|
KENAIKAN harga kedelai di banyak daerah di Indonesia yang
sudah melebihi Rp 10.000 per kilogram makin mengancam kebangkrutan perajin tahu
dan tempe. Meningkatnya biaya produksi tidak bisa serta merta dialihkan pada
harga jual produk karena kebanyakan konsumen tahu dan tempe berkantong
terbatas.
Perajin telah melakukan berbagai siasat, antara lain
mengurangi volume produksi atau mencampur kedelai dengan jagung, kecipir dan
sebagainya. Persoalannya, pencampuran itu berdampak pada rasa dan kemenurunan
minat beli masyarakat kendati kandungan gizi kecipir lebih tinggi (SM, 4/9/13).
Terus naiknya harga kedelai ditambah kelambanan pemerintah
mengambil langkah untuk menstabilkan harga membuat sejumlah perajin tahu dan
tempe berencana mogok produksi pada 9-11 September 2013. Seandainya pemogokan
itu terjadi, berita mengenai hal itu melakukan.
Mau ditaruh di mana wajah Indonesia yang dulu terkenal
dengan sebutan negara agraris, tapi kini tak mampu mengatasi masalah naiknya
harga kedelai. Padahal jumlah perajin tahu dan tempe sangat banyak, serta
banyak menyerap tenaga kerja sehingga menambah kekhawatiran makin meningkatkan
angka pengangguran.
Ketepatan
Perencanaan
Mengapa harga kedelai tiba-tiba melonjak demikian tinggi di
Indonesia? Keadaan ini karena sekitar 70% komoditas itu diimpor, dan AS punya
pangsa impor terbesar. Kenaikan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang sudah
di atas Rp 10.000, juga cuaca ekstrem di AS dan berbagai negara produsen besar
kedelai, menyebabkan pangsa ekspor komoditas itu mengalami penurunan.
Dua alasan itu dianggap berperan pada kemelonjakan harga
kedelai saat ini. Walaupun siapa tahu ada faktor lain yang ikut berperan tetapi
sering tidak dikemukakan. Beberapa waktu lalu, harga kedelai juga naik drastis
seperti sekarang, dan pemerintah kita menyatakan hal itu karena terjadi
perubahan iklim yang ekstrem di AS yang menyebabkan produksi menurun.
Anehnya, kenaikan harga kedelai di AS jauh lebih rendah
dari di Indonesia (nilai tukar dolar AS terhadap rupiah waktu itu stabil).
Ironi itu menggambarkan ada permainan spekulasi dari importir kedelai yang
tidak dikemukakan ke publik. Bisa jadi, di balik kenaikan harga impor kedelai
waktu itu dan sekarang karena permainan pihak-pihak tertentu dengan importir
untuk mencari keuntungan di balik kesengsaraan masyarakat.
Siapa tahu modus itu merupakan turunan dari kartel impor
pangan seperti daging, bawang, ataupun komoditas lain. Jika hal itu yang
terjadi maka kebijakan apa pun yang akan diambil tetap saja bersifat jangka
pendek dan mirip ìmanajemen pemadam kebakaranî, yang bekerja kalau muncul suatu
masalah. Setelah kondisi relatif normal maka mekanisme pasar tetap saja
berlaku.
Seandainya terjadi masalah serupa pada komoditas lain, akan
ditanggapi dengan kebijakan serupa jangka pendek. Akhirnya, masalah sebenarnya
tidak terpecahkan, dan solusinya pun hanya semu. Kita bisa mengartikan
pencarian rente yang menguntungkan pihak-pihak tertentu tetap saja berjalan,
sementara masyarakat dirugikan, bahkan komoditas strategis kita terpinggirkan.
Penyakit moral tersebut semestinya cepat diobati bila orientasi kebijakan
publik bersifat populis, dan menguntungkan rakyat.
Kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang harus
ditetapkan supaya bisa cepat mencapai swasembada komoditas strategis, salah
satunya kedelai. Selama komoditas strategis itu bergantung pada pihak lain,
keadaan pangan di dalam negeri mudah dipermainkan negara lain dengan meminjam
kaki tangan domestik.
Swasembada Kedelai
Swasembada kedelai jadi tantangan menarik untuk
direalisasikan, kendati harus dengan teknologi khusus. Kita bisa belajar pada
Arab Saudi yang dapat ‘’menumbuhkan’’ tanaman tropis di daerah gurun berpasir.
Orang Saudi tak segan-segan membawa tanah dari daerah
tropis untuk dilapiskan pada tanah gurun, lalu menanaminya dengan berbagai
jenis tanaman tropis dengan pupuk dan teknologi khusus, termasuk penyiraman
secara teratur. Kita bisa melihat di negara tersebut ada daerah gurun yang
berubah menjadi ijo royo-royo,
sementara banyak tanah di daerah tropis yang tadinya subur kehijauan tapi
karena keserakahan manusia lambat laun berubah menjadi padang yang tandus,
seperti halnya tanah gurun.
Perajin tempe dan tahu juga senang memakai kedelai impor
dengan alasan memiliki kualitas lebih bagus sehingga produk tahu tempenya pun
lebih baik. Waktu memasaknya pun lebih singkat sehingga bisa menekan biaya
produksi. Ahli pertanian Indonesia pasti mampu menghasilkan varietas kedelai
bermutu tinggi, tidak kalah dari kedelai impor, asalkan diberi dana untuk
mengadakan penelitian.
Persoalannya, seperti diungkap oleh Ann Dunham, ibunda
Presiden Obama, penyakit orang Indonesia adalah terlalu kagum pada luar negeri
sehingga lupa kemampuan dirinya, yang sejatinya sangat pandai, dan cocok dengan
kondisi negara agraris. Kepandaian bertani kita kemudian diambil pihak lain
sehingga industri nasional pun bergantung pada luar negeri. Perlu terus
mengejar jati diri sebagai negara industri berbasis pertanian, termasuk dalam
industri berbasis kedelai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar