Rabu, 11 September 2013

Satu dari Empat Orang Korupsi

Satu dari Empat Orang Korupsi
Siti Nuryati  ;     Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Peraih penghargaan Menko Kesra RI atas Gagasan
Pengentasan Kemiskinan dan Perluasan Kesempatan Kerja (2008)
SUARA KARYA, 11 September 2013


Korupsi di dunia makin parah ditandai dengan pengakuan bahwa satu dari empat orang mengatakan melakukan suap dalam dua tahun ini. Kesimpulan ini didapat dari survei global baru-baru ini, yang dilakukan organisasi Transparency International (TI) di 107 negara dengan melibatkan 114.00 responden. Barometer Korupsi Global tahunan menemukan 27 persen responden mengatakan membayar suap ketika mengakses layanan dan institusi publik tahun lalu.

Korupsi Parpol?

Dari survei TI tersebut terungkap bahwa orang cenderung membayar suap di negara miskin dibandingkan di negara kaya. Di satu dari tiga negara, suap terbanyak diterima oleh polisi. Di satu dari lima, institusi peradilan. Secara keseluruhan, satu dari empat orang di jajak pendapat mengaku mereka pernah melakukan suap. Korupsi bukan hanya tentang menyelipkan uang ke tangan pejabat. Partai politik, "mesin pendorong demokrasi," demikian TI menyebutnya, dianggap sebagai institusi publik terkorup.

Analisis Rabiula (2013) menggambarkan mahalnya pembiayaan proses politik dikarenakan fenomena amerikanisasi metode kampanye yang membuat parpol menggunakan iklan media massa secara masif dan jasa profesional dalam menangani kegiatan politiknya. Hal ini tentu harus ditopang oleh sumber pendanaan yang besar, bisa berasal dari harta pribadi atau kas parpol. Namun sayangnya, tidak semua parpol memiliki sumber pendanaan yang jelas sehingga terjadi siklus money making power, power making money; yang melibatkan campur tangan dan pemilik modal dalam membiayai kegiatan politik. 

Dengan proses itulah itu kekuasaan didapat. Lalu kekuasaan tersebut dipakai untuk mengembalikan modal dan memberikan keuntungan pada pemodal, juga memupuk modal untuk mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya. Dan korupsi adalah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan tiga tujuan tersebut dalam waktu yang relatif singkat.

Korupsi terjadi dengan berbagai bentuk dan modus, bisa melalui cara konvensional, yakni korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), seperti mark-up, fee proyek dan pengambilan dana proyek, atau melalui perdagangan kebijakan; di kabinet maupun parlemen, yang bisa menghasilkan dana politik jauh lebih besar tapi sulit terdeteksi. Bahkan anggaran dan kebijakan sengaja didesain agar memunculkan peluang korupsi.

Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Abdullah Dahlan, peneliti bidang politik ICW bahwa kementerian dan lembaga mulai mendisain program yang populis sesuai dengan kepentingan partai politik. Selain itu, partai politik mulai menginstruksikan para kadernya untuk mengumpulkan dana modal politik. Disinyalir, proyek-proyek besar dan siluman seperti proyek Bantuan Likudiasi Bank Indonesia (BLBI), Century, atau Hambalang merupakan contoh kasus pengumpulan modal politik.

Hal ini diperparah dengan payahnya pemberantasan korupsi karena penegakan hukum yang terkesan tebang pilih. Asas pembuktian terbalik yang terbukti efektif dan telah berhasil diselenggarakan di beberapa negara, seperti Inggris, Malaysia, dan Singapura, namun di negeri ini ada kesan justru dijauhi. Dalam pemberantasannya, hanya bertumpu pada penggunaan bukti materiil padahal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menemukan 35 modus penyamaran transaksi tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang diduga melibatkan anggota DPR.

Pun ketika akhirnya koruptor diadili, vonis yang diberikan sangat rendah, tidak memberi efek jera, dan tidak pula bersifat preventif terhadap 'calon' pelaku lainnya. Harta hasil korupsi pun terbilang masih aman karena ketiadaan proses 'pemiskinan' terhadap koruptor. Semua hal itu mengerucutkan kita pada satu kesimpulan bahwa masalah korupsi bukan sekedar masalah personal; karena personal dikondisikan oleh sistem dan ideologi, yakni demokrasi dan kapitalisme.

Alhumami (2012) mengelaborasi bahwa secara politik, korupsi telah menjadi epidemi karena ia mengakar kuat di dalam struktur kekuasaan negara, dan birokrasi pemerintahan. Secara sosial, korupsi sudah menjadi patologi akut karena ia telah berkembang menjadi gejala umum yang lazim dijumpai di dalam masyarakat. Secara kultural, korupsi telah membudaya karena ia berkembang menjadi nilai yang dianut oleh dan mengalami internalisasi, bukan saja di lapisan elite politik, tetapi juga di kalangan warga masyarakat.

Korupsi menggerakkan denyut nadi kehidupan masyarakat, dan menjadi perilaku sosial keseharian. Meskipun publik tanpa kenal lelah menyuarakan kecaman dan kutukan atas praktik korupsi, namun perilaku korup justru kian tak terkendali tanpa ada satu kekuatan pun yang mampu menghentikannya. Bisa dikatakan hanya sebatas mimpi jika kita mengharapkan negeri bebas korupsi pada sistem demokrasi dan ideologi kapitalisme yang telah jelas identitasnya sebagai biang keladi korupsi itu sendiri. Lalu, kepada sistem yang mana kita berharap? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar