|
BEGITU
mendengar gagasan Gubernur Ganjar Pranowo melelang jabatan sekretaris daerah (sekda)
provinsi, ada kenalan berkomentar,” Ini apa-apaan.” Komentar yang wajar
mengingat terminologi lelang lekat dengan praktik dagang. Istilah itu biasa
dalam bisnis, tapi tidak biasa untuk birokrasi pemerintahan.
Sebagian
besar orang berpendapat jabatan dalam birokrasi pemerintah adalah amanah
sehingga tak mungkin jabatan itu diperjualbelikan atau diperdagangkan.
Diskursus mengenai lelang jabatan sekda, dan juga jabatan birokrasi lain, tak
bisa dipisahkan dari upaya meningkatkan efisiensi birokrasi. Begitu banyak
literatur mengecam buruknya kinerja birokrasi. Kritik dilontarkan sejak masa
transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, lebih dari seabad
lalu.
Adalah
Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, menulis
keprihatinannya terhadap kinerja buruk birokrasi pada 1886 (The Science of Public Administration).
Selang seabad kemudian muncul karya Osborne dan Gaebler yang sangat populer di
dunia, termasuk Indonesia, yakni Reinventing
Government (1982). Guna mengobati keparahan birokrasi juga ditawarkan
konsep-konsep antara lain good
governance, sound government, dan public
service reform.
Intinya,
dalam rangka memperbaiki kinerja dan efisiensi birokrasi maka spirit bisnis
diunduh ke dalam praktik birokrasi pemerintah. Mereka menyatakan rakyat harus
dipandang sebagai client atau
konsumen, yang bebas memilih, bahkan menolak. Relasi antara birokrasi dan
rakyat terletak pada kualitas pelayanan, dan kepuasan rakyat sebagai konsumen.
Di
sini peran SDM sangat menentukan. Prakata saya ini untuk menempatkan isu lelang
jabatan sekda dalam konteks upaya meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan
rakyat. Itu seharusnya diapresiasi. Istilah lelang bisa mendatangkan
kesalahpahaman, dan barangkali lebih tepat: pengisian dan promosi jabatan
secara terbuka.
Ada
empat letak keunggulan pengisian jabatan birokrasi secara terbuka. Pertama;
akan mengeliminasi ekses otonomi daerah pada bidang manajemen SDM. Selama ini
otda mengakibatkan PNS tak dapat memanfaatkan spatial (geographical) and vertical mobility; sesuatu yang tidak
pernah terjadi dalam era UU Nomor 5 Tahun 1974.
Kedua;
keterbukaan perekrutan dapat menjaring banyak calon dari seluruh pelosok
Nusantara, khususnya untuk pengisian jabatan eselon I dan II pusat dan
provinsi. Pendekatan ini meneguhkan wawasan kebangsaan dan nuansa NKRI. Ketiga;
menjamin pejabat yang menduduki jabatan struktural punya kompetensi dan
profesionalisme yang diperlukan untuk jabatan itu.
Keempat;
menghindarkan birokrasi pemerintah dari politisasi birokrasi. Jika kita
memandang pemda sebagai sebuah sistem maka ada tiga unsur pokok yang tak
terpisahkan, yaitu structure, norms,
dan culture. Dalam konteks norms, ada
payung hukum yang memungkinkan dilakukan pengisian dan promosi jabatan
birokrasi secara terbuka.
Bukan
hanya untuk sekda melainkan juga untuk semua jabatan eselon, baik di tingkat
pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota. Surat Edaran Menpan dan RB Nomor 16
Tahun 2012 menjadi landasannya. Regulasi itu mengatur hal ”Tata Cara Pengisian
Jabatan Struktural yang Lowong secara Terbuka di Lingkungan Instansi
Pemerintah”.
Ada Inkonsistensi
Selintas
surat edaran itu mengandung kontroversi. Ada inkonsistensi istilah mengingat
judul edaran itu adalah pengisian jabatan struktural secara terbuka, tetapi
isinya menegaskan sistem pembinaan karier dilaksanakan secara tertutup.
Kata
”terbuka” menyiratkan semua orang, tanpa melihat status, boleh mencalonkan.
Realitasnya tidak bisa karena pencalonan terbuka hanya bagi PNS, dan tertutup
bagi non-PNS. Ketertutupan ini merupakan amanat dari PP Nomor 13 Tahun 2002 dan
Permendagri Nomor 5 Tahun 2005. Jadi, diskursus tentang lelang jabatan,
tepatnya pengisian jabatan struktural secara terbuka harus diletakkan dalam
konteks birokrasi pemerintah.
Di
dunia, sekali pun di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, semua
aparat birokrasi adalah pegawai negeri. Konsekuensinya, pengisi jabatan harus
dari PNS. Hakikatnya, keterbukaan itu lebih bersifat perpindahan pada skala
nasional. Dari satu kementerian, lembaga, dan provinsi ke kementerian, lembaga,
dan provinsi yang lain. Itu terobosan bagus untuk mengoreksi kelemahan
pelaksanaan otda, sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999. Sebagai penentu
keberhasilan pemerintahan, PNS pengisi jabatan harus diseleksi secara terbuka
berdasarkan kompetensi, profesionalisme; selain berakhlak mulia.
Cara
itu bisa menghindari faktor keterdekatan dan pertimbangan politik. Pengisian
jabatan secara terbuka butuh anggaran besar mengingat pengisian jabatan eselon
I dan II di provinsi harus diumunkan terbuka kepada instansi lain secara
nasional. Begitu pula, tiap tahapan seleksi harus diumumkan terbuka, baik
melalui papan pengumuman maupun media cetak/elektronik, termasuk online. Hal ini diakui dalam SE Menpan
dan RB yang menyatakan, ”disesuaikan dengan anggaran yang tersedia”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar