Jumat, 13 September 2013

Jerat Jejaring Eksploitasi Global

Jerat Jejaring Eksploitasi Global
Dodi Mantra  ;   Dosen Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia, Pegiat Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia
KOMPAS, 12 September 2013


Krisis ekonomi global kembali membayangi dinamika perekonomian Indonesia. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat pada 2008 itu telah menjadi salah satu krisis terparah sepanjang sejarah kapitalisme.
Jatuhnya angka pertumbuhan produk domestik bruto dunia, dari 5,9 persen pada 2008 menjadi hanya 1,2 persen tahun 2009 (World Bank 2010); peningkatan drastis jumlah penganggur (30 juta jiwa dari total 200 juta tahun 2009, ILO 2010); dan bertambahnya jumlah orang miskin ekstrem dunia: 64 juta jiwa tahun 2009 (World Bank 2010); menunjukkan betapa parahnya dampak krisis kapitalisme ini.
Kapitalisme hari ini tidak dapat lagi dipandang sebagai modus produksi di mana komoditas dicipta. Kapitalisme telah menjadi pencipta dunia yang di dalamnya ada komoditas, manusia, dan masyarakat hidup dan berada (Lazzarato 2004).
Munculnya jejaring produksi global adalah salah satu manifestasi dari kapitalisme di era neoliberal. Pola pengorganisasian produksi yang awalnya berjalan tersentralisasi di unit produksi dan wilayah geografis berganti dengan pola produksi yang semakin terfragmentasi dan berjejaring. Aktivitas produksi dipecah dan dialihkan ke berbagai unit produksi dan wilayah yang tersebar global.
Maka, komoditas dalam kapitalisme neoliberal tercipta sebagai hasil dari proses produksi yang diorganisasikan secara berjejaring pada skala global. Praktik alih daya (outsourcing), di mana aktivitas produksi dipecah dan dialihkan kepada sumber-sumber eksternal, menjadi urat nadi sirkulasi produksi. Dengan demikian, krisis kapitalisme berdampak laksana virus: menyebar ke sendi-sendi perekonomian dunia.
Jejaring eksploitasi
Jejaring produksi global muncul sebagai pola pengorganisasian produksi di mana kebutuhan ekstraksi nilai-lebih dapat dipenuhi.
Pertama, melalui fragmentasi aktivitas produksi, nilai dapat diekstraksi tanpa melalui aktivitas produksi dalam jumlah besar. Seiring hegemoni kerja imateriil dalam proses penciptaan nilai, industri, terutama di negara maju, semakin fokus pada aktivitas spesifik di mana nilai dapat dicipta.
Aktivitas tahap praproduksi yang didominasi kerja imateriil dalam bentuk perancangan, penelitian, dan pengembangan teknologi menjadi prioritas utama perusahaan. Sementara tahap produksi yang mencakup aktivitas penyediaan bahan baku, produksi komponen, pabrikasi, dan pengemasan dialihkan ke sumber-sumber eksternal, sebagian besar di negara berkembang.
Kedua, terbuka ruang bagi ragam bentuk, kapasitas, dan tingkat kapital dari unit-unit produksi yang tersebar di seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam pola ekstraksi nilai-lebih secara berjejaring ini. Sebuah perusahaan tidak harus memiliki kapital besar agar untung, asal memiliki porsi aktivitas spesifik.
Maka, selama empat dekade terakhir impor barang setengah jadi dunia meningkat sepuluh kali lipat: 56 persen dari total impor dunia tahun 2006 (Sturgeon & Kawakami 2010). Fragmentasi inilah yang menopang pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, khususnya di Asia.
Posisi Indonesia
Perekonomian Indonesia juga sangat terintegrasi dengan jejaring produksi global. Selama tiga dekade terakhir, ekspor barang setengah jadi tampil di jajaran atas komoditas ekspor utama Indonesia yang sebelumnya didominasi bahan mentah.
Corak utama aktivitas yang dialihkan ke perusahaan-perusahaan di Indonesia didominasi oleh bentuk kegiatan dalam tahap produksi, meliputi pembuatan komponen, aktivitas manufaktur, dan perakitan.
Dalam aspek ekstraksi nilai-lebih, ditopang oleh pasar tenaga kerja yang besar dengan karakter tenaga kerja berketerampilan dan tingkat upah rendah, perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki kapasitas besar dalam menciptakan nilai.
Tingkat pertumbuhan ekonomi dan angka penganggur yang terus menurun pada dasarnya sangat bergantung pada posisi Indonesia dalam jejaring produksi global. Bahkan, arah dan strategi kebijakan ekonomi Pemerintah Indonesia 10 tahun terakhir ditentukan oleh posisi dalam jejaring.
Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai dalam proses produksi serta peningkatan efisiensi jaringan distribusi adalah visi utama pembangunan ekonomi Indonesia dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Untuk itu, besarnya populasi dan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan letak geografis, merupakan tiga bentuk potensi utama.
Pascakrisis global 2008-2009, pola jejaring produksi global berkonsolidasi (Cattaneo, Gereffi & Staritz 2010). Seiring penurunan daya beli masyarakat di negara maju, fragmentasi aktivitas produksi semakin dipersempit ke unit-unit produksi dan wilayah di mana biaya transaksi dapat ditekan.
Konsekuensinya, perusahaan-perusahaan pemasok di negara berkembang berlomba mendapatkan bagian dari pengalihan aktivitas produksi. Kondisi sosial-ekonomi dan hukum di masing-masing negara diarahkan sedemikian rupa untuk dapat menjadi lokasi yang efisien dan menguntungkan.
Strategi
Paket kebijakan ekonomi yang mendorong ekspor dan mengurangi pajak ekspor padat karya jelas merupakan strategi untuk menopang gerak perekonomian Indonesia sesuai posisi dalam jejaring. Dalam paket ini pemerintah berupaya menciptakan skema pengupahan yang terstandardisasi dan pasti secara nasional sehingga biaya transaksi dari pengalihan produksi ke Indonesia dapat terukur.
Melalui prinsip pendidikan menengah universal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan pendidikan yang menciptakan subyek siap kerja dalam jumlah besar. Ini sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia ─melalui Perpres Nomor 8 Tahun 2012 ─untuk mengintegrasikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dengan demikian, kerja dan kehidupan masyarakat Indonesia semakin terjerat di dalam jejaring hiper-eksploitasi kapitalisme. Kerja para buruh adalah sumber ekstraksi nilai yang diisap secara berantai melalui jejaring produksi global. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar