Rabu, 11 September 2013

Kaum Intelektual dan Kekuasaan

Kaum Intelektual dan Kekuasaan
Thomas Koten  ;     Direktur Social Development Center
SUARA KARYA, 11 September 2013


Ketidakberesan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan bangsa hingga saat ini, telah mendorong para pesohor negeri ini, khususnya kaum intelektual untuk berpikir dan mencari solusi tentang perubahan dan perbaikan.

Persoalannya adalah kaum intelektual bukan hanya berpikir dan mencari solusi dengan mengedepankan ide-ide jenial untuk dijadikan garansi bagi perbaikan bangsa, tetapi banyak yang terlibat langsung dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan. Berbagai alasan pun dikedepankan, di antaranya ingin membawa perubahan dan perbaikan bangsa, 'dari dalam' entah sebagai caleg, atau sebagai pejabat eksekutif. Mereka mengatakan semua itu dilakukan karena merasa terpanggil hati nuraninya untuk berpolitik praktis.

Tetapi, tidak dapat dimungkiri pula, keterlibatan mereka itu juga disebabkan oleh godaan untuk memenangkan kepentingan politik kekuasaannya. Bahkan, ada yang karena tidak tahan kesepian dalam gua tapa intelektualnya.

Tatkala melihat banyaknya intelektual memutuskan terjun langsung ke kancah politik, maka apa yang kita lihat dalam beberapa tahun belakangan, tampaknya suara kaum intelektual semakin tidak lagi terdengar di tengah hiruk-pikuk politik yang telah menjadikan kekuasaan di atas segala-galanya dalam perjuangan politik. Atau, seperti dikatakan Alex Dungkal (1993), kini hampir tidak terdengar lagi suara kaum intelektual bagaikan amaran kenabian. Suara kewaskitaannya kaum intelektual seolah tidak lagi berdaya menjebol tebalnya tembok kesadaran yang kapalan, mendobrak jeruji batin yang tergembok, membebaskan nurani yang terbekap, lalu menjawab suara otentik panggilan jiwa pendengarnya.

Di tengah kekecewaan itu, kerap pula kaum intelektual kita dituduh hanya menghasilkan konsep brilian serta menyampaikannya secara hebat di forum-forum umum, tetapi jarang dilanjutkan dengan implementasi yang konkret demi pemenuhan kebutuhan akan perbaikan nasib rakyat yang kian nestapa.

Ada banyak kaum intelektual kita yang masuk dalam politik praktis dituduh hanya menempatkan kekuasaan sebagai satu-satunya ide yang dijadikan keroyokan mereka. Lantaran harapan publik bagi kaum intelektual yang terjun langsung ke politik praktis itu untuk bisa membuka tabir misteri persoalan bangsa yang terjebak dalam lorong kegelapan tanpa secercah cahaya di langit Indonesia, seperti sia-sia.

Dalam praksis politik, tidak sedikit kaum intelektual yang terlibat korupsi, sehingga keberadaan mereka yang sebenarnya sebagai simbol kekuatan nurani dan penjaga gerbong moral bangsa, dinilai tidak lebih mulia daripada koruptor yang selama ini dikritisinya. Ujungnya, pencerahan politik dalam ranah praktis yang diharapkan pun tidak kunjung tiba. Maka, mencuat pertanyaan mendasar, siapa dan di manakah sesungguhnya posisi kaum intelektual itu?

Seorang inelektual dalam kacamata Julian Benda, seorang novelis dan pemikir kenamaan Perancis (1867-1956) dalam buku Alan Bullock, Intelectuals (1980), adalah seseorang yang semestinya memiliki dan mempertahankan nilai-nilai abadi, universal, yang tetap berlaku dalam setiap zaman dan tempat. Para intelektual secara kodrati menjadi pembela nilai-nilai kemanusiaan universal. Ia tidak boleh terjebak dalam partikuralitas kepentingan pribadi dan kelompok.

Jadi, seorang inelektual harus mampu menciptakan kebebasan bagi dirinya sendiri dan menciptakan ruang kebebasan bagi publik, sehingga dapat tercipta masyarakat kreatif. Dengan karakteristik independensinya, seorang intelektual bisa mengambil jarak terhadap kekuasaan tertentu agar dia tetap kritis terhadap setiap kebijakan negara. Sebab, di sini, yang merugikan masyarakat justru ketika kaum inelektual tidak mampu lagi mengambil jarak dan kritis terhadap kekuasaan apalagi mendukung kebijakan-kebijakan penguasa meski dianggap baik.

Artinya, bagi seseorang yang berani menyandang predikat sebagai seorang intelektual, harus mampu melihat lingkungan dunia dan segala peristiwanya dalam suatu lingkup yang lebih luas, jernih dan konsisten akibat kesatuan dalam sifat keintelektualannya sendiri. Seorang intelektual juga mampu melihat segala peristiwa dan menganalisanya dengan akal budi jernih-jenial dan menilainya menurut baik-buruk moralnya. Karena itu, seorang intelektual ibarat kata Khalil Gibran, dalam The Wonderer (William Heinemann, 1971), harus ibarat seorang musafir yang selalu mencari dan memberi arti kepada segala sesuatu yang dijumpai. Seorang intelektual tidak silau oleh harta dan kekuasaan. Seorang inelektual tidak terjebak oleh tawaran-tawaran yang nikmat dan pragmatis sifatnya. Tetapi, ia selalu mencoba dengan beningnya peristiwa, dan jernihnya keadaan yang ada sambil merenungkan apa yang tersembunyi di belakang fenomena yang dicerapnya.

Pengkhianatan Kaum Intelektual

Memang, kaum intelektual yang ingin tetap menjaga integritasnya, kerap mendapat kritikan. Misalnya, kaum intelektual kita dikatakan hanya tampak sangat piawai dalam mengolah ilmu pengetahuan, berdebat dan menganalisa serta menjelaskan pendapatnya secara mengagumkan, namun tidak memerhatikan nasib rakyat yang kian nestapa lewat karya yang lebih konkret. Kepada kaum intelektual pun digugat, bukankah banyak pekerjaan praktis lain yang dapat digeluti agar lebih dirasakan manfaat konkretnya bagi kepentingan lebih banyak orang?

Menyitir Gerar Bibang (1985), seorang intelektual memiliki tugas luhur sebagai pembela nilai-nilai moral dan penggembala nilai-nilai abadi yang menuntut suatu risiko tidak sedikit. Tatkala seorang intelektual tidak lagi tahan kesepian dalam gua tapa intelektualnya dan sekali berhasrat dan tergoda untuk memetik keberuntungan dengan berpihak kepada sesuatu yang menodai kepentingan dan kesejatian kebenaran, keadilan dan ratio, serta mulai berani meninggalkan tugas mulianya sebagai pemberi pencerahan bagi gelapnya nurani bangsa, sekali itu pula lunturlah pesona keintelektualannya dan berawallah suatu pengkhianatan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar