Minggu, 08 September 2013

Kedelai dan Jati Diri Industri

Kedelai dan Jati Diri Industri
Purbayu Budi Santosa  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 07 September 2013


KENAIKAN harga kedelai di banyak daerah di Indonesia yang sudah melebihi Rp 10.000 per kilogram makin mengancam kebangkrutan perajin tahu dan tempe. Meningkatnya biaya produksi tidak bisa serta merta dialihkan pada harga jual produk karena kebanyakan konsumen tahu dan tempe berkantong terbatas.

Perajin telah melakukan berbagai siasat, antara lain mengurangi volume produksi atau mencampur kedelai dengan jagung, kecipir dan sebagainya. Persoalannya, pencampuran itu berdampak pada rasa dan kemenurunan minat beli masyarakat kendati kandungan gizi kecipir lebih tinggi (SM, 4/9/13).

Terus naiknya harga kedelai ditambah kelambanan pemerintah mengambil langkah untuk menstabilkan harga membuat sejumlah perajin tahu dan tempe berencana mogok produksi pada 9-11 September 2013. Seandainya pemogokan itu terjadi, berita mengenai hal itu melakukan.

Mau ditaruh di mana wajah Indonesia yang dulu terkenal dengan sebutan negara agraris, tapi kini tak mampu mengatasi masalah naiknya harga kedelai. Padahal jumlah perajin tahu dan tempe sangat banyak, serta banyak menyerap tenaga kerja sehingga menambah kekhawatiran makin meningkatkan angka pengangguran.

Ketepatan Perencanaan

Mengapa harga kedelai tiba-tiba melonjak demikian tinggi di Indonesia? Keadaan ini karena sekitar 70% komoditas itu diimpor, dan AS punya pangsa impor terbesar. Kenaikan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang sudah di atas Rp 10.000, juga cuaca ekstrem di AS dan berbagai negara produsen besar kedelai, menyebabkan pangsa ekspor komoditas itu mengalami penurunan.

Dua alasan itu dianggap berperan pada kemelonjakan harga kedelai saat ini. Walaupun siapa tahu ada faktor lain yang ikut berperan tetapi sering tidak dikemukakan. Beberapa waktu lalu, harga kedelai juga naik drastis seperti sekarang, dan pemerintah kita menyatakan hal itu karena terjadi perubahan iklim yang ekstrem di AS yang menyebabkan produksi menurun.

Anehnya, kenaikan harga kedelai di AS jauh lebih rendah dari di Indonesia (nilai tukar dolar AS terhadap rupiah waktu itu stabil). Ironi itu menggambarkan ada permainan spekulasi dari importir kedelai yang tidak dikemukakan ke publik. Bisa jadi, di balik kenaikan harga impor kedelai waktu itu dan sekarang karena permainan pihak-pihak tertentu dengan importir untuk mencari keuntungan di balik kesengsaraan masyarakat.

Siapa tahu modus itu merupakan turunan dari kartel impor pangan seperti daging, bawang, ataupun komoditas lain. Jika hal itu yang terjadi maka kebijakan apa pun yang akan diambil tetap saja bersifat jangka pendek dan mirip ìmanajemen pemadam kebakaranî, yang bekerja kalau muncul suatu masalah. Setelah kondisi relatif normal maka mekanisme pasar tetap saja berlaku.

Seandainya terjadi masalah serupa pada komoditas lain, akan ditanggapi dengan kebijakan serupa jangka pendek. Akhirnya, masalah sebenarnya tidak terpecahkan, dan solusinya pun hanya semu. Kita bisa mengartikan pencarian rente yang menguntungkan pihak-pihak tertentu tetap saja berjalan, sementara masyarakat dirugikan, bahkan komoditas strategis kita terpinggirkan. Penyakit moral tersebut semestinya cepat diobati bila orientasi kebijakan publik bersifat populis, dan menguntungkan rakyat.

Kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang harus ditetapkan supaya bisa cepat mencapai swasembada komoditas strategis, salah satunya kedelai. Selama komoditas strategis itu bergantung pada pihak lain, keadaan pangan di dalam negeri mudah dipermainkan negara lain dengan meminjam kaki tangan domestik.

Swasembada Kedelai

Swasembada kedelai jadi tantangan menarik untuk direalisasikan, kendati harus dengan teknologi khusus. Kita bisa belajar pada Arab Saudi yang dapat ‘’menumbuhkan’’ tanaman tropis di daerah gurun berpasir.

Orang Saudi tak segan-segan membawa tanah dari daerah tropis untuk dilapiskan pada tanah gurun, lalu menanaminya dengan berbagai jenis tanaman tropis dengan pupuk dan teknologi khusus, termasuk penyiraman secara teratur. Kita bisa melihat di negara tersebut ada daerah gurun yang berubah menjadi ijo royo-royo, sementara banyak tanah di daerah tropis yang tadinya subur kehijauan tapi karena keserakahan manusia lambat laun berubah menjadi padang yang tandus, seperti halnya tanah gurun.

Perajin tempe dan tahu juga senang memakai kedelai impor dengan alasan memiliki kualitas lebih bagus sehingga produk tahu tempenya pun lebih baik. Waktu memasaknya pun lebih singkat sehingga bisa menekan biaya produksi. Ahli pertanian Indonesia pasti mampu menghasilkan varietas kedelai bermutu tinggi, tidak kalah dari kedelai impor, asalkan diberi dana untuk mengadakan penelitian.


Persoalannya, seperti diungkap oleh Ann Dunham, ibunda Presiden Obama, penyakit orang Indonesia adalah terlalu kagum pada luar negeri sehingga lupa kemampuan dirinya, yang sejatinya sangat pandai, dan cocok dengan kondisi negara agraris. Kepandaian bertani kita kemudian diambil pihak lain sehingga industri nasional pun bergantung pada luar negeri. Perlu terus mengejar jati diri sebagai negara industri berbasis pertanian, termasuk dalam industri berbasis kedelai. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar