Rabu, 11 September 2013

Krisis Bisa Berdampak PHK

Krisis Bisa Berdampak PHK
Edy Purwo Saputro  ;    Mengajar di FEB Univ Muh Solo,
Sedang menempuh program Doktoral
KORAN JAKARTA, 11 September 2013

Fundamental yang kuat sangat penting dalam menghadapi ekonomi global agar mampu bertahan saat diterjang fluktuasi dan gejolak nilai tukar mata uang. Di samping itu, daya beli masyarakat harus diperkuat. Sayangnya, justru daya saing Indonesia cenderung lemah. Salah satunya karena kebergantungan pada impor bahan baku. Bahkan, ironisnya, sejumlah komoditias pangan juga bergantung pada impor, seperti kedelai. Ini membuat fluktuasi nilai tukar berpengaruh pada harga beli kedelai dan nilai jual produk olahan berbahan baku kedelai. 

Perkembangan fluktuasi nilai tukar rupiah sampai kini kian mencemaskan. Pemerintah harus segera membuat langkah-langkah mendasar untuk mengatasinya. Krisis bisa seperti tahun 1998 bila dikaitkan dengan dampak simultan krisis di semester kedua tahun 2013. Di samping itu, ada fakta bahwa sektor riil telah terjerat dampak krisis. 

Maka, sangat beralasan jika kemudian pemerintah mengeluarkan empat paket kebijakan untuk meminimalisasi dampak simultan. Di sisi lain, pemerintah juga meyakinkan masyarakat bahwa fundamental ekonomi cukup kokoh meskipun berbagai indikator makroekonomi justru menunjukkan sebaliknya. Masyarakat tidak lagi mudah dibodohi berbagai pernyataan pemanis. 

Fakta lain yang tidak bisa disangkal adalah pelemahan indeks harga saham gabungan (IHSG). Kasus seperti ini pernah terjadi pada Oktober 2008 lalu melalui penutupan sementara bursa sejak Rabu, 8 Oktober, yang seolah menjadi pembenar bahwa pemerintah tidak percaya diri menghadapi dampak simultan krisis di Amerika pada akhir 2008. 

Bahkan, tindakan suspen dikritik Asosiasi Emiten Indonesia karena pada dasarnya tidak ada alasan kuat bagi pemerintah untuk menyuspen sampai Jumat, 10 Oktober 2008 (waktu itu). Di sisi lain, tindakan suspen justru menunjukkan ketidaktegasan pemerintah dalam menghadapi situasi yang sedang gawat. Meski demikian, pemerintah dan otoritas bursa berdalih bahwa suspen untuk menyelamatkan bursa. Jika krisis yang terjadi di semester kedua tahun 2013 sama seperti pada Oktober 2008 lalu, bukan tidak mungkin juga akan ada suspen.

Pertanyaannya, benarkah semua investor panik? Jawabnya bisa ya dan tidak. Tetapi dari perkembangan, mayoritas investor tetap bersikap wait and see sehingga kemungkinan jika bursa terus berjalan, akan terjadi aksi jual. Jika ini dibiarkan, IHSG akan kembali anjlok. 

Di sisi lain, semua emiten harus juga transparan menyampaikan informasi agar tidak menambah kecemasan pelaku pasar. Harapan ini terutama untuk bisa mengantisipasi anjloknya saham-saham unggulan yang menjadi incaran investor. Dengan kata lain, kewaspadaan terhadap situasi tersebut pada 3 bulan ke depan sangat penting. 

Perlu diingat, bursa merupakan salah satu aspek yang menunjukkan kondisi makroekonomi. Saat bursa melemah, bisa mengindikasikan terjadi gejolak ekonomi. Untuk itu, perilaku investor di bursa juga bisa menjadi acuan kondisi perekonomian.

Kekhawatiran atas merosotnya bursa tentu dipicu anjloknya indeks di sejumlah lantai bursa dunia. Bahkan, ketika Kongres AS menyetujui penyelamatan melalui bail out senilai 700 miliar dollar AS, ternyata nilai indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) di bursa New York tetap anjlok (kasus pada Oktober 2008). 

Dalam kondisi yang demikian, beralasan jika investor panik dan tentu tidak ada sentimen positif terhadap saham-saham di lapis kedua atau non-unggulan. Ibaratnya, andai saham-saham besar saja nilainya terus merosot, non-unggulan yang di mata investor dianaktirikan. Dari fakta ini, pemerintah memang perlu memberi jaring pengaman agar kondisinya tidak semakin menjerat, terutama di sektor riil yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

 

Kekhawatiran atas dampak sektor riil bukan tidak beralasan sebab ketika rupiah semakin terpuruk, inflasi melambung, bursa tidak prospektif, dan terjadi pelarian modal asing, kinerja perekonomian dalam negeri bisa semakin runyam. Jika ini terus berlanjut, ancaman terjadinya pemberhentian pegawai (PHK) tentu tidak bisa dihindari. 

Oleh karena itu, pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh perlu sepakat agar dampak krisis tidak memicu PHK massal. Terkait ini, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berharap agar pemerintah dapat menjaga iklim investasi dan pasar dalam negeri. 

PHK massal karena pengusaha tak lagi mampu membayar upah. Padahal, dari kenaikan UMP per 2013 kemarin saja, masih ada sejumlah perusahaan yang keberatan. Artinya, ketika harga bahan baku naik, daya beli rendah, dan belit inflasi makin tidak terkontrol, produktivitas dunia usaha anjlok. Jika ini terus terjadi, konsekuensi PHK massal sulit dihindari. 

Pertanyaannya, apakah semua itu bisa dijaga karena pemerintah saat ini masih terfokus pada sektor perbankan dan moneter. Setidaknya, ini terlihat dari berbagai bentuk program pengamanan. Di balik itu semua, tentu sangatlah dimaklumi jika masyarakat, terutama the haves, panik. Sayang, masyarakat dari lapis bawah yang tak pernah transaksi bursa dan tak memunyai dana di perbankan juga harus ikut menelan pil pahit krisis. 

Bahkan, kini suku bunga perbankan naik dan bisa berdampak serius bagi sektor riil. Apalagi, ditambah dengan kurs rupiah yang pernah menembus 12.000 per dollar AS, dampak terhadap sektor riil tak bisa dihindari. Maka, pemerintah perlu menjamin berlapis bagi penyelamatan sektor moneter dan perbankan agar krisis 1998 tidak terulang. 

Secara teoritis, globalisasi memang menegaskan bahwa tidak ada satu pun negara yang terjamin dari dampak simultan gejolak, termasuk negara maju, apalagi negara berkembang. Memang, ketika terjadi krisis di negara maju, "demam flu" justru dirasakan banyak negara. Tentu kasusnya akan lain jika yang mengalami krisis bukan negara industri. Ironisnya, AS sebagai dominator dalam perekonomian global membawa dampak simultan dari krisis yang ditimbulkannya sehingga tidak ada lagi obat generik yang mampu menyembuhkan. 

Di balik ancaman krisis, secara umum, bayangan PHK karena kenaikan ongkos produksi secara drastis. Masyarakat hanya harus tetap waspada dan memacu sentimen positif dengan semangat optimisme, termasuk di lantai bursa. Meski demikian, keyakinan terhadap kekuatan ekonomi domestik tetap ada batas. Jika batas terlampaui, kondisi yang lebih parah semakin terbuka.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar