|
Korupsi di dunia makin parah
ditandai dengan pengakuan bahwa satu dari empat orang mengatakan melakukan suap
dalam dua tahun ini. Kesimpulan ini didapat dari survei global baru-baru ini,
yang dilakukan organisasi Transparency
International (TI) di 107 negara dengan melibatkan 114.00 responden.
Barometer Korupsi Global tahunan menemukan 27 persen responden mengatakan
membayar suap ketika mengakses layanan dan institusi publik tahun lalu.
Korupsi Parpol?
Dari survei TI tersebut terungkap
bahwa orang cenderung membayar suap di negara miskin dibandingkan di negara
kaya. Di satu dari tiga negara, suap terbanyak diterima oleh polisi. Di satu
dari lima, institusi peradilan. Secara keseluruhan, satu dari empat orang di
jajak pendapat mengaku mereka pernah melakukan suap. Korupsi bukan hanya
tentang menyelipkan uang ke tangan pejabat. Partai politik, "mesin
pendorong demokrasi," demikian TI menyebutnya, dianggap sebagai institusi
publik terkorup.
Analisis Rabiula (2013)
menggambarkan mahalnya pembiayaan proses politik dikarenakan fenomena
amerikanisasi metode kampanye yang membuat parpol menggunakan iklan media massa
secara masif dan jasa profesional dalam menangani kegiatan politiknya. Hal ini
tentu harus ditopang oleh sumber pendanaan yang besar, bisa berasal dari harta
pribadi atau kas parpol. Namun sayangnya, tidak semua parpol memiliki sumber
pendanaan yang jelas sehingga terjadi siklus money making power, power making money; yang melibatkan campur
tangan dan pemilik modal dalam membiayai kegiatan politik.
Dengan proses itulah
itu kekuasaan didapat. Lalu kekuasaan tersebut dipakai untuk mengembalikan
modal dan memberikan keuntungan pada pemodal, juga memupuk modal untuk
mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya. Dan korupsi adalah
satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan tiga tujuan tersebut
dalam waktu yang relatif singkat.
Korupsi terjadi dengan berbagai
bentuk dan modus, bisa melalui cara konvensional, yakni korupsi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), seperti mark-up, fee proyek dan
pengambilan dana proyek, atau melalui perdagangan kebijakan; di kabinet maupun
parlemen, yang bisa menghasilkan dana politik jauh lebih besar tapi sulit
terdeteksi. Bahkan anggaran dan kebijakan sengaja didesain agar memunculkan
peluang korupsi.
Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan oleh Abdullah Dahlan, peneliti bidang politik ICW bahwa kementerian
dan lembaga mulai mendisain program yang populis sesuai dengan kepentingan
partai politik. Selain itu, partai politik mulai menginstruksikan para kadernya
untuk mengumpulkan dana modal politik. Disinyalir, proyek-proyek besar dan
siluman seperti proyek Bantuan Likudiasi Bank Indonesia (BLBI), Century, atau
Hambalang merupakan contoh kasus pengumpulan modal politik.
Hal ini diperparah dengan payahnya
pemberantasan korupsi karena penegakan hukum yang terkesan tebang pilih. Asas
pembuktian terbalik yang terbukti efektif dan telah berhasil diselenggarakan di
beberapa negara, seperti Inggris, Malaysia, dan Singapura, namun di negeri ini
ada kesan justru dijauhi. Dalam pemberantasannya, hanya bertumpu pada
penggunaan bukti materiil padahal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) telah menemukan 35 modus penyamaran transaksi tindak pidana
korupsi dan pencucian uang yang diduga melibatkan anggota DPR.
Pun ketika akhirnya koruptor
diadili, vonis yang diberikan sangat rendah, tidak memberi efek jera, dan tidak
pula bersifat preventif terhadap 'calon' pelaku lainnya. Harta hasil korupsi
pun terbilang masih aman karena ketiadaan proses 'pemiskinan' terhadap
koruptor. Semua hal itu mengerucutkan kita pada satu kesimpulan bahwa masalah
korupsi bukan sekedar masalah personal; karena personal dikondisikan oleh
sistem dan ideologi, yakni demokrasi dan kapitalisme.
Alhumami (2012) mengelaborasi
bahwa secara politik, korupsi telah menjadi epidemi karena ia mengakar kuat di
dalam struktur kekuasaan negara, dan birokrasi pemerintahan. Secara sosial,
korupsi sudah menjadi patologi akut karena ia telah berkembang menjadi gejala
umum yang lazim dijumpai di dalam masyarakat. Secara kultural, korupsi telah
membudaya karena ia berkembang menjadi nilai yang dianut oleh dan mengalami
internalisasi, bukan saja di lapisan elite politik, tetapi juga di kalangan
warga masyarakat.
Korupsi menggerakkan denyut nadi
kehidupan masyarakat, dan menjadi perilaku sosial keseharian. Meskipun publik
tanpa kenal lelah menyuarakan kecaman dan kutukan atas praktik korupsi, namun
perilaku korup justru kian tak terkendali tanpa ada satu kekuatan pun yang
mampu menghentikannya. Bisa dikatakan hanya sebatas mimpi jika kita
mengharapkan negeri bebas korupsi pada sistem demokrasi dan ideologi
kapitalisme yang telah jelas identitasnya sebagai biang keladi korupsi itu
sendiri. Lalu, kepada sistem yang mana kita berharap? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar