Minggu, 08 September 2013

Kian Sulit, Rumah Murah untuk MBR

Kian Sulit, Rumah Murah untuk MBR
Ragimun  ;   Peneliti Kebijakan Fiskal di  Kemenkeu,
Alumnus International Management Institute New Delhi India
SUARA KARYA, 07 September 2013


Data World Bank menyebutkan sepanjang 2013, harga properti terus mengalami kenaikan rata-rata 4%. Khusus di Jakarta, harga apartemen naik sebesar 45%, harga jual kantor naik 43%, kredit apartemen naik menjadi 84%, sedangkan sewa tanah untuk industri naik menjadi 22%.

Memang, banyak faktor yang mempengaruhi kenapa harga properti menjadi makin melonjak saat ini, antara lain karena faktor permintaan (demand) dan penawaran (supply) yang tidak seimbang, dan kemudian menjadi sasaran empuk para spekulan. Ini riil terjadi di lapangan, apalagi di daerah atau lahan-lahan strategis. Faktor psikologis masyarakat seperti iklan bombastis di televisi dengan 'menggoreng harga' sendiri diduga menjadi biang kenaikan harga perumahan. Yang kemudian men-drive untuk berpikir pada tataran harga psikis versi mereka. Jadi, bukan harga wajar akibat mekanisme pasar.

Di samping itu, faktor tanggung jawab penanganan Pajak Bumi Bangunan (PBB) dari Ditjen Pajak ke Pemda-pemda disinyalir juga sebagai pemicu naiknya harga-harga properti. Logikanya, Pemda-pemda ini ingin meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD)nya dengan jalan menaikkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), dengan demikian nilai pajaknya juga akan naik. NJOP yang naik ini mendorong keseimbangan harga baru pada nilai properti-properti yang ada. Sebaliknya banyak juga transaksi jual beli, namun NJOPnya jauh di bawah harga pasar seperti yang terjadi pada harga rumah-rumah mewah.
Sementara itu akibat ulah para spekulan ini pula, mendorong konsumen tidak lagi berpikir rasional. Apalagi didukung lokasi properti yang berada di daerah strategis, maka harga menjadi terus 'tergoreng'. Nah, inilah yang akan melambungkan harga, yang menjadikan bubble dan dikhawatirkan bila konsumen default dan tidak mempunyai kemampuan membayar cicilan. Akibatnya, bisa terjadi kredit macet yang selanjutnya dapat memicu kebangkrutan di sektor perbankan dan dapat menjalar ke sektor keuangan lainnya.

Sebenarnya perkembangan bisnis sektor properti menunjukkan tren yang sangat positif. Hal ini ditandai dengan adanya kenaikan harga properti di beberapa daerah seperti Surabaya, Bali, Makasar, Medan, Palembang, Yogyakarta serta Jabodetabek pada khususnya, antara lain daerah Serpong, Kalibata, Kelapa Gading dan lain-lain yang menunjukkan harga tidak wajar yang memungkinkan terjadinya gejala overheating di sektor properti ini.

Bila dilihat dari pergerakan indeks harga properti, meskipun pada 2013 terjadi kenaikan harga, secara keseluruhan pertumbuhan harga properti masih relatif stabil, bahkan masih lebih rendah dibanding kondisi tahun 2006. Kenaikan harga ini lebih disebabkan oleh peningkatan demand, baik untuk keperluan perkantoran maupun tempat hunian, dan sebagian kecil untuk motif spekulasi. Tingkat suku bunga yang relatif rendah sepanjang 2013, meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah, bertambahnya office space occupancy rate, dan membaiknya infrastruktur di Jabodetabek juga memberikan andil terhadap naiknya harga properti.

Dari beberapa alasan tersebut pada dasarnya overheating di sektor properti masih dalam taraf belum mengkhawatirkan. Namun demikian, pemerintah tetap perlu waspada dan mengambil langkah antisipatif terhadap gejala-gejala terjadinya overheating di sektor properti ini. Sebagai antisipasi, pemerintah perlu lebih selektif memberikan pembiayaan subsidi properti perumahan. Kemudian, mempertimbangkan pemberlakuan pajak progresif kepemilikan properti untuk meredam permintaan properti yang tidak rasional. Dan, yang penting, selalu berpihak pada pembangunan perumahan untuk masyarakat berpengahasilan rendah.

Terkait pengenaan pajak progresif dalam implementasinya saat ini banyak mengalami kendala. Pertama, apabila diterapkan apakah masuk PBB atau pada pajak penghasilan dan bagaimana mekanismenya. Kedua, apakah Pemda yang mengenakan ataukah pemerintah pusat, dan bagaimana sharing-nya. Masalah berikutnya adalah sulitnya data dan informasi kepemilikan rumah. Oleh karena itu, bila ingin menerapkan pajak progresif pada sektor properti maka Single Identity Number (SIN) sangat diperlukan.

Cita-cita terwujudnya SIN di Indonesia sejak lebih dari puluhan tahun lalu hingga kini, yang belum juga terwujud. Oleh karena itu, panitia harus tetap didorong oleh semua pihak, karena mempunyai banyak manfaat. Dengan SIN inilah akan lebih mudah untuk mengidentifikasi dan mendeteksi si A memiliki berapa properti selain sebagai tempat tinggal. Seperti halnya pajak progresif kendaraan, sebagai keynya adalah alamat/domisili. Berapa kendaraan bermotor yang berada di alamat tersebut maka akan mudahlah mengenakan pajak. Termasuk, pendeteksi pembayaran kewajiban seseorang seperti membayar PBB.

Untuk mengerem harga properti, maka perlu dilakukan oleh semua regulator secara bersama-sama sehingga kebijakan yang diambil bukan kebijakan ego sektoral. Seperti dari sisi perbankan (Bank Indonesia). Hal ini terkait dengan penentuan tingkat suku bunga, penerapan loan to value (LTV), capital inflow dan outflow.

Demikian juga pemerintah, diharapkan dapat membuat kebijakan terkait fiskal, bukan hanya pengenaan pajak seperti pajak progresif tadi, tetapi juga melakukan perbaikan infrastruktur yang banyak melibatkan banyak kementerian dan lembaga seperti PU terkait sarana prasarana jalan, perhubungan terkait infrastruktur transportasi dan lain-lain.


Demikian juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait harga saham perusahaan-perusahaan pengembang. Dan, tidak kalah penting juga Pemda sebagai regulator di daerah terkait perizinan, tanah, rencana tata ruang dan lain-lain. Terakhir, di beberapa maju saat ini pengendalian pembelian properti melalui instrumen PBB dengan sistem perpajakan yang sudah bagus dan yang penting lagi, tidak dikorupsi! ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar