bersemainya kelompok-kelompok militan transnasional.
Seperti tampak dalam debat yang berlangsung di AS saat ini mengenai usulan penggunaan kekerasan yang diajukan Presiden Barack Obama, apa yang mendorong dilakukannya serangan militer terhadap Suriah itu bukan untuk melindungi kepentingan nasional Amerika, melainkan hasrat melindungi "kredibilitas" itulah yang menjadi alasan mereka yang ingin mencetuskan lagi perang yang lebih besar di Timur Tengah.
Jika "kredibilitas" dikeluarkan dari debat dan fokus diletakkan pada upaya memajukan kepentingan jangka panjang AS, bakal jelas tampak bahwa suatu serangan terhadap Suriah tidak akan memberikan hasil geopolitik yang bahkan sementara pun. Di luar jangka pendek, ia akan membawa konsekuensi yang bukan dimaksudkan semula, dengan kemungkinan terjadinya partisi "lunak" model Irak di Suriah dan terciptakannya tempat berlindung kelompok-kelompok ekstremis yang terbentang dari utara Suriah yang dikuasai sebagian besar kelompok Islamis sampai kawasan Sunni di Irak.
Sesungguhnya, serangan terhadap Suriah mungkin sekali akan meningkatkan ketergantungan Amerika kepada penguasa-penguasa Islamis yang tidak populer di negara-negara mulai dari Arab Saudi dan Qatar sampai Turki dan Uni Emirat Arab. Beberapa orang raja Arab telah berjanji akan membiayai serangan AS itu-uang yang mereka keluarkan tersebut dengan mudah bisa mereka peroleh kembali, mengingat ribut-ribut soal perang ini telah meningkatkan harga minyak.
Kelompok-kelompok model Al-Qaidah sudah mencapai pijakan di Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai produk sampingan kebijakan AS yang tidak terpikirkan semula dan menciptakan lahan subur bagi kemungkinan semakin meningkatnya terorisme internasional pada tahun-tahun yang akan datang. Invasi dan didudukinya Irak oleh AS telah membuka peluang besar bagi Al-Qaidah di mana kelompok-kelompok afiliasinya sekarang merupakan inti perlawanan terhadap pemerintah yang didominasi Syiah.
Begitu juga perubahan rezim di Libya telah meningkatkan kekuatan milisi yang berkaitan dengan Al-Qaidah, yang berujung pada terbunuhnya Duta Besar AS di Benghazi. Suatu sistem berbasis syariah telah diterapkan, pelanggaran hak asasi manusia marak, serta mengalirnya senjata dan milisi melintas batas telah mengganggu keamanan negara-negara tetangga Libya.
Sementara itu, dukungan Amerika kepada rezim-rezim di Yaman dan Arab Saudi telah menyumbang bangkitnya Al-Qaidah di Jazirah Arab. Di bagian selatan Yaman, afiliasi Al-Qaidah, Ansar al-Sharia, bahkan berfungsi sebagai pemerintah de facto.
Di Suriah, di mana beberapa bagian wilayah sudah dikuasai kelompok-kelompok Islamis sementara Front al-Nusra yang pro-Al-Qaidah membayang-bayangi Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang didukung AS, pemerintahan Obama menuai panen pahit dari pilihan-pilihan kebijakan yang dilakukannya pada masa lalu. Serangan udara sekarang cuma bakal membuat situasi lebih buruk. Memotong legitimasi akar rumput FSA dan membantu kekuatan-kekuatan Islamis.
Di sebelah timur kawasan yang bergolak ini, AS menginginkan eksit yang "terhormat" dari Afganistan-perang paling lama dalam sejarahnya-melalui perjanjian damai dengan Taliban, lawan utamanya di medan perang. Dalam upaya mengkooptasi Taliban-suatu upaya yang telah berujung pada dibentuknya misi diplomatik Taliban di Doha, Qatar-AS telah memberikan legitimasi kepada suatu kelompok militan yang menerapkan praktek-praktek abad pertengahan di kawasan yang dikuasainya.
Perilaku Amerika yang mendekati kelompok-kelompok politik-dan pemerintah-Islamis dibimbing oleh pandangan bahwa baju Islami yang dikenakan mereka membantu para pemimpin yang mungkin dengan kata lain dipandang sebagai boneka negara asing. Upaya ini jelas tidak akan berhasil bahkan dalam jangka pendek. Sebaliknya, sampai militer Mesir menggulingkannya dari kursi kepresidenan, Muhammad Mursi dipandang sebagai orangnya Amerika di Kairo.
Kebijakan Amerika juga telah menyumbang meningkatnya konflik antara kekuatan-kekuatan Islamis dan sekuler di negara-negara muslim. Ini digambarkan paling jelas oleh Turki di mana Obama telah menutup mata terhadap upaya tangan besi Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan untuk membungkam kebebasan bersuara dan mengubah dirinya sendiri menjadi seorang sultan abad XXI.
Di sana dan di mana-mana, AS yang didorong oleh tujuan geopolitik yang lebih besar untuk mengekang Iran dan sekutu-sekutu regionalnya telah merangkul penguasa-penguasa Sunni yang picik agama dan politik, walaupun mereka merupakan ancaman transnasional terhadap nilai-nilai kebebasan dan sekularisme di dunia.
Dengan latar belakang ini, Obama harus memperhatikan doktrin yang diusulkan pada 1991 oleh Jenderal Colin Powell. Menurut doktrin Powell ini, AS harus menggunakan kekuatan militer hanya bila kepentingan keamanannya terancam, tujuan strategisnya jelas dan tercapaikan, manfaatnya sesuai dengan ongkos-ongkosnya, konsekuensi buruknya bisa dibatasi, dukungan internasional dan dalam negeri yang luas telah diperoleh, serta strategi eksit yang bisa dicapai sudah pasti. Mengingat rekor AS sejak dirumuskannya doktrin ini, satu kriteria lagi harus ditambahkan: penerima manfaat tama dari intervensi militer itu bukan musuh bebuyutan Amerika.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar