Minggu, 08 September 2013

Kepemilikan Acara Miss World

Kepemilikan Acara Miss World
Akhmad Said Asrori  ;   Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, Pengasuh Ponpes Raudlatut Thullab Magelang
SUARA MERDEKA, 07 September 2013


DALAM acara sebuah televisi swasta, host, Angelina Sondakh, yang waktu itu belum lama ikut pergelaran Miss World, dan belum berstatus anggota DPR (apalagi tahanan KPK), mengajukan pertanyaan kepada Gus Dur.

”Kalau Anda jadi presiden, setujukah seandainya pemilihan Miss World digelar di Indonesia?” Gus Dur enteng menjawab, ”Anda ini bagaimana. Nanya gitu kok sama santri.” Sontak terdengar suara tawa bergemuruh di studio, barangkali juga para pemirsa di rumah dirambati rasa geli.

Angie tampak ikut tersenyum tanpa bisa mengajukan pertanyaan susulan. Bagi penulis, yang tiap hari tinggal di dusun, jawaban Gus Dur seperti itu sangat melegakan. Persoalan dan kontroversi di negeri ini terkait isu Miss World ibarat rutinitas tahunan, entah soal perwakilan Indonesia yang mengenakan busana kurang bahan sampai untung rugi jika Indonesia menjadi tuan rumah.

Penulis melihat bahwa persoalan Miss World hanyalah satu contoh dari sekian banyak ”barang dagangan” yang dikemas dengan label dan status tertentu secara sosial, untuk kemudian ”diperjualbelikan” secara moral agar mendapat perhatian khalayak. Ilustrasinya kurang lebih begini.

Jika Anda produser film, usahakan film yang Anda buat segera menyandang status ”haram ditonton”. Biarkan orang-orang geger dengan sendirinya. Makin geger berarti makin bagus karena banyak pihak penasaran. Semakin banyak orang penasaran, semakin tinggi tingkat penjualan tiket film yang Anda buat.

Model semacam ini sering diterapkan dalam banyak hal dan tumbuh subur dalam mentalitas kanak-kanak masyarakat konsumtif. Dilarang sama artinya dianjurkan. Maka jawaban Gus Dur sepert itu, mengajarkan kita untuk tak mudah terjebak dalam perangkap hitam putih yang acap diwacanakan secara dangkal oleh mainstream media massa.

Pemilihan Miss World boleh saja diklaim sebagai ajang kecantikan, kemolekan, dan kecerdasan perempuan. Silakan juga diklaim sebagai media kampanye pariwisata untuk menggenjot devisa, investasi, dan citra Indonesia di mata dunia. Kalau kurang puas, sekalian saja diklaim dengan istilah ”media dakwah budaya Indonesia”.

Semua klaim itu hanyalah persoalan pinggiran. Toh lebih penting mengurus pendidikan generasi ketimbang memperlombakan kecerdasan dan kecantikan sekaligus. Lebih utama menjamin keselamatan TKI yang bekerja di luar negeri jika kita bicara devisa negara. Lebih penting menertibkan keruwetan birokrasi kalau yang dicari investasi. Alhasil, pokok soalnya, sekali lagi, terletak pada alur barang dagangan di pasar bebas moral.

Cara Pikir

Beberapa waktu lalu, Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqil Siradj dalam kapasitasnya sebagai Ketua Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPUI) mengeluarkan pernyataan sikap yang intinya menolak penyelenggaraan Miss World di Indonesia. Pernyataannya diikuti dengan kalimat, ”Jika perhelatan Miss World tetap berlangsung, kami tidak ikut bertanggung jawab secara moral dan budaya.”

Ibarat surat, kepada siapa pernyataan dialamatkan? Saya yakin bukan para partisipan Miss World sebab mereka hanya orang-orang yang menjadi boneka dari para pihak yang berkepentingan dengan bisnis tertentu. Bukan pula masyarakat luas, karena justru khalayaklah yang dijual di hadapan para pengiklan.

Kiai Said menujukan kalimat-kalimat itu kepada pedagang grosir, eceran, sekaligus makelar yang berkepentingan dengan acara tersebut. Komoditas mereka pada dasarnya hanya isu. Hanya meski sebatas isu, ia bisa membawakan dampak fisik yang tak remeh. Wajar jika Kiai Said juga menyebutkan pertimbangannya bahwa unsur mudarat kegiatan seperti itu lebih banyak ketimbang kemaslahatannya.

Pernyataan Kiai Said merupakan kelanjutan dari cara Gus Dur melihat dan menyikapi pelbagai persoalan. Itulah warisan Gus Dur: ilmu al ahwal, yaitu ilmu tentang kompleksitas kenyataan dan bagaimana menghadapinya. Ini sejenis pengetahuan yang bisa didapatkan setelah seseorang mendalami idealitas Islam hingga ke hal-hal paling rinci, dan kemudian menyilangkannya dengan realitas kehidupan.
Idealitas berurusan dengan kebenaran normatif, sedang realitas berkenaan dengan kemaslahatan bersama. Ilmu al ahwal terasa kian penting karena perang wacana secara sengaja makin dirembetkan pada segi-segi kearifan kultural bangsa. Ekspresinya makin telanjang dalam keseharian.

Dari sisi kanan ada serangan ekstremis atas nama agama, dari sisi kiri ada fundamentalis atas nama pasar bebas. Daya tahan bangsa ini terus dikepung dan digencet. Salah satunya melalui pergelaran Miss World kali ini.


Penulis teringat salah satu puisi Gus Mus. Sambil membayangkan wajah pedagang grosir, eceran, dan makelar Miss World, yang dengan ramah dan gembira, mengucapkan ”Selamat Datang di Negeri Daging!” ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar