|
Ketidakberesan dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat dan bangsa hingga saat ini, telah mendorong para
pesohor negeri ini, khususnya kaum intelektual untuk berpikir dan mencari
solusi tentang perubahan dan perbaikan.
Persoalannya adalah kaum
intelektual bukan hanya berpikir dan mencari solusi dengan mengedepankan
ide-ide jenial untuk dijadikan garansi bagi perbaikan bangsa, tetapi banyak
yang terlibat langsung dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan. Berbagai
alasan pun dikedepankan, di antaranya ingin membawa perubahan dan perbaikan
bangsa, 'dari dalam' entah sebagai caleg, atau sebagai pejabat eksekutif.
Mereka mengatakan semua itu dilakukan karena merasa terpanggil hati nuraninya
untuk berpolitik praktis.
Tetapi, tidak dapat dimungkiri
pula, keterlibatan mereka itu juga disebabkan oleh godaan untuk memenangkan
kepentingan politik kekuasaannya. Bahkan, ada yang karena tidak tahan kesepian
dalam gua tapa intelektualnya.
Tatkala melihat banyaknya
intelektual memutuskan terjun langsung ke kancah politik, maka apa yang kita
lihat dalam beberapa tahun belakangan, tampaknya suara kaum intelektual semakin
tidak lagi terdengar di tengah hiruk-pikuk politik yang telah menjadikan
kekuasaan di atas segala-galanya dalam perjuangan politik. Atau, seperti
dikatakan Alex Dungkal (1993), kini hampir tidak terdengar lagi suara kaum
intelektual bagaikan amaran kenabian. Suara kewaskitaannya kaum intelektual
seolah tidak lagi berdaya menjebol tebalnya tembok kesadaran yang kapalan,
mendobrak jeruji batin yang tergembok, membebaskan nurani yang terbekap, lalu
menjawab suara otentik panggilan jiwa pendengarnya.
Di tengah kekecewaan itu, kerap
pula kaum intelektual kita dituduh hanya menghasilkan konsep brilian serta
menyampaikannya secara hebat di forum-forum umum, tetapi jarang dilanjutkan
dengan implementasi yang konkret demi pemenuhan kebutuhan akan perbaikan nasib
rakyat yang kian nestapa.
Ada banyak kaum intelektual kita
yang masuk dalam politik praktis dituduh hanya menempatkan kekuasaan sebagai
satu-satunya ide yang dijadikan keroyokan mereka. Lantaran harapan publik bagi
kaum intelektual yang terjun langsung ke politik praktis itu untuk bisa membuka
tabir misteri persoalan bangsa yang terjebak dalam lorong kegelapan tanpa
secercah cahaya di langit Indonesia, seperti sia-sia.
Dalam praksis politik, tidak
sedikit kaum intelektual yang terlibat korupsi, sehingga keberadaan mereka yang
sebenarnya sebagai simbol kekuatan nurani dan penjaga gerbong moral bangsa,
dinilai tidak lebih mulia daripada koruptor yang selama ini dikritisinya.
Ujungnya, pencerahan politik dalam ranah praktis yang diharapkan pun tidak
kunjung tiba. Maka, mencuat pertanyaan mendasar, siapa dan di manakah
sesungguhnya posisi kaum intelektual itu?
Seorang inelektual dalam kacamata
Julian Benda, seorang novelis dan pemikir kenamaan Perancis (1867-1956) dalam
buku Alan Bullock, Intelectuals
(1980), adalah seseorang yang semestinya memiliki dan mempertahankan
nilai-nilai abadi, universal, yang tetap berlaku dalam setiap zaman dan tempat.
Para intelektual secara kodrati menjadi pembela nilai-nilai kemanusiaan
universal. Ia tidak boleh terjebak dalam partikuralitas kepentingan pribadi dan
kelompok.
Jadi, seorang inelektual harus
mampu menciptakan kebebasan bagi dirinya sendiri dan menciptakan ruang
kebebasan bagi publik, sehingga dapat tercipta masyarakat kreatif. Dengan karakteristik
independensinya, seorang intelektual bisa mengambil jarak terhadap kekuasaan
tertentu agar dia tetap kritis terhadap setiap kebijakan negara. Sebab, di
sini, yang merugikan masyarakat justru ketika kaum inelektual tidak mampu lagi
mengambil jarak dan kritis terhadap kekuasaan apalagi mendukung
kebijakan-kebijakan penguasa meski dianggap baik.
Artinya, bagi seseorang yang
berani menyandang predikat sebagai seorang intelektual, harus mampu melihat
lingkungan dunia dan segala peristiwanya dalam suatu lingkup yang lebih luas,
jernih dan konsisten akibat kesatuan dalam sifat keintelektualannya sendiri.
Seorang intelektual juga mampu melihat segala peristiwa dan menganalisanya
dengan akal budi jernih-jenial dan menilainya menurut baik-buruk moralnya. Karena
itu, seorang intelektual ibarat kata Khalil Gibran, dalam The Wonderer (William
Heinemann, 1971), harus ibarat seorang musafir yang selalu mencari dan
memberi arti kepada segala sesuatu yang dijumpai. Seorang intelektual tidak
silau oleh harta dan kekuasaan. Seorang inelektual tidak terjebak oleh
tawaran-tawaran yang nikmat dan pragmatis sifatnya. Tetapi, ia selalu mencoba
dengan beningnya peristiwa, dan jernihnya keadaan yang ada sambil merenungkan
apa yang tersembunyi di belakang fenomena yang dicerapnya.
Pengkhianatan Kaum Intelektual
Memang, kaum intelektual yang
ingin tetap menjaga integritasnya, kerap mendapat kritikan. Misalnya, kaum
intelektual kita dikatakan hanya tampak sangat piawai dalam mengolah ilmu
pengetahuan, berdebat dan menganalisa serta menjelaskan pendapatnya secara
mengagumkan, namun tidak memerhatikan nasib rakyat yang kian nestapa lewat
karya yang lebih konkret. Kepada kaum intelektual pun digugat, bukankah banyak
pekerjaan praktis lain yang dapat digeluti agar lebih dirasakan manfaat
konkretnya bagi kepentingan lebih banyak orang?
Menyitir Gerar Bibang (1985),
seorang intelektual memiliki tugas luhur sebagai pembela nilai-nilai moral dan
penggembala nilai-nilai abadi yang menuntut suatu risiko tidak sedikit. Tatkala
seorang intelektual tidak lagi tahan kesepian dalam gua tapa intelektualnya dan
sekali berhasrat dan tergoda untuk memetik keberuntungan dengan berpihak kepada
sesuatu yang menodai kepentingan dan kesejatian kebenaran, keadilan dan ratio,
serta mulai berani meninggalkan tugas mulianya sebagai pemberi pencerahan bagi
gelapnya nurani bangsa, sekali itu pula lunturlah pesona keintelektualannya dan
berawallah suatu pengkhianatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar