Kamis, 12 September 2013

Lelang Jabatan Sekda

Lelang Jabatan Sekda
Ali Mufiz  ;   Mantan Gubernur Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 12 September 2013


BEGITU mendengar gagasan Gubernur Ganjar Pranowo melelang jabatan sekretaris daerah (sekda) provinsi, ada kenalan berkomentar,” Ini apa-apaan.” Komentar yang wajar mengingat terminologi lelang lekat dengan praktik dagang. Istilah itu biasa dalam bisnis, tapi tidak biasa untuk birokrasi pemerintahan.

Sebagian besar orang berpendapat jabatan dalam birokrasi pemerintah adalah amanah sehingga tak mungkin jabatan itu diperjualbelikan atau diperdagangkan. Diskursus mengenai lelang jabatan sekda, dan juga jabatan birokrasi lain, tak bisa dipisahkan dari upaya meningkatkan efisiensi birokrasi. Begitu banyak literatur mengecam buruknya kinerja birokrasi. Kritik dilontarkan sejak masa transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, lebih dari seabad lalu.

Adalah Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, menulis keprihatinannya terhadap kinerja buruk birokrasi pada 1886 (The Science of Public Administration). Selang seabad kemudian muncul karya Osborne dan Gaebler yang sangat populer di dunia, termasuk Indonesia, yakni Reinventing Government (1982). Guna mengobati keparahan birokrasi juga ditawarkan konsep-konsep antara lain good governance, sound government, dan public service reform.

Intinya, dalam rangka memperbaiki kinerja dan efisiensi birokrasi maka spirit bisnis diunduh ke dalam praktik birokrasi pemerintah. Mereka menyatakan rakyat harus dipandang sebagai client atau konsumen, yang bebas memilih, bahkan menolak. Relasi antara birokrasi dan rakyat terletak pada kualitas pelayanan, dan kepuasan rakyat sebagai konsumen.

Di sini peran SDM sangat menentukan. Prakata saya ini untuk menempatkan isu lelang jabatan sekda dalam konteks upaya meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan rakyat. Itu seharusnya diapresiasi. Istilah lelang bisa mendatangkan kesalahpahaman, dan barangkali lebih tepat: pengisian dan promosi jabatan secara terbuka.

Ada empat letak keunggulan pengisian jabatan birokrasi secara terbuka. Pertama; akan mengeliminasi ekses otonomi daerah pada bidang manajemen SDM. Selama ini otda mengakibatkan PNS tak dapat memanfaatkan spatial (geographical) and vertical mobility; sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam era UU Nomor 5 Tahun 1974.

Kedua; keterbukaan perekrutan dapat menjaring banyak calon dari seluruh pelosok Nusantara, khususnya untuk pengisian jabatan eselon I dan II pusat dan provinsi. Pendekatan ini meneguhkan wawasan kebangsaan dan nuansa NKRI. Ketiga; menjamin pejabat yang menduduki jabatan struktural punya kompetensi dan profesionalisme yang diperlukan untuk jabatan itu.

Keempat; menghindarkan birokrasi pemerintah dari politisasi birokrasi. Jika kita memandang pemda sebagai sebuah sistem maka ada tiga unsur pokok yang tak terpisahkan, yaitu structure, norms, dan culture. Dalam konteks norms, ada payung hukum yang memungkinkan dilakukan pengisian dan promosi jabatan birokrasi secara terbuka.

Bukan hanya untuk sekda melainkan juga untuk semua jabatan eselon, baik di tingkat pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota. Surat Edaran Menpan dan RB Nomor 16 Tahun 2012 menjadi landasannya. Regulasi itu mengatur hal ”Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah”.

Ada Inkonsistensi

Selintas surat edaran itu mengandung kontroversi. Ada inkonsistensi istilah mengingat judul edaran itu adalah pengisian jabatan struktural secara terbuka, tetapi isinya menegaskan sistem pembinaan karier dilaksanakan secara tertutup.

Kata ”terbuka” menyiratkan semua orang, tanpa melihat status, boleh mencalonkan. Realitasnya tidak bisa karena pencalonan terbuka hanya bagi PNS, dan tertutup bagi non-PNS. Ketertutupan ini merupakan amanat dari PP Nomor 13 Tahun 2002 dan Permendagri Nomor 5 Tahun 2005. Jadi, diskursus tentang lelang jabatan, tepatnya pengisian jabatan struktural secara terbuka harus diletakkan dalam konteks birokrasi pemerintah.

Di dunia, sekali pun di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, semua aparat birokrasi adalah pegawai negeri. Konsekuensinya, pengisi jabatan harus dari PNS. Hakikatnya, keterbukaan itu lebih bersifat perpindahan pada skala nasional. Dari satu kementerian, lembaga, dan provinsi ke kementerian, lembaga, dan provinsi yang lain. Itu terobosan bagus untuk mengoreksi kelemahan pelaksanaan otda, sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999. Sebagai penentu keberhasilan pemerintahan, PNS pengisi jabatan harus diseleksi secara terbuka berdasarkan kompetensi, profesionalisme; selain berakhlak mulia.

Cara itu bisa menghindari faktor keterdekatan dan pertimbangan politik. Pengisian jabatan secara terbuka butuh anggaran besar mengingat pengisian jabatan eselon I dan II di provinsi harus diumunkan terbuka kepada instansi lain secara nasional. Begitu pula, tiap tahapan seleksi harus diumumkan terbuka, baik melalui papan pengumuman maupun media cetak/elektronik, termasuk online. Hal ini diakui dalam SE Menpan dan RB yang menyatakan, ”disesuaikan dengan anggaran yang tersedia”. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar