Kamis, 05 September 2013

Menghadapi Ketidakpastian

Menghadapi Ketidakpastian
Umar Juoro ;  Ekonom Senior di Cides
KOMPAS, 05 September 2013


Ekonomi Indonesia menghadapi ketakpastian di dalam dan di luar negeri. Dari luar, menurunnya harga komoditas dan melemahnya ekonomi China membuat defisit neraca berjalan membesar sampai 9,8 miliar dollar AS atau 4,4 persen PDB yang telah melampaui batas aman.

Rencana bank sentral AS kurangi stimulus mendorong modal keluar dan membuat neraca pembayaran defisit. Di dalam negeri, ketakpastian bersumber pada inflasi tinggi pasca-kenaikan harga BBM, defisit primer APBN, dan melemahnya perekonomian. Semua membuat pasar modal dan obligasi tertekan serta rupiah jadi Rp 11.000 per dollar AS.

Beda pandangan

BI dan Kementerian Keuangan berpandangan: keadaan ekonomi tak seburuk krisis finansial global 2008; tak perlu terlalu khawatir. Defisit neraca berjalan akan mengecil dan inflasi turun di triwulan ketiga dan rupiah tak melewati Rp 11.000/dollar AS.

Karena itu, BI mempertahankan rate 6,5 persen. BI hanya mengupayakan stabilitas finansial dengan menurunkan batas atas LDR (rasio kredit terhadap dana pihak ketiga) dan menaikkan giro wajib minimum. Pemerintah berusaha mengurangi impor barang konsumsi, terutama minyak, meminta BUMN membeli kembali sahamnya, memberi insentif sektor riil, dan melonggarkan daftar negatif investasi.

Investor finansial melihat defisit neraca berjalan tak berkurang dalam waktu dekat dan nilai rupiah semakin tertekan. Mereka melihat kebijakan moneter dan fiskal tak cukup kuat mengatasi pelemahan nilai rupiah yang menekan pasar modal dan obligasi. Mereka lihat prospek ekonomi Indonesia negatif (jangka pendek), positif (jangka menengah).

Investor melihat memburuknya stabilitas ekonomi di Indone- sia memang dipengaruhi faktor eksternal, tetapi kebijakan moneter dan fiskal juga tak cukup cepat dan kuat. Kebijakan BI me- naikkan BI Rate dan stabilitas ke- uangan berimplikasi pada menurunkan kegiatan ekonomi. Konsumsi masyarakat, kredit, dan pertumbuhan ekonomi akan menurun. Inflasi diharapkan menurun, defisit transaksi berjalan menurun, dan rupiah stabil. Saat ekonomi dunia pulih, ekonomi Indonesia siap tumbuh tinggi lagi. Kementerian Keuangan masih berusaha menstimulasi ekonomi mempertahankan pertumbuhan ekonomi seperti asumsi APBN 6,3 persen meski sulit dicapai.

Harus diakui, dalam ketakpastian ekonomi global dan domestik, pertumbuhan menurun. Fokus kebijakan bukan pada stimulasi ekonomi mempertahankan pertumbuhan tinggi, tapi realistis jaga stabilitas, memperbaiki lingkungan investasi, dan menyiapkan ekonomi mengambil manfaat saat ekonomi global pulih. Golongan bawah yang paling terpukul dari penurunan kegiatan ekonomi harus dibantu.

Kredibilitas otoritas moneter dan fiskal rendah di mata pelaku ekonomi menurun saat ini. Keterlambatan implementasi kebijakan dan kurangnya sinergi mengecewakan pelaku ekonomi. Masalah eksternal tentu tidak dalam kendali penentu kebijakan, tetapi langkah antisipasi ternyata sangat terlambat.

Sangat sulit bagi penentu kebijakan menyatukan kepentingan yang beraneka dari investor keuangan, sektor riil, dan masyarakat. Investor keuangan menghendaki kenaikan suku bunga tinggi (1 persen) guna mengimbangi inflasi dan kemerosotan nilai rupiah. Namun, bagi sektor riil, kenaikan suku bunga tinggi akan mencekik mereka karena kenaikan biaya akan kian besar, investasi menurun, dan permintaan juga menurun.

Bagi masyarakat, kenaikan suku bunga yang tinggi akan mengalihkan dana mereka dari konsumsi jadi tabungan; dalam jangka pendek menurunkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi; serta hanya dalam jangka menengah akan mendorong investasi.

Meski demikian, dengan tekanan rupiah yang masih besar, BI mau tak mau harus menaikkan rate lagi untuk mengurangi kesenjangan antara bunga nominal dan inflasi. Sekalipun bunga riil (nominal dikurangi inflasi) masih negatif, pada saat inflasi kembali pada kecenderungannya: bunga riil akan positif lagi.
Paket kebijakan pemerintah mengurangi impor, memberi insentif, melonggarkan daftar negatif investasi, dan mengurangi hambatan investasi tak memberi hasil segera: masih menunggu apakah kebijakan itu dilakukan dan memberi hasil, atau hanya diputuskan tapi tak dijalankan.

Belakangan ini kebijakan ekonomi cenderung makin melihat ke dalam dengan semakin membatasi peran serta modal asing. Kebijakan ini baik untuk mendukung perkembangan pelaku domestik dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Namun, harus disadari besarnya keterbatasan modal dan kemampuan dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan mendorong kemampuan dalam negeri harus selektif dan serius didukung pengembangannya. Jika tidak, ia akan gagal dan hanya akan menghambat perkembangan ekonomi.

Keterbukaan bagi investasi harus kita lakukan, terutama di sektor yang sangat membutuhkan modal dan teknologi, seperti migas. Di sektor manufaktur, investasi mestinya difasilitasi industri yang berkembang rangkaian nilai tambah global yang dapat meningkatkan ekspor. Di sektor sensitif (perbankan dan jasa) perlu ditetapkan asing dibolehkan mayoritas. Bagi investor, kepemilikan mayoritas ini penting bagi konsolidasi modal dan jaringan pemasaran mereka. Namun, secara keseluruhan sektor dan ekonomi, kepemilikan asing semestinya tak melebihi tingkat tertentu, katakan 40 persen.

Dalam jangka pendek, sektor keuangan masih akan mendapat tekanan. Kemungkinan rupiah juga masih tertekan. Namun, dalam jangka menengah, ekonomi kita tetap prospektif. Yang harus dilakukan: menjaga keseimbangan ekonomi pada saat ekonomi dunia, terutama AS, bergeser ke keseimbangan baru. Modal finansial kembali ke AS meninggalkan negara berkembang.

Masa aliran modal finansial dalam jumlah besar ke negara berkembang telah berakhir. Namun, modal tetap akan mengalir di mana imbal hasil tinggi. Dalam jangka pendek kita harus dapat menjaga stabilitas ekonomi meski terjadi pelemahan. Upaya serius harus dilakukan, yaitu memperbaiki lingkungan untuk berkembangnya investasi dan perekonomian yang lebih kuat sehingga ketika ekonomi dunia pulih kembali, kita dapat mengambil manfaat secara optimal. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar