Kamis, 05 September 2013

Keserakahan Itu Candu

Keserakahan Itu Candu
Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
JAWA POS, 05 September 2013


BETAPA pun hukuman terhadap Irjen Pol Djoko Susilo (DS) mengecewakan, terdapat satu penilaian hakim yang sangat tepat atas terdakwa korupsi besar proyek simulator SIM di Korlantas Polri tersebut. Majelis hakim menganggap tidak ada satu hal pun yang dapat meringankan DS. Itu bermakna, betapa pun DS sempat mengucurkan air dari dua mata dan lubang hidungnya serta kendati menyebut-nyebut nama Tuhan sambil menegaskan bahwa dia tidak melakukan kesalahan, majelis hakim tidak hanyut dalam pertunjukan emosional DS saat membaca pembelaannya.

Bahkan, meski DS mengaku telah memberikan wejangan kepada anak-anak dan para istrinya agar tetap tabah, saya tetap menaruh skeptisisme terhadap kesungguhan DS untuk peduli pada orang lain. Mungkinkah perilaku korupsi, sebagai manifestasi ketidakhirauan pada orang lain, yang dipraktikkan selama bertahun-tahun langsung menghilang "hanya" akibat ancaman hukuman penjara? Benarkah watak rakus yang dipelihara sekian lama seketika lenyap, digantikan altruisme, "semata-mata" akibat aib yang telah telanjang terbuka?

Tentu, hidayah Tuhan bisa saja turun di mana saja, kapan saja, untuk siapa saja. Tatkala pintu hati terbuka, seorang pendosa bisa jadi sosok budiman. Namun, karena DS bersikukuh bahwa dia tidak berbuat salah bahkan mengajukan banding atas putusan hakim sepuluh tahun penjara dan perampasan hartanya, sangat penting mempertahankan sentimen negatif terhadap sosok DS. Untuk itu, beberapa temuan psikologi yang relevan dengan sifat rakus dan perilaku koruptif perlu dikemukakan sebagai -katakanlah- respon tandingan terhadap perilaku psikologis yang telah didemonstrasikan oleh DS.

Simak simpulan yang ditarik Tim Kasser dan Fred Grouzet setelah melakukan studi di lima belas negara. Mereka menyatakan bahwa semakin individu mencandu akan uang dan kekuasaan semakin dia tidak hirau pada masyarakat dan hubungan antar sesama. Menurut dua peneliti tersebut, hasrat akan harta dan takhta tidak mungkin direkonsiliasikan dengan rasa altruistis. Omong kosong! Sebab, dua jenis hasrat tersebut berada pada sistem-sistem motivasional yang secara mendasar berbeda satu sama lain. Menjalin hubungan yang hangat dan membantu sesama adalah aktivitas yang memuaskan kebutuhan intrinsik. Sebaliknya, adiksi (kecanduan) akan uang dan kuasa adalah pendorong bagi individu untuk memenuhi kegilaannya akan unsur ekstrinsik, yaitu sanjungan dan kekayaan.

Jadi, alih-alih jatuh simpati, hakim tampaknya sudah paham betul bahwa kalimat-kalimat puitis dan gesture yang ditampilkan DS saat membaca nota pembelaan diri adalah -tidak lain- modus klise ironi viktimisasi. Alias, cara penjahat menggeser diri sebagai korban. Korban ketidakadilan. Korban kesewenang-wenangan KPK.

Tidak sebatas mekanisme psikologis yang begitu alot sehingga sukar untuk berubah. Proses fisiologis manusia-manusia korup dan gila kuasa pun berlangsung sangat mirip dengan pecandu narkoba. Merasakan sedapnya sensasi kekuasaan dan gelimang harta benda terbukti memiliki efek yang serupa dengan bagaimana kokain memengaruhi otak pengonsumsinya. Yakni, meningginya kandungan testoteron dan 3-androstanediol. Kenaikan level dua zat kimiawi dalam tubuh tersebut pada gilirannya akan mempertinggi level dopamin yang sifatnya amat sangat adiktif bagi orang tersebut.

Perubahan pada kandungan kimiawi dalam tubuh tersebut membawa manifestasi psikologis. Pada satu sisi, penggunaan kokain akan meningkatkan rasa percaya diri, penuh energi, sensasi tenteram, dan euforia pada diri individu. Pada sisi lain, substansi yang sama juga membangkitkan perasaan cemas, paranoia, dan tidak bisa tenang. Terkondisi akan nikmatnya uang dan kuasa, tegas Ian Robertson, juga menimbulkan suasana hati yang hampir identik dengan itu.

Pengaruh Organisasi 

DS bukan manusia gua yang hidup sebatang kara di tengah hutan belantara. Sekian puluh tahun lamanya dia hidup dalam naungan organisasi (Polri). Dengan realita tersebut, rumusan psikologi tentang tingkah laku manusia menjadi sebangun: perilaku adalah hasil bentukan faktor individu (disposisi) dan lingkungan (situasi).

Persoalannya, dengan kondisi diri sedemikian rupa seperti ditulis di atas, fungsi seperti apakah yang dimainkan lingkungan (organisasi) tempat DS bernaung? Positifkah, yakni menekan dorongan koruptif DS dan para sejawatnya? Ataukah justru negatif sehingga membuat candu korupsi kian merajalela?

Salah satu penjelasan musabab perilaku korupsi dalam organisasi adalah tidak adanya situasi yang mendukung para anggotanya untuk dapat berkompetisi satu sama lain secara transparan dan objektif. Jadi, ketika merit system tidak berjalan, setiap anggota akan mencari siasat guna mengatasi situasi tersebut. Kompetensi kerja tidak lagi krusial karena digantikan oleh faktor yang sesungguhnya bukan penentu maju mundurnya karir, seperti kedekatan pribadi dan kekuatan uang. 

Lengkap sudah. Dimensi individu yang ditandai candu akan harta dan tahta serta dimensi organisasi yang diyakini publik sudah mengondisikan anggotanya untuk memperoleh promosi jabatan dengan cara-cara kotor bersimbiosis mutualistis membentuk pejabat-pejabat dengan watak koruptif yang semakin keras tidak terubahkan.

Alhasil, DS sudah seharusnya bertanggung jawab atas kerugian dahsyat yang dia akibatkan terhadap negara. Tetapi, pada saat yang sama, semakin nyata di mata publik bahwa organisasi tempat DS bekerja juga punya peran mendulang dosa. KPK harus kian semangat membongkar itu semua! ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar