|
Suatu saat bukan tidak mungkin
Indonesia akan mengikuti jejak Haiti, negara yang menjadi salah satu negara
krisis pangan padahal Haiti merupakan negara penghasil beras sebesar 170 ribu
ton per tahun (mencukupi 95 persen kebutuhan domestik). Indonesia diprediksi
akan bernasib sama pada tahun 2017 di 150 kabupaten/kota dari 480 kabupaten/kota
di Indonesia setelah melihat populasi penduduk yang menjadi 237 juta jiwa per
2010 serta berbagai peristiwa kelangkaan pangan yang sering terjadi belakangan
ini, menimpa sejumlah daerah pinggiran dan pedalaman di Indonesia.
Saat krisis pangan mencapai
puncaknya suatu saat nanti, sejatinya negara ini layak distigma sebagai pelaku
kejahatan melawan kemanusiaan (crime
againt humanity). Pasalnya, negara dinilai telah berdosa besar terhadap
rakyat atau telah membuat rakyat terjangkit kelaparan, mengidap malnutrisi
(kekurangan gizi), kerentanan ketahanan tubuhnya, atau "terbunuh"
secara struktural.
Meski ada pakar yang
mengestimasikan tahun ini Indonesia masih akan surplus pangan dan tetap
diandalkan berkemampuan memenuhi pangan bagi masyarakatnya yang selama ini
sudah menjadi "langganan" krisis pangan, tetapi seiring dengan
akrabnya bencana alam dan "miskinnya" komitmen elite menangani
masalah pangan, tampaknya harapan menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan
dunia menjadi mustahil. Bagaimana mungkin bisa terus menerus jadi
"pendonor" pangan global, kalau di negerinya sendiri sekelompok orang
di wilayah pinggiran atau pedalaman ditemukan meninggal dunia akibat kelaparan
(kasus di Papua belum lama ini menjadi contohnya).
Boleh jadi, tahun ini Indonesia
dihadapkan dengan kesulitan berat atau krisis pangan yang serius. Bencana
banjir yang melanda sejumlah wilayah selama ini dari tahun ke tahun telah
mengakibatkan kawasan subur pertanian, merupakan faktor istimewa (fundamental)
yang membuat Indonesia secara matematis-ekonomis tidak lagi bisa diharapkan
membagi-bagi sumber pangan lokal hingga global.
Beberapa daerah yang terbilang
"pendonor utama" di sektor pangan atau menjadi daerah strategis, dan
diandalkan sebagai kontributor besar terhadap kekuatan pangan Indonesia, tidak
sedikit diantaranya yang telah porak-poranda. Beberapa daerah diantaranya
bahkan masuk dalam kategori "siaga 1" kekurangan pangan atau
masyarakatnya terancam mengalami malnutrisi dan kelaparan.
Bukan tidak mungkin pula, justru
akan terjadi titik balik, seluam sebagai daerah makmur kemudian menjadi
"miskin" pangan dan akhirnya harus menjadi wilayah miskin pangan yang
menunggu uluran tangan dari daerah lain. Berdasarkan pengalaman, kasus seperti
itu sering menimpa masyarakat dan negara ini. Bahwa stigma sebagai masyarakat
yang makmur sumberdaya pangan seperti beras, akhirnya bergeser menjadi
masyarakat kekurangan pangan dan bermental "pengemis" atau setidaknya
menunggu jiwa karitas (kebaikan hati) negara lain.
Sebagai bangsa yang kaya dengan
sumberdaya alam (SDA) seperti luasnya areal pertanian, seharusnya malu sama
Tuhan. Karena, karunia Tuhan yang demikian besarnya disia-siakan. Seperti tanah
pertanian tidak sedikit diantaranya yang ditelantarkan sebagai "tanah-tanah
mati" karena dikapitalisai oleh petani berdasi. Sumber-sumber energi yang
seharusnya bisa memproduksi pangan berlimpah, dimatikan oleh petani berdasi
atau kapitalis yang membisniskan tanahnya, layak disebut sebagai akar
kriminogen kejahatan pangan publik.
Kapitalisasi tanah dengan cara
membiarkan, menelantarkan, atau memarkirkannya demi mengeruk keuntungan ekonomi
pribadi merupakan bagian dari bentuk reduksi fungsional tanah. Padahal,
semestinya tanah ini jadi penyangga akselerasi kekuatan pertanian dan pangan
rakyat. Ironisnya, pelaku kapitalisasi tanah adalah kalangan elite kekuasaan,
di samping pengembang (pengusaha). Elite kekuasaan beranggapan bahwa tanah
merupakan "tabungan paling berharga", yang dalam beberapa bulan atau
tahun, keuntungan ekonominya berlipat ganda. Mereka tidak ingin tanahnya
dijadikan lahan pertanian, pasalnya fungsi tanah demikian dikalkulasi jauh dari
menguntungkan.
Bangsa, terutama elite seharusnya
malu terhadap bangsa lain yang minim areal pertaniannya seperti Jepang dan
Thailand, namun pertaniannya maju dan bisa diandalkan menjadi sumberdaya pangan
jangka pendek maupun panjang. Jepang misalnya, bisa menyulap wilayah Hiroshima
dan Nagasaki yang semula menjadi area beracun akibat bom atom yang dijatuhkan
Sekutu pada perang dunia kedua, menjadi wilayah pertanian yang subur yang
diandalkan sebagai penopang kebutuhan pangannya karena didukung mentalitas
bangsa terebut.
Mentalitas seperti itu tidak
dimiliki oleh masyarakat kita, khususnya kalangan elitenya yang cenderung ningrat.
Elite kita bisa mempunyai cadangan pangan atau tidak pernah mengalami krisis
pangan, sementara wong cilik khususnya petani penggarap, yang hidup merana
kesulitan pangan, kekurangan gizi, dan miskin. Elite kita hanya sibuk
mengoleksi tanah, sedangkan masyarakat alit terpinggirkan dan korban
ketidakadilan. Mereka selama ini jauh dari merasakan hidup berkecukupan pangan,
apalagi masuk dalam ranah kesejahteraan sosial (social welfare).
Selain itu pola pelanggengan
budaya konsumeris di saat masyarakat mengidap krisis pangan juga sepantasnya
digolongkan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity). Pasalnya perilaku atau kebiasaan demikian
selain menutup kran terkonstruksinya kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang
"memanusiakan", sebaliknya memproduk berbagai bentuk patologi sosial
dan penderitaan massal.
Tanpa adanya kesadaran tinggi dari
kalangan punggawa elite untuk mengatasi krisis pangan, sulit bagi petani yang
tertimpa bencana alam bisa menemukan lahan kehidupannya, apalagi harkat
kemanusiaannya. Iklim ketidakberdayaan dan kenestapaan akan menjadi episode
memilukannya yang berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar