Kamis, 12 September 2013

Krisis Pangan Mengancam!

Krisis Pangan Mengancam!
Mariyadi Faqih  ;   Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
SUARA KARYA, 12 September 2013


Suatu saat bukan tidak mungkin Indonesia akan mengikuti jejak Haiti, negara yang menjadi salah satu negara krisis pangan padahal Haiti merupakan negara penghasil beras sebesar 170 ribu ton per tahun (mencukupi 95 persen kebutuhan domestik). Indonesia diprediksi akan bernasib sama pada tahun 2017 di 150 kabupaten/kota dari 480 kabupaten/kota di Indonesia setelah melihat populasi penduduk yang menjadi 237 juta jiwa per 2010 serta berbagai peristiwa kelangkaan pangan yang sering terjadi belakangan ini, menimpa sejumlah daerah pinggiran dan pedalaman di Indonesia.

Saat krisis pangan mencapai puncaknya suatu saat nanti, sejatinya negara ini layak distigma sebagai pelaku kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity). Pasalnya, negara dinilai telah berdosa besar terhadap rakyat atau telah membuat rakyat terjangkit kelaparan, mengidap malnutrisi (kekurangan gizi), kerentanan ketahanan tubuhnya, atau "terbunuh" secara struktural.

Meski ada pakar yang mengestimasikan tahun ini Indonesia masih akan surplus pangan dan tetap diandalkan berkemampuan memenuhi pangan bagi masyarakatnya yang selama ini sudah menjadi "langganan" krisis pangan, tetapi seiring dengan akrabnya bencana alam dan "miskinnya" komitmen elite menangani masalah pangan, tampaknya harapan menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia menjadi mustahil. Bagaimana mungkin bisa terus menerus jadi "pendonor" pangan global, kalau di negerinya sendiri sekelompok orang di wilayah pinggiran atau pedalaman ditemukan meninggal dunia akibat kelaparan (kasus di Papua belum lama ini menjadi contohnya).

Boleh jadi, tahun ini Indonesia dihadapkan dengan kesulitan berat atau krisis pangan yang serius. Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah selama ini dari tahun ke tahun telah mengakibatkan kawasan subur pertanian, merupakan faktor istimewa (fundamental) yang membuat Indonesia secara matematis-ekonomis tidak lagi bisa diharapkan membagi-bagi sumber pangan lokal hingga global.

Beberapa daerah yang terbilang "pendonor utama" di sektor pangan atau menjadi daerah strategis, dan diandalkan sebagai kontributor besar terhadap kekuatan pangan Indonesia, tidak sedikit diantaranya yang telah porak-poranda. Beberapa daerah diantaranya bahkan masuk dalam kategori "siaga 1" kekurangan pangan atau masyarakatnya terancam mengalami malnutrisi dan kelaparan.

Bukan tidak mungkin pula, justru akan terjadi titik balik, seluam sebagai daerah makmur kemudian menjadi "miskin" pangan dan akhirnya harus menjadi wilayah miskin pangan yang menunggu uluran tangan dari daerah lain. Berdasarkan pengalaman, kasus seperti itu sering menimpa masyarakat dan negara ini. Bahwa stigma sebagai masyarakat yang makmur sumberdaya pangan seperti beras, akhirnya bergeser menjadi masyarakat kekurangan pangan dan bermental "pengemis" atau setidaknya menunggu jiwa karitas (kebaikan hati) negara lain.

Sebagai bangsa yang kaya dengan sumberdaya alam (SDA) seperti luasnya areal pertanian, seharusnya malu sama Tuhan. Karena, karunia Tuhan yang demikian besarnya disia-siakan. Seperti tanah pertanian tidak sedikit diantaranya yang ditelantarkan sebagai "tanah-tanah mati" karena dikapitalisai oleh petani berdasi. Sumber-sumber energi yang seharusnya bisa memproduksi pangan berlimpah, dimatikan oleh petani berdasi atau kapitalis yang membisniskan tanahnya, layak disebut sebagai akar kriminogen kejahatan pangan publik.

Kapitalisasi tanah dengan cara membiarkan, menelantarkan, atau memarkirkannya demi mengeruk keuntungan ekonomi pribadi merupakan bagian dari bentuk reduksi fungsional tanah. Padahal, semestinya tanah ini jadi penyangga akselerasi kekuatan pertanian dan pangan rakyat. Ironisnya, pelaku kapitalisasi tanah adalah kalangan elite kekuasaan, di samping pengembang (pengusaha). Elite kekuasaan beranggapan bahwa tanah merupakan "tabungan paling berharga", yang dalam beberapa bulan atau tahun, keuntungan ekonominya berlipat ganda. Mereka tidak ingin tanahnya dijadikan lahan pertanian, pasalnya fungsi tanah demikian dikalkulasi jauh dari menguntungkan.

Bangsa, terutama elite seharusnya malu terhadap bangsa lain yang minim areal pertaniannya seperti Jepang dan Thailand, namun pertaniannya maju dan bisa diandalkan menjadi sumberdaya pangan jangka pendek maupun panjang. Jepang misalnya, bisa menyulap wilayah Hiroshima dan Nagasaki yang semula menjadi area beracun akibat bom atom yang dijatuhkan Sekutu pada perang dunia kedua, menjadi wilayah pertanian yang subur yang diandalkan sebagai penopang kebutuhan pangannya karena didukung mentalitas bangsa terebut.

Mentalitas seperti itu tidak dimiliki oleh masyarakat kita, khususnya kalangan elitenya yang cenderung ningrat. Elite kita bisa mempunyai cadangan pangan atau tidak pernah mengalami krisis pangan, sementara wong cilik khususnya petani penggarap, yang hidup merana kesulitan pangan, kekurangan gizi, dan miskin. Elite kita hanya sibuk mengoleksi tanah, sedangkan masyarakat alit terpinggirkan dan korban ketidakadilan. Mereka selama ini jauh dari merasakan hidup berkecukupan pangan, apalagi masuk dalam ranah kesejahteraan sosial (social welfare).

Selain itu pola pelanggengan budaya konsumeris di saat masyarakat mengidap krisis pangan juga sepantasnya digolongkan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity). Pasalnya perilaku atau kebiasaan demikian selain menutup kran terkonstruksinya kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang "memanusiakan", sebaliknya memproduk berbagai bentuk patologi sosial dan penderitaan massal.

Tanpa adanya kesadaran tinggi dari kalangan punggawa elite untuk mengatasi krisis pangan, sulit bagi petani yang tertimpa bencana alam bisa menemukan lahan kehidupannya, apalagi harkat kemanusiaannya. Iklim ketidakberdayaan dan kenestapaan akan menjadi episode memilukannya yang berkelanjutan. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar