|
Data World Bank menyebutkan
sepanjang 2013, harga properti terus mengalami kenaikan rata-rata 4%. Khusus di
Jakarta, harga apartemen naik sebesar 45%, harga jual kantor naik 43%, kredit
apartemen naik menjadi 84%, sedangkan sewa tanah untuk industri naik menjadi
22%.
Memang, banyak faktor yang
mempengaruhi kenapa harga properti menjadi makin melonjak saat ini, antara lain
karena faktor permintaan (demand) dan
penawaran (supply) yang tidak
seimbang, dan kemudian menjadi sasaran empuk para spekulan. Ini riil terjadi di
lapangan, apalagi di daerah atau lahan-lahan strategis. Faktor psikologis
masyarakat seperti iklan bombastis di televisi dengan 'menggoreng harga'
sendiri diduga menjadi biang kenaikan harga perumahan. Yang kemudian men-drive
untuk berpikir pada tataran harga psikis versi mereka. Jadi, bukan harga wajar
akibat mekanisme pasar.
Di samping itu, faktor tanggung
jawab penanganan Pajak Bumi Bangunan (PBB) dari Ditjen Pajak ke Pemda-pemda
disinyalir juga sebagai pemicu naiknya harga-harga properti. Logikanya,
Pemda-pemda ini ingin meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD)nya dengan jalan
menaikkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), dengan demikian nilai pajaknya juga
akan naik. NJOP yang naik ini mendorong keseimbangan harga baru pada nilai
properti-properti yang ada. Sebaliknya banyak juga transaksi jual beli, namun
NJOPnya jauh di bawah harga pasar seperti yang terjadi pada harga rumah-rumah
mewah.
Sementara itu akibat ulah para
spekulan ini pula, mendorong konsumen tidak lagi berpikir rasional. Apalagi didukung
lokasi properti yang berada di daerah strategis, maka harga menjadi terus
'tergoreng'. Nah, inilah yang akan melambungkan harga, yang menjadikan bubble dan dikhawatirkan bila konsumen default dan tidak mempunyai kemampuan
membayar cicilan. Akibatnya, bisa terjadi kredit macet yang selanjutnya dapat
memicu kebangkrutan di sektor perbankan dan dapat menjalar ke sektor keuangan
lainnya.
Sebenarnya perkembangan bisnis
sektor properti menunjukkan tren yang sangat positif. Hal ini ditandai dengan
adanya kenaikan harga properti di beberapa daerah seperti Surabaya, Bali,
Makasar, Medan, Palembang, Yogyakarta serta Jabodetabek pada khususnya, antara
lain daerah Serpong, Kalibata, Kelapa Gading dan lain-lain yang menunjukkan
harga tidak wajar yang memungkinkan terjadinya gejala overheating di sektor properti ini.
Bila dilihat dari pergerakan
indeks harga properti, meskipun pada 2013 terjadi kenaikan harga, secara
keseluruhan pertumbuhan harga properti masih relatif stabil, bahkan masih lebih
rendah dibanding kondisi tahun 2006. Kenaikan harga ini lebih disebabkan oleh
peningkatan demand, baik untuk
keperluan perkantoran maupun tempat hunian, dan sebagian kecil untuk motif
spekulasi. Tingkat suku bunga yang relatif rendah sepanjang 2013, meningkatnya
jumlah penduduk kelas menengah, bertambahnya office space occupancy rate, dan
membaiknya infrastruktur di Jabodetabek juga memberikan andil terhadap naiknya
harga properti.
Dari beberapa alasan tersebut pada
dasarnya overheating di sektor
properti masih dalam taraf belum mengkhawatirkan. Namun demikian, pemerintah
tetap perlu waspada dan mengambil langkah antisipatif terhadap gejala-gejala
terjadinya overheating di sektor properti ini. Sebagai antisipasi, pemerintah
perlu lebih selektif memberikan pembiayaan subsidi properti perumahan.
Kemudian, mempertimbangkan pemberlakuan pajak progresif kepemilikan properti
untuk meredam permintaan properti yang tidak rasional. Dan, yang penting,
selalu berpihak pada pembangunan perumahan untuk masyarakat berpengahasilan
rendah.
Terkait pengenaan pajak progresif
dalam implementasinya saat ini banyak mengalami kendala. Pertama, apabila
diterapkan apakah masuk PBB atau pada pajak penghasilan dan bagaimana
mekanismenya. Kedua, apakah Pemda yang mengenakan ataukah pemerintah pusat, dan
bagaimana sharing-nya. Masalah berikutnya adalah sulitnya data dan informasi
kepemilikan rumah. Oleh karena itu, bila ingin menerapkan pajak progresif pada
sektor properti maka Single Identity
Number (SIN) sangat diperlukan.
Cita-cita terwujudnya SIN di Indonesia
sejak lebih dari puluhan tahun lalu hingga kini, yang belum juga terwujud. Oleh
karena itu, panitia harus tetap didorong oleh semua pihak, karena mempunyai
banyak manfaat. Dengan SIN inilah akan lebih mudah untuk mengidentifikasi dan
mendeteksi si A memiliki berapa properti selain sebagai tempat tinggal. Seperti
halnya pajak progresif kendaraan, sebagai keynya adalah alamat/domisili. Berapa
kendaraan bermotor yang berada di alamat tersebut maka akan mudahlah mengenakan
pajak. Termasuk, pendeteksi pembayaran kewajiban seseorang seperti membayar
PBB.
Untuk mengerem harga properti,
maka perlu dilakukan oleh semua regulator secara bersama-sama sehingga
kebijakan yang diambil bukan kebijakan ego sektoral. Seperti dari sisi
perbankan (Bank Indonesia). Hal ini terkait dengan penentuan tingkat suku
bunga, penerapan loan to value (LTV),
capital inflow dan outflow.
Demikian juga pemerintah,
diharapkan dapat membuat kebijakan terkait fiskal, bukan hanya pengenaan pajak
seperti pajak progresif tadi, tetapi juga melakukan perbaikan infrastruktur
yang banyak melibatkan banyak kementerian dan lembaga seperti PU terkait sarana
prasarana jalan, perhubungan terkait infrastruktur transportasi dan lain-lain.
Demikian juga Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) terkait harga saham perusahaan-perusahaan pengembang. Dan, tidak
kalah penting juga Pemda sebagai regulator di daerah terkait perizinan, tanah,
rencana tata ruang dan lain-lain. Terakhir, di beberapa maju saat ini
pengendalian pembelian properti melalui instrumen PBB dengan sistem perpajakan
yang sudah bagus dan yang penting lagi, tidak dikorupsi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar