Kamis, 05 September 2013

Gejolak Ekonomi Tahu Tempe

Gejolak Ekonomi Tahu Tempe
Yuli Afriyandi  ;   Bekerja di Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil Yogyakarta
KORAN JAKARTA, 05 September 2013


Pada masa Orde Baru, pembangunan pertanian dan swasembada pangan serta pengembangan perkebunan untuk ekspor menjadi gagasan penting, dan hingga kini, semangat itu sebetulnya belum luntur. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, swasembada untuk lima komoditas utama, yakni beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, juga menjadi prioritas kinerja
Beberapa hari terakhir ini, muncul persoalan ekonomi nasional, seperti pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS serta gejolak harga komoditas kedelai, bahan baku utama tahu tempe yang notabene merupakan makanan yang sudah merakyat.

Lonjakan harga kedelai beberapa hari terakhir berkaitan dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Penguatan dollar AS mencekik importir karena harga tak terkendali, termasuk kedelai. Indonesa memang belum lepas dari kebergantungan pada bahan baku impor. Situasi itu antara lain merupakan produk dari liberalisasi perdagangan WTO di sektor pertanian. Lihat saja, per April 2013, impor pangan telah mencapai 2,23 miliar dollar AS.

Dengan demikian, persoalan lonjakan harga kedelai merupakan ancaman para produsen makanan kecil seperti tahu dan tempe yang selama ini dikenal sebagai pekerja di sektor informal. Padahal, sektor inilah yang menciptakan lapangan pekerjaan terbesar.

Tempe tahu merupakan produk dengan segmen pasar banyak dari kalangan menengah ke bawah. Artinya sedikit saja ada perubahan harga, pasar akan cepat merespons karena ciri-ciri konsumennya sangat peka kenaikan harga walau tidak serta-merta menghilangkan permintaan. Kalaupun ada penurunan permintaan, tidak drastis karena tahu tempe sudah menjadi santapan sehari-hari.

Dengan kenyataan itu, mestinya pemerintah menjaga harga tetap atau stabil, jangan membiarkan naik, agar tidak membeni rakyat. Masyarakat yang hanya dapat membeli lauk tahu tempe, bila harga meninggi, bisa saja mereka kehilangan daya beli sehingga tidak mampu menyantap dengan lauk. Ini akan menurunkan tingkat kecerdasan warga.

Pada awal 2011, harga kedelai juga melonjak. Demikian juga pada pertengahan tahun 2012, bakan harganya naik 40 persen. Kini, gonjang-ganjing tahu tempe terulang. Pemerintah seakan-akan tidak berdaya mengatasinya. Tidak ada langkah konkret dari pemerintah guna mencari solusi. Impor pun tidak banyak bermanfaat kalau dipegang segelintir orang. Ini harus kembali menyadarkan pemerintah untuk menggenjot produksi atau menggencarkan pertanian kedelai dalam negeri.

Selain itu, banyak pihak menilai bahwa pemerintah, dalam mengatasi lonjakan komoditas pangan lainnya, selalu mengambil langkah reaktif sebagai pemecahan darurat atau jangka pendek sekali. Pertengahan tahun 2012 lalu, pemerintah memberi insentif bebas bea masuk impor dari 5 persen menjadi 0 persen untuk mengatasi lonjakan harga kedelai. Walaupun dinilai tepat, keputusan ini hanya sementara.

Pemerintah harus sadar bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Sungguh ironis jika bangsa ini terus menjadi pengimpor, apalagi komoditas yang notabene bisa dihasilkan sendiri di dalam negeri. Bangsa ini tidak boleh lupa akan cita-cita besar mewujudkan swasembada pangan. Jika terus demikian, swasemba sektoral pun sulit, apalagi pangan secara keseluruhan. Beras yang pernah swasembada, kini tidak lagi. Bagaimana mau swasembada pangan?

Komitmen 

Para founding fathers seperti Bung Karno gigih memperjuangkan kemandirian ekonomi. Ia menyatakan, "Perasaan dan pikiran saya mengenai ekonomi adalah sederhana, amat sederhana. Boleh dirumuskan sebagai berikut. Kalau bangsa-bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan tandus bisa memecahkan persoalan ekonominya, kenapa kita tidak?" (Amanat Proklamasi IV:99).

Syafruddin Prawiranegara yang dijuluki The Guardian of Monetary Stability, memunculkan gagasan untuk membangun sektor pertanian sebagai tulang punggung industrialisasi dengan mengembangkan tanaman pangan untuk mencapai swasembada.

Pada masa Orde Baru, pembangunan pertanian dan swasembada pangan serta pengembangan perkebunan untuk ekspor menjadi gagasan penting, dan hingga kini semangat itu sebetulnya belum luntur. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, swasembada untuk lima komoditas utama, yakni beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, juga menjadi prioritas kinerja.

Namun kenyataannya, sampai saat ini, swasembada itu masih sangat sulit diwujudkan. Contohnya saja untuk kedelai yang sampai saat ini masih impor yang mencapai 1,4 juta - 1,6 juta ton dari kebutuhan nasional 2,2 juta ton per tahun.

Harapan dan komitmen pemerintah mewujudkan swasembada komoditas-komoditas tadi, khususnya kedelai, untuk tahun 2014 akan sulit dicapai jika tidak ada kebijakan yang revolusioner. Kebijakan pemerintah dalam membuka keran impor, apalagi dengan membebaskan bea masuk impor seperti kedelai pada 2012 lalu, jangan terulang. Sebab langkah tersebut justru akan merugikan petani lokal dan hanya menguntungkan segelintir orang. Semestinya pemerintah tetap tegas mengenakan bea masuk, dan dana itu dikembalikan kepada petani sebagai insentif melalui beragam program.

Pemerintah diharapkan tetap komitmen dan serius dalam mewujudkan swasembada tersebut. Berbagai persoalan dalam pelaksanaan program swasembada, seperti permainan harga yang merugikan petani, keterbatasan lahan, tidak terintegrasinya program, dan persoalan irigasi, harus segera diatasi. Hanya dengan begitu, bangsa Indonesia tidak lagi diributkan persoalan remeh-temeh seperti tahu tempe. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar