Minggu, 01 September 2013

Jokowi dan Personalisasi Politik

Jokowi dan Personalisasi Politik
Wisnu Prasetya Uto ;  Alumnus Fisipol UGM,
Peneliti di Indonesian Interdiciplinary Institute, Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 31 Agustus 2013


Kurang lebih satu tahun menjelang Pemilu 2014, popularitas Jokowi semakin tak terbendung dalam survei terbaru yang diadakan Harian Kompas. Dalam survei tersebut Jokowi mendapatkan dukungan publik 32,5 persen. Popularitasnya bahkan mampu mengerek suara partainya, PDIP, mengungguli partai lain.

Angka yang didapatkan Jokowi juga jauh meninggalkan tokoh-tokoh politik lainnya, seperti Prabowo dan Aburizal Bakrie, yang masing-masing mendapat 15,1 dan 8,8 persen. Artinya, jika pemilu dilakukan hari ini, hampir bisa dipastikan Jokowi akan memenangi gelanggang pertandingan dengan mutlak.

Terlepas dari pertanyaan seputar metodologi survei, mengapa Jokowi yang beberapa tahun lalu “bukan siapa-siapa”, bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat seperti ini?

Fenomena ini sebenarnya tak terlalu mengherankan jika kita melihat satu gejala deparpolisasi dalam langgam politik di Indonesia pasca-1998. Partai-partai politik di Indonesia bisa dikatakan telah kehilangan akarnya di masyarakat. Terjadi penurunan besar-besaran angka partisanship dari pemilu ke pemilu. Partisanship merupakan perasaan kedekatan atau identifikasi terhadap partai tertentu.

Studi Mujani dan Liddle Personality, Party and Voter (2010) menunjukkan, tahun 2004 angka partisanship di Indonesia berada pada kisaran 60 persen. Angka ini terus menurun dan tahun 2009 menjadi hanya sekitar 22 persen. Jatuhnya identitas partai secara signifikan tersebut bisa diidentifikasi sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap partai politik di Indonesia.

Gejala deparpolisasi juga sekaligus menegaskan fenomena yang disebut personalisasi politik. Figur politik atau kandidat menjadi lebih penting dari partai politik. Ideologi dan cleavages sosial tidak lagi memadai untuk menjelaskan perilaku memilih. Gejala yang merupakan konsekuensi logis dari modernisasi kampanye politik. Bagi publik, figur dianggap representasi gagasan dan partai politik tidak lagi menjadi satu institusi yang penting untuk menyalurkan pilihan politik.

Dalam kata lain, perhatian publik tersedot pada diskusi tentang “siapa”, bukan “apa” dan “bagaimana” platform politik yang diusung kandidat maupun partai politik. Rekam jejak kandidat berujung pada besaran popularitas kandidat, akan menjadi faktor determinan dalam angka keterpilihannya. Orang berada di atas gagasan. Citra individu melampaui substansi.

Pilihan politik warga dalam setiap pemilihan umum kemudian tidak lagi mencerminkan an expression of solidarity with one’s group and its institutions namun telah menjadi an expression of one’s opinions (Swanson dan Mancini, 1996:250).

Level partai politik, fenomena personalisasi politik menjadi salah satu pemacu partai-partai politik untuk menjadi catch-all party. Partai-partai memilih melepaskan diri dari “jualan ideologi”. Mereka berubah menjadi partai terbuka yang bicara tentang banyak program, untuk memperebutkan ceruk suara sebesar-besarnya.

Tahun 2004 dan 2009, bahkan para calon anggota legislatif dan calon presiden habis-habisan memoles citra untuk menarik pemilih. Pupuran bedak citra dilakukan melalui gencarnya iklan politik yang ditampilkan baik di televisi maupun media cetak. Dalam era ketika ideologi dan cleavages tidak lagi menjadi penentu utama dalam perilaku memilih, angka swing voters atau undecided voters membesar. Ceruk inilah yang coba dimasuki melalui iklan-iklan politik tadi.

Iklan politik dengan watak artifisialnya, memperlihatkan kecenderungan dari ketiadaan gradasi platform politik partai yang jelas dan membedakan diri satu sama lain. Hampir semua partai bergerak ke tengah. Kampanye menjadi ajang mengumbar janji-janji populis. Akhirnya, kita hanya akan melihat identifikasi samar-samar yang menjadikan partai politik berada di pihak penguasa maupun oposisi, meskipun tidak ada perbedaan gagasan yang jelas.

Partai politik juga mulai mengakomodasi figur-figur populer dalam setiap pemilihan umum. Apalagi sejak keberadaan rezim pilkada di Indonesia. Figur-figur tersebut yang sebagian besar berasal dari luar partai, pelan-pelan menggusur kader partai yang berkualitas namun tidak populer.

Pada akhirnya, masuknya selebritis dengan popularitas menjulang ke ranah politik menjadi hal yang tak terhindarkan. Popularitas ini tentu menggiurkan partai politik yang berharap memperoleh insentif elektoral dari keputusan untuk memasukkan kalangan selebritis ke dalam tubuh partai.

Sisi negatifnya, personalisasi politik mengubah gelanggang elektoral menjadi kontestasi antar figur. Seiring menguatnya pencitraan, “serangan” maupun polemik antarkandidat tidak lagi berada dalam ranah ide tetapi personal. Kampanye negatif, pembunuhan karakter, sampai pencemaran nama baik menjadi metode yang dianggap wajar untuk memperoleh kemenangan. Kita melihat bagaimana modus personalisasi politik ini bekerja dalam melesatnya suara Jokowi dalam sejumlah survei sampai sejauh ini.

Melesatnya popularitas Jokowi nampak menakutkan bagi sejumlah politikus. Ketakutan tersebut yang barangkali membuat mereka panik dan buru-buru menolak wacana pencapresan. Jokowi sama sekali belum memberikan keputusan apakah ia akan maju sebagai calon presiden atau tidak. Namun, hari-hari ini jamak kita dengar mereka yang menolak pencapresan Jokowi.

Dalihnya berbagai macam, mulai tuntutan agar sang gubernur menuntaskan tugasnya di Jakarta sampai minimnya pengalaman Jokowi memimpin negara. Yang berbahaya, dalam era personalisasi politik, desain kampanye dengan pembelahan sosial ihwal suku, ras, dan agama yang semakin kerap dimunculkan. Belum memutuskan maju saja serangan kepada Jokowi sudah begitu kencang. Bayangkan jika ia memutuskan maju sekarang, bisa jadi setiap langkahnya akan dianggap sebagai bentuk pencitraan.

Dalam leksikon ilmu politik, gejala personalisasi politik ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara yang demokrasinya sudah dewasa, gejala semacam ini pun terjadi. Artinya, berbagai risiko yang menyertai gejala ini adalah konsekuensi yang tidak bisa dihindari, namun bisa diminimalkan sisi negatifnya.

Menjelang 2014, kita berharap tokoh-tokoh politik tersebut tidak menggunakan retorika politik yang bermusuhan. Elemen masyarakat sipil juga mesti mengawal, agar proses regenerasi kepemimpinan termasuk berbagai diskursusnya berada dalam koridor untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semoga. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar